Ahli militer dan strategi, Jenderal Fayez Duwairi, menyatakan Tentara Israel tidak memiliki kemampuan untuk maju di wilayah utara Jalur Gaza kecuali pada malam hari.
Berbicara kepada Aljazeera pada Sabtu, (19/10) dia mengatakan kondisi ini telah menciptakan tantangan baru bagi perlawanan Palestina.
Dalam analisisnya mengenai situasi militer di Gaza, Duwairi menjelaskan perbedaan antara operasi militer Israel saat ini di Gaza utara dengan operasi-operasi sebelumnya.
Dia menyoroti taktik baru yang digunakan oleh Israel dan berbagai kesulitan yang dihadapi oleh pasukan perlawanan Palestina.
Duwairi menjelaskan, pertempuran sengit dan korban besar akibat serangan perlawanan, di mana kelompok-kelompok perlawanan secara bertahap melaporkan kehancuran kendaraan dan tewasnya tentara Israel.
Namun, menurutnya, keberhasilan Israel dalam mengisolasi Kamp Jabalia dari empat arah telah menciptakan situasi yang berbeda kali ini.
Ia juga menegaskan sebagian besar operasi kemajuan tentara Israel terjadi pada malam hari.
Hal ini disebabkan kurangnya persenjataan pejuang yang mampu mendeteksi dalam kegelapan menggunakan teknologi inframerah, sehingga memungkinkan pasukan Israel untuk membangun barikade dan maju. Meskipun hanya dalam jarak terbatas antara 50 hingga 70 meter.
Duwairi juga menambahkan bahwa situasi ini telah menimbulkan permasalahan baru bagi kelompok perlawanan, meskipun mereka berhasil menimbulkan kerugian besar bagi pasukan Israel.
Ia juga menyoroti krisis kemanusiaan yang semakin memburuk, bahwa sekitar 150.000 warga Palestina terjebak di area seluas kurang dari dua kilometer persegi. Sementara tank-tank Israel berada dekat pusat-pusat penampungan warga Gaza.
Duwairi menilai bahwa Tentara Israel seakan-akan menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia, sehingga menyulitkan pejuang perlawanan dalam melaksanakan tugas mereka tanpa menempatkan warga sipil dalam bahaya.
Menurutnya, kondisi ini menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh para pejuang perlawanan, sesuatu yang tidak mereka hadapi dalam operasi-operasi sebelumnya.
Ketika diminta komentar terkait video yang dirilis Tentara Israel yang memperlihatkan pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, bersama keluarganya di dalam terowongan pada malam 7 Oktober, Duwairi menilai bahwa video tersebut lebih memberikan penghormatan kepada Sinwar daripada mencemarkan namanya.
Menurut Duwairi, video tersebut menunjukkan Sinwar, tokoh utama di balik operasi “Badai Al-Aqsa,” hidup dalam kondisi sulit di dalam terowongan, bukan di hotel bintang lima. Sebagai seorang ayah yang menjadi target utama, wajar jika ia berusaha melindungi keluarganya.
Duwairi menambahkan bahwa Sinwar yang tinggal bersama anak-anaknya di terowongan selama satu tahun adalah bentuk pengorbanan yang harus dihargai.
Ia bahkan menilai bahwa upaya Israel menggunakan video tersebut untuk mencemarkan nama Sinwar bisa jadi akan berbalik menjadi bumerang, karena dunia akan melihatnya sebagai pemimpin perlawanan yang rela mengorbankan kehidupan pribadinya demi perjuangan.
Duwairi juga mengatakan bahwa video tersebut sekaligus membantah tuduhan yang diarahkan kepada Sinwar dan pemimpin Hamas lainnya, bahwa mereka hidup dalam kemewahan.
Sebaliknya, video itu menunjukkan bahwa para pemimpin tersebut tidak mencari kehidupan yang mewah, melainkan berjuang untuk membebaskan tanah mereka dan melindungi kehormatan, siap untuk mati syahid di jalan Allah.