Thursday, November 27, 2025
HomeBeritaAnalis: Israel berupaya membagi Gaza dan memecah Tepi Barat

Analis: Israel berupaya membagi Gaza dan memecah Tepi Barat

Upaya para mediator untuk mendorong pelaksanaan tahap kedua dari perjanjian gencatan senjata terkendala oleh perluasan operasi militer Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Sejumlah analis menilai langkah ini sebagai strategi untuk mempertahankan suasana perang dan menjaga berbagai front tetap menyala, sembari memperdalam kontrol Israel atas lebih dari separuh wilayah Gaza.

Dalam beberapa hari terakhir, pasukan Israel melancarkan operasi besar di bagian utara Tepi Barat, beriringan dengan eskalasi serangan di Gaza.

Mulai dari serangan udara hingga penghancuran bangunan di kawasan yang seharusnya berada dalam zona penghentian tembak, meski ada seruan internasional untuk melangkah ke tahap kedua kesepakatan.

Harian Maariv mengutip sumber militer yang menyebut operasi tersebut dilakukan setelah terdeteksi peningkatan potensi aksi perlawanan bersenjata dan upaya pembentukan kelompok-kelompok tempur di Tepi Barat.

Dalam waktu bersamaan, 4 warga Palestina tewas akibat serangan Israel di Beit Lahia (Gaza utara), Kamp Pengungsian Maghazi (tengah), dan Bani Suheila di Khan Younis (selatan).

Sejumlah bangunan juga dihancurkan di utara Rafah dan timur Kota Gaza.

Data Kantor Media Pemerintah di Gaza mencatat adanya 500 pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata sejak mulai diterapkan 6 pekan lalu.

Hal itu menyebabkan gugurnya 350 warga Palestina, lebih dari 900 terluka, dan sekitar 40 orang ditangkap.

Menjaga api konflik tetap menyala

Pakar urusan Israel, Dr. Mahnnd Mustafa, menilai Israel sengaja menjaga eskalasi di Gaza, Tepi Barat, dan bahkan Lebanon, demi memastikan seluruh front tetap aktif.

Menurut dia, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berupaya memuaskan basis politik garis kerasnya setelah kehilangan peluang memperluas kesepakatan normalisasi dan meraih keuntungan regional pascaperang.

Mustafa menilai jalan yang kini ditempuh Netanyahu—yang juga menghadapi tekanan hukum internasional—adalah kembali kepada tujuan awal perang: pendudukan, pemisahan, dan penyingkiran struktur nasional Palestina, terutama di Tepi Barat.

Ia menambahkan, Israel selalu menganggap Tepi Barat sebagai potensi front perlawanan akibat kebijakan aneksasi intensif yang dilakukan selama perang.

Sehingga operasi militer tidak akan berhenti bahkan jika Hamas di Gaza menyerahkan senjatanya.

Pandangan ini sejalan dengan pengamatan akademisi Universitas Birzeit, Ghassan Khatib. Ia melihat operasi terakhir di Tubas dan kedua kamp pengungsian—Tulkarm dan Nur Shams—hanyalah lanjutan dari pola operasi harian Israel di seluruh Tepi Barat.

Pasukan Israel memberlakukan pengepungan total dan jam malam di Kota Tubas, menyerbu Kamp al-Far’a dan sejumlah desa di sekitarnya, serta mengusir warga dari rumah mereka untuk dijadikan pos militer.

Menurut Khatib, tujuan Israel bukan sekadar memperluas permukiman, tetapi menekan warga Palestina agar terkungkung dalam ruang gerak sangat terbatas, sehingga akses terhadap pekerjaan, layanan, dan kehidupan sosial terhambat.

Sebuah tekanan yang, secara tidak langsung, mendorong mereka meninggalkan tanahnya sendiri.

Dalam kerangka ini, analis politik Iyad al-Qara melihat strategi Israel sebagai upaya mengubah Tepi Barat menjadi kumpulan kanton terputus.

Menurut dia, langkah itu dirancang untuk melemahkan kohesi masyarakat Palestina dan membuka jalan bagi migrasi paksa.

Al-Qara menekankan bahwa banyak warga Palestina meyakini potensi bangkitnya perlawanan baru jika rencana tersebut terus dipaksakan.

Hal itu karena Israel menilai penguasaan penuh atas Tepi Barat akan mematikan aspirasi berdirinya negara Palestina secara permanen.

Sementara itu, mantan penasihat keamanan nasional AS, Mark Feivel, menyatakan Israel tetap melanjutkan serangannya di Tepi Barat meski Presiden AS Donald Trump menegaskan penolakan terhadap aneksasi wilayah tersebut.

Feivel menilai keterlambatan peralihan menuju tahap kedua gencatan senjata memperpanjang pertempuran di Gaza.

Ia menganggap tahapan itu hampir mustahil dicapai tanpa pelucutan senjata Hamas.

Menurut dia, pasukan Israel tidak akan meninggalkan Gaza tanpa jaminan tersebut.

Negara-negara Islam yang terlibat dalam negosiasi perlu memberi tekanan agar Hamas menerima ketentuan itu sebelum AS dapat memaksa Israel melakukan penarikan.

Mustafa menolak pandangan itu. Ia berpendapat Israel tetap akan melanjutkan operasi di Tepi Barat sekalipun Hamas melucuti senjata, karena tujuan strategisnya adalah menjaga pemisahan total antara Gaza dan Tepi Barat.

Menurut dia, jauh sebelum perang dimulai, Israel telah menjalankan kebijakan “Yahudisasi” Tepi Barat sementara hanya berupaya “mengendalikan” Gaza.

Membelah Gaza

Sejumlah akademisi Palestina memperkirakan Israel akan berupaya membagi pelaksanaan tahap kedua kesepakatan menjadi beberapa fase.

Mereka percaya Israel tidak berniat menarik pasukannya sebelum pelucutan senjata Hamas benar-benar terjadi.

Sikap yang pada akhirnya dapat menggagalkan kesepakatan secara keseluruhan.

Ghassan Khatib melihat adanya keselarasan kepentingan AS dan Israel dalam mendorong realitas pemisahan Gaza antara wilayah yang dikuasai Israel dan wilayah yang tetap ditempati Hamas.

Baginya, skema itu memberi keuntungan strategis bagi Israel: separuh kawasan Gaza yang telah kosong penduduk dapat diubah menjadi zona penyangga yang luas.

Khatib menyebut satu-satunya jalan keluar dari situasi ini adalah adanya koordinasi yang lebih kuat antara kelompok perlawanan Palestina dengan negara-negara Arab.

Termasuk memperluas ruang gerak bagi Otoritas Palestina untuk mencari solusi politik yang bertahan.

Di tengah kondisi yang terus memburuk, warga Palestina resah atas sikap Amerika Serikat yang dinilai kabur dan tidak tegas menghadapi pelanggaran Israel.

Menurut al-Qara, Netanyahu bisa mempertahankan status quo selama bertahun-tahun, meski dengan sedikit pelonggaran pada akses bantuan.

Feivel, di sisi lain, menilai peran Presiden Trump sebagai Ketua Dewan Perdamaian Gaza seharusnya mendorong Washington bergerak lebih aktif.

Ia berpendapat bahwa satu-satunya jalur untuk memulai kemajuan dalam perjanjian dan mendorong penarikan Israel adalah melalui negosiasi langsung antara AS dan Hamas.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler