Friday, December 26, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Natal di bawah bom Israel: Kisah Umat Kristen Lebanon...

LAPORAN KHUSUS – Natal di bawah bom Israel: Kisah Umat Kristen Lebanon Selatan

Misa dimulai pukul 09.00 pagi. Dua puluh orang, lalu sekitar 30 jemaat, satu per satu memasuki ruang ibadah kecil untuk berlindung dari hembusan angin musim dingin yang kencang di luar.

Angin itu memotong alunan lagu-lagu Natal berbahasa Arab yang diputar dari pengeras suara di depan bangunan.

Jemaat yang berkumpul pada Minggu itu sebagian besar adalah warga lanjut usia—para penduduk terakhir Desa Derdghaya, sebuah desa kecil di Lebanon selatan dengan kawasan pusat berpenduduk mayoritas Kristen. Sejumlah anak-anak turut hadir, bersama beberapa pemuda yang mengenakan seragam Caritas, lembaga amal Katolik.

Mereka mengikuti misa dengan khidmat. Ini adalah misa terakhir sebelum Natal yang jatuh pada Kamis mendatang.

Namun, bangunan yang mereka gunakan bukanlah gereja permanen desa tersebut. Untuk sementara, misa digelar di kediaman pastor setempat yang dijadikan kapel darurat.

Gereja asli mereka kini tinggal puing.

Gereja Katolik Yunani Melkit Santo George, yang terletak hanya beberapa langkah dari lokasi misa, hancur akibat serangan udara Israel tahun lalu. Aula utama gereja berubah menjadi tumpukan batu dan beton. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya dua orang.

Israel mulai menggempur Lebanon pada Oktober 2023, setelah Hizbullah membuka “front solidaritas” di perbatasan Lebanon–Israel sebagai dukungan terhadap warga Palestina di Gaza.

Kekerasan meningkat tajam pada September 2024, ketika Israel meledakkan ribuan perangkat komunikasi yang telah dipasangi bahan peledak dan melancarkan kampanye pengeboman besar-besaran yang menghancurkan sebagian besar wilayah Lebanon selatan serta pinggiran selatan Beirut.

Sekitar satu juta warga Lebanon mengungsi dalam hitungan hari. Serangan Israel menewaskan lebih dari 4.000 orang.

Kesepakatan gencatan senjata pada November 2024 meredakan perang terbuka, tetapi serangan Israel di Lebanon selatan terus terjadi hampir setiap hari. Sejak gencatan senjata diumumkan, lebih dari 330 orang dilaporkan tewas.

Angin, puing, dan bayang-bayang perang

Di Derdghaya, poster-poster syuhada masih terpasang di jalan-jalan, menampilkan nama para korban, termasuk seorang relawan Kristen dari tim penyelamat Pertahanan Sipil dan sejumlah anggota Hizbullah dari wilayah sekitar.

Pada Minggu pagi, beberapa pekerja konstruksi dengan helm merah terlihat memilah puing-puing gereja yang hancur, sebagai bagian dari upaya awal mencegah kerusakan lebih lanjut. Rangka perancah menopang beton yang remuk. Di luar bangunan, hiasan permen tongkat Natal dan patung Santa Claus bergoyang tertiup angin.

Sebagian jemaat sempat mengira deru angin sebagai suara pesawat tempur Israel—suara yang sudah akrab bagi mereka selama dua tahun terakhir.

Georges Elia, seorang aktivis sosial dan putra mukhtar (kepala desa) Derdghaya, menjadi penggerak perayaan Natal tahun ini. Ia bahkan mengenakan kostum Santa Claus dan mengunjungi sekolah-sekolah di desa Muslim sekitar, mengendarai sepeda motor yang dihias seperti kereta Santa.

Lebanon selatan mayoritas berpenduduk Syiah, namun komunitas Kristen, Sunni, dan Druze hidup berdampingan. Meski kecemasan perang masih terasa, berbagai komunitas tetap menghias desa mereka untuk Natal.

Beberapa desa Kristen yang terletak lebih dekat ke perbatasan Israel bahkan mengalami kerusakan yang lebih parah akibat serangan udara.

Natal di bawah ancaman

Rami (nama samaran), mahasiswa berusia 26 tahun dari Desa Deir Mimas di perbatasan, mengatakan suara pengeboman hampir setiap hari sudah menjadi bagian dari kehidupan.

“Kami sudah terbiasa,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Deir Mimas adalah desa pertanian Kristen dengan biara bersejarah yang menghadap langsung ke wilayah Israel. Tahun lalu, pasukan Israel merusak sebagian pemakaman desa dan masuk menggunakan tank serta buldoser.

Rami sempat mengungsi ke utara, sementara sebagian warga—termasuk ibu hamil—bertahan. Ia kembali setahun lalu setelah gencatan senjata, meski banyak kerabatnya memilih tidak pulang untuk Natal tahun ini.

Jumlah pasti warga Kristen yang mengungsi dari Lebanon selatan sulit dipastikan. Pierre Atallah, Wali Kota Rachaya al-Fukhar, memperkirakan sekitar 20 dari 120 kepala keluarga di desanya tidak kembali setelah perang.

Menurut data pemilu lokal, sekitar 34.000 pemilih Kristen tinggal di wilayah perbatasan selatan Lebanon.

Menjelang Natal, ancaman eskalasi baru masih membayangi, seiring tenggat bagi pemerintah Lebanon untuk melucuti Hizbullah di selatan Sungai Litani—syarat utama gencatan senjata.

Di Derdghaya, hiasan Natal berkilau terombang-ambing diterpa angin. Sekitar 30 warga lanjut usia pulang ke rumah masing-masing usai misa, termasuk Takla Nahhas yang berlindung di rumah tanpa pemanas.

Georges Elia tetap melanjutkan perannya sebagai Santa Claus, meski cuaca dingin dan baru pulih dari kecelakaan serius. Ia membagikan hadiah ke sekolah-sekolah, kepada anak-anak dari keluarga pengungsi.

Mereka tersenyum dalam kostum Santa—merayakan Natal di tengah puing dan ketidakpastian.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler