Dua analis politik menilai bahwa Hamas telah melempar “bola api” ke Israel dan memperburuk dilema internalnya melalui tanggapannya terhadap proposal yang diterimanya dari mediator.
Usulan tersebut mencakup persetujuan untuk membebaskan tentara Israel Idan Alexander yang berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS), serta menyerahkan jenazah empat warga berkewarganegaraan ganda.
Hamas mengumumkan bahwa pihaknya telah menyerahkan tanggapannya pada dini hari ini terhadap proposal yang diterimanya dari mediator.
Hamas juga menegaskan kesiapan penuh untuk memulai negosiasi dan mencapai kesepakatan komprehensif mengenai tahap kedua.
Hamas juga menyerukan agar Israel diwajibkan untuk memenuhi semua komitmennya berdasarkan perjanjian gencatan senjata.
Menanggapi perkembangan ini, peneliti dan analis politik Said Ziyad mengatakan bahwa Hamas berusaha membongkar kebuntuan dalam negosiasi.
Hamas juga dinilai melemahkan narasi Israel dengan menyetujui tawaran utama yang diajukan oleh Adam Boehler, utusan khusus Presiden AS, Donald Trump untuk urusan tahanan, yang disampaikan oleh para mediator tadi malam.
“Persetujuan Hamas adalah persetujuan atas niat, bukan persetujuan prosedural. Artinya, Hamas setuju jika masalah ini dikaitkan dengan negosiasi tahap kedua dalam perjanjian pertukaran tahanan dan gencatan senjata di Jalur Gaza,” jelasnya.
Ziyad menambahkan bahwa tanggapan Hamas terhadap tawaran para mediator dapat menarik perhatian AS dan membuktikan bahwa Hamas tertarik untuk bernegosiasi serta tidak bersikap keras kepala.
Hamas ingin masuk ke tahap kedua negosiasi tanpa harus memberikan konsesi terlebih dahulu.
Selain itu, persetujuan Hamas untuk membebaskan tahanan berkewarganegaraan Amerika dapat mendorong keluarga tahanan dan masyarakat Israel untuk berpikir bahwa memiliki kewarganegaraan ganda memberikan keuntungan dalam negosiasi. Karena ada negara lain yang bernegosiasi atas nama mereka.
“Posisi Hamas akan menempatkan Israel dalam konfrontasi dengan Amerika Serikat,” tegas Ziyad.
Namun, katanya, tidak menutup kemungkinan bahwa sikap ini akan memberikan dorongan bagi negosiasi tahap kedua serta memperlancar kembali masuknya bantuan ke Gaza. Sekaligus meningkatkan level perundingan langsung antara Hamas dan pemerintahan Amerika Serikat.
Manuver Netanyahu
Mengenai kemungkinan tanggapan Israel terhadap respons Hamas terhadap proposal para mediator, akademisi dan pakar urusan Israel, Dr. Muhannad Mustafa, mengatakan bahwa Israel akan menangani situasi ini dengan sangat hati-hati.
Ia menjelaskan bahwa Israel memasuki negosiasi dengan membawa usulan dari utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steven Witkoff.
Usulan itu mencakup gencatan senjata dalam jangka waktu terbatas dengan pembebasan sekelompok tahanan Israel, sebagai imbalan atas perpanjangan gencatan senjata di Gaza.
Menurutnya, persetujuan Hamas terhadap proposal para mediator menempatkan Israel dalam dilema.
Pertama, apakah para mediator telah menjanjikan Hamas untuk melanjutkan ke tahap kedua? Jika benar, hal ini menjadi masalah bagi Israel.
Karena mereka menolak masuk ke tahap ini dan berusaha memperpanjang tahap pertama atau mencari kerangka baru yang memungkinkan perpanjangan gencatan senjata dengan imbalan pembebasan lebih banyak tahanan.
Di tingkat politik domestik Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan untuk menyetujui kesepakatan komprehensif, bukan hanya kesepakatan terbatas.
Selain itu, ia juga akan menghadapi tekanan terkait pembebasan tahanan yang memiliki kewarganegaraan ganda.
Namun, menurut Dr. Mustafa, Netanyahu akan memanfaatkan situasi ini untuk bermanuver dan mencoba mengulur waktu.
Dalam konteks respons Israel, surat kabar Jerusalem Post mengutip seorang pejabat Israel yang mengatakan bahwa usulan Hamas untuk membebaskan sandera berkewarganegaraan Amerika bertujuan untuk mengacaukan negosiasi.
Menurut analis politik Ziyad, Hamas telah melempar bola api ke Israel. Hamas menunjukkan bahwa dilema internal Israel akan semakin memburuk.
“Terutama karena kedekatan Amerika Serikat dengan Hamas dapat mengurangi dukungan Washington terhadap Israel dan menjauhkan kemungkinan perang kembali ke Gaza,” katanya.
Ia menambahkan bahwa kunci perkembangan negosiasi ada di tangan AS.
Sebelumnya, Adam Boehler, utusan khusus Presiden AS untuk urusan tahanan, bertemu dengan pejabat tinggi Hamas di ibu kota Qatar, Doha, tanpa sepengetahuan Israel. Tujuan pertemuan itu guna membahas pembebasan tahanan Israel yang ditahan di Gaza, termasuk 5 warga AS.
Perlu diketahui bahwa pada awal Maret lalu, tahap pertama dari perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel telah berakhir.
Perjanjian ini dimulai pada 19 Januari lalu dengan mediasi Qatar dan Mesir serta dukungan dari AS.