Mazen al-Hamada, seorang aktivis asal Suriah yang terkenal dengan perjuangannya melawan rezim Bashar al-Assad, ditemukan tewas di rumah sakit militer dekat Damaskus pada Desember 2024, setelah ditangkap dan disiksa oleh pasukan keamanan Assad.
Sebelumnya, al-Hamada yang sudah menjadi pengungsi di Belanda, memutuskan untuk kembali ke Suriah pada 2020 setelah dibujuk dengan janji bahwa ia tidak akan disakiti. Namun kenyataannya, ia langsung ditangkap begitu tiba di tanah airnya.
Laporan yang dipublikasikan oleh situs berita Belanda, Alex Nieuws, mengungkapkan bahwa seorang mata-mata Suriah yang menyamar sebagai pengungsi di Belanda berhasil membujuk al-Hamada untuk pulang.
Mata-mata itu dikenal dengan nama Majed A, yang bekerja untuk dinas intelijen Suriah (Mukhabarat) dengan bayaran sekitar 800.000 euro selama tiga tahun.
Majed A menjalankan toko furnitur di Eindhoven sebagai kedok. Pembayarannya diterima melalui empat perusahaan yang beroperasi di Belanda antara 2019 dan 2021.
Berdasarkan keterangan seorang mantan anggota kelompok paramiliter yang setia kepada Assad, Majed A diutus untuk membujuk para lawan politik rezim yang melarikan diri ke luar negeri agar kembali ke Suriah dengan janji bahwa mereka tidak akan dihukum.
Pada 2020, rezim Assad memang mulai mengajak pengungsi Suriah untuk kembali ke tanah air dengan janji rekonsiliasi. Namun, kenyataannya banyak dari mereka yang kembali justru ditangkap, hilang, atau bahkan dibunuh setelah disiksa.
Meski banyak pengungsi yang menolak tawaran Majed A, al-Hamada memercayainya.
Aktivis yang dikenal lantang menceritakan penderitaannya di penjara Sednaya ini memang telah lama berbicara tentang penyiksaan fisik, psikologis, dan seksual yang ia alami selama 18 bulan ditahan pada 2012, setelah dituduh berusaha menyelundupkan susu formula ke daerah yang terblokade di pinggiran Damaskus.
Namun, setelah kembali ke Suriah pada 2020, al-Hamada langsung ditangkap dan dimasukkan ke penjara Sednaya yang terkenal kejam. Ia akhirnya ditemukan tewas di rumah sakit militer dekat Damaskus pada Desember 2024, pasca jatuhnya pemerintahan Assad.
Mouaz Moustafa, Direktur Eksekutif Syrian Emergency Task Force (SETF), sebuah organisasi yang memantau kasus orang hilang di Suriah, mengungkapkan bahwa al-Hamada dibohongi oleh intelijen Suriah dengan janji-janji palsu.
Salah satunya, bahwa ia bisa kembali ke rumah dan bernegosiasi untuk pembebasan para tahanan dari Deir Ezzor.
“Mazen dalam keadaan psikologis yang sangat buruk. Mereka memanfaatkan kondisinya yang tertekan dan traumanya. Tanpa pikir panjang, mereka memberinya paspor baru,” kata Moustafa.
“Meski kami dan keluarganya berusaha keras, Mazen tetap diberangkatkan dari Berlin ke Beirut, lalu ke Damaskus. Seorang wanita dari kedutaan ikut mengawalnya. Kontak terakhirnya adalah dengan tim SETF dan keponakannya di bandara,” lanjutnya.
Lamya al-Hamada, adik Mazen, menceritakan bahwa intelijen Suriah mengancam akan menangkap dirinya dan saudara perempuannya jika Mazen tidak kembali.
“Mazen tahu betul apa yang akan dilakukan rezim kepada perempuan,” kata Lamya, merujuk pada penyiksaan seksual yang sering terjadi di penjara-penjara Suriah.