Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa mustahil membicarakan tatanan internasional yang mampu mencegah kezaliman.
Selama Israel menjatuhkan bom di Jalur Gaza dengan daya hancur yang disebutnya 14 kali lebih besar dibandingkan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima, Jepang.
Pernyataan itu disampaikan Erdogan dalam pidatonya pada Selasa (16/12/2025), saat menghadiri Konferensi Duta Besar Turki ke-16 di Ankara.
Ia mengingatkan bahwa paruh pertama abad lalu diwarnai dua perang dunia yang menewaskan jutaan manusia.
Sementara tragedi Holocaust menjadi simbol kebiadaban dan kekejaman yang meninggalkan luka mendalam dalam ingatan kolektif umat manusia.
Namun, menurut Erdogan, sistem internasional yang lahir dari pengalaman pahit tersebut justru berkembang menjadi tatanan yang melindungi pihak kuat dan menekan kaum tertindas.
Selama puluhan tahun, sistem itu—kata dia—telah melahirkan ketidakstabilan, krisis, dan ketidakadilan di berbagai belahan dunia.
“Lebih dari 70.000 warga Palestina telah terbunuh di Gaza, dan lebih dari 170.000 lainnya terluka. Tak seorang pun tahu berapa banyak jasad yang masih tertimbun di bawah reruntuhan,” ujar Erdogan.
Ia menambahkan, saat ini banyak suami, istri, dan anak-anak yang masih mencari ibu, ayah, atau pasangan mereka, atau menunggu kabar tentang nasib orang-orang tercinta.
Ia juga menyoroti penderitaan anak-anak Gaza.
“Hari ini, puluhan ribu anak yang kehilangan ibu, ayah, saudara, rumah, dan sekolah mereka, berusaha bertahan hidup di tengah puing-puing Gaza. Mereka adalah saksi hidup dari sebuah genosida,” katanya.
Erdogan menjelaskan bahwa sebelum perang pemusnahan dimulai, jumlah penduduk Gaza sekitar 2,3 juta jiwa.
Namun, wilayah padat penduduk itu—menurutnya—telah diguyur lebih dari 200.000 ton bom oleh militer Israel.
“Israel telah meratakan Gaza dengan tanah, menggunakan bom yang kekuatannya 14 kali lebih besar dibandingkan yang dijatuhkan di Hiroshima,” tegasnya.
Tanpa nurani dan kepekaan
Dengan nada retoris, Erdogan mempertanyakan kredibilitas sistem global saat ini.
“Dalam kondisi seperti ini, bagaimana kita bisa berbicara tentang sistem internasional yang bekerja, menghasilkan solusi, dan mencegah kezaliman? Bagaimana kita bisa percaya pada arsitektur keamanan dan tata kelola global yang ada?” ujarnya.
Ia menilai, jika dilihat secara menyeluruh, banyak lembaga internasional kini tampak “seperti mayat”—tanpa ruh, tanpa nurani, tanpa gerak, dan tanpa efektivitas.
Dalam pidatonya, Erdogan juga menyinggung proses diplomatik yang ia tempuh bersama Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump di New York, yang kemudian bermuara pada kesepakatan gencatan senjata di Gaza pada 10 Oktober 2025.
Meski Israel disebut terus melakukan pelanggaran, Erdogan menilai sikap menahan diri yang ditunjukkan Hamas turut berkontribusi menjaga keberlangsungan gencatan senjata tersebut, setidaknya hingga kini.
Ia menambahkan bahwa pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza tetap berlangsung secara bertahap, meskipun menghadapi berbagai pembatasan.
Turki, kata Erdogan, menunjukkan peran aktifnya melalui penyaluran bantuan kemanusiaan yang totalnya telah melampaui 103.000 ton.
“Pada tahap ini, prioritas utama kami adalah memastikan keberlanjutan gencatan senjata serta menjamin bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza tanpa hambatan,” ujarnya.
Erdogan juga menekankan pentingnya segera memulai proses rekonstruksi Gaza, seraya menyebut bahwa Ankara terus melakukan komunikasi intensif terkait hal tersebut.
Selama hampir dua tahun, sejak 8 Oktober 2023, Israel melancarkan perang pemusnahan di Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 70.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 171.000 lainnya.
Perang itu berakhir dengan kesepakatan gencatan senjata yang mulai berlaku pada 10 Oktober 2025, meski kesepakatan tersebut dilaporkan telah dilanggar ratusan kali.


