Pakar militer dan purnawirawan jenderal asal Yordania, Mayor Jenderal Fayez al-Duwairi, mengungkapkan bahwa Iran kini menerapkan pola serangan taktis baru terhadap Israel.
Setelah empat hari melakukan serangan intensif, Teheran kini memilih untuk meluncurkan roket dalam jumlah terbatas dengan jeda waktu yang tidak menentu, baik pada siang maupun malam hari.
Tujuannya, menurut al-Duwairi, adalah menciptakan ketidakstabilan sosial dan tekanan psikologis yang berkelanjutan di dalam masyarakat Israel.
“Taktik ini dimaksudkan agar roda ekonomi Israel tidak bisa kembali berputar normal. Serangan yang acak dan tidak terduga membuat publik dan aparat keamanan tetap dalam kondisi siaga dan cemas. Ini menimbulkan kegelisahan kolektif dan mencegah masyarakat untuk beradaptasi dengan situasi perang,” ujar Al-Duwairi dalam wawancara dengan media lokal, Rabu (18/6).
Menurut dia, Iran sebelumnya sempat menggempur dengan ratusan roket dalam dua hari pertama konfrontasi.
Namun, serangan skala besar itu tidak memberikan hasil signifikan. Kini, Iran beralih pada pendekatan yang mengutamakan kualitas serangan.
Termasuk penggunaan rudal hipersonik yang, meskipun mungkin tidak sepenuhnya akurat, mampu mencapai target sasaran secara umum.
Kondisi kabur di medan tempur serta ketidakjelasan arah konflik juga mendorong Teheran untuk lebih selektif dalam penggunaan persenjataan.
Iran tampaknya menyadari bahwa tidak ada kejelasan kapan perang ini akan berakhir, atau apakah konflik akan tetap terbatas antara Israel dan Iran saja.
“Konflik bisa saja berubah menjadi perang regional, bahkan lebih luas, apalagi jika Amerika Serikat benar-benar merealisasikan ancaman intervensinya,” ujar al-Duwairi.
Ia menambahkan, konflik yang tengah berlangsung ini kini memasuki fase stagnasi tanpa arah jelas—lingkaran setan yang menyulitkan prediksi.
“Kabut ketidakpastian membuat semua pihak perlu bersiap menghadapi skenario terburuk: konflik jangka panjang,” katanya.
Selain pertimbangan taktis, al-Duwairi juga menyinggung faktor logistik. Kendati Iran telah puluhan tahun mengandalkan kemampuan domestik akibat sanksi internasional, ia tetap tergantung pada sejumlah komponen elektronik kritis yang diimpor secara terselubung dari Eropa Timur, Jerman, dan Swedia.
Namun, saluran ini kini menghadapi pengawasan dan pembatasan yang lebih ketat.
“Hal ini semakin menyulitkan Iran mempertahankan kapasitas produksi rudalnya,” ujarnya.
Terkait efektivitas serangan Israel terhadap posisi Iran, Al-Duwairi menilai terdapat inkonsistensi dalam pernyataan pihak Israel sendiri.
Dalam waktu 48 jam, klaim kerusakan terhadap basis peluncuran Iran berubah dari 40 persen menjadi 50 persen.
“Ini menunjukkan bahwa data yang dikemukakan belum sepenuhnya dapat diverifikasi,” tambahnya.
Al-Duwairi memetakan dua kemungkinan jalan keluar dari kebuntuan saat ini. Skenario pertama, yakni penghentian operasi militer, tetapi dengan syarat bahwa pukulan terakhir harus datang dari Iran.
“Itulah kondisi yang relatif menguntungkan dan bisa diterima oleh Teheran,” katanya.
Namun, jika Amerika Serikat benar-benar turun tangan, maka akan muncul skenario kedua yang jauh lebih destruktif: serangan langsung terhadap reaktor-reaktor nuklir Iran dan infrastruktur vital lainnya.
“Jika skenario itu terjadi, maka Iran akan kehilangan seluruh kartu kekuatan yang dimilikinya,” ujar al-Duwairi mengingatkan.