Hilangnya kontak dengan Idan Alexander, warga negara ganda Israel-Amerika yang ditawan di Gaza, menjadi babak baru yang dapat mengguncang dinamika politik kawasan.
Para analis memperkirakan, jika Alexander dipastikan tewas akibat serangan Israel sendiri, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump kemungkinan besar akan mendesak segera diakhirinya perang.
Dalam pernyataan yang disampaikan juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Ubaida, pada Selasa (16/4), dinyatakan bahwa pihaknya kehilangan komunikasi dengan kelompok yang menjaga Alexander setelah lokasi penahanannya dibombardir oleh pasukan Israel.
“Upaya tengah dilakukan untuk menjalin kembali kontak dengan para penjaga Alexander,” ujar Abu Ubaida.
Ia juga menuduh Israel sengaja menargetkan tahanan berkewarganegaraan ganda demi menghindari tekanan diplomatik dalam isu pertukaran tawanan.
Tekanan pada Trump
Rob Arlett, mantan direktur kampanye Trump di negara bagian Delaware, menilai bahwa perkembangan ini dapat memicu ketidaksabaran Trump.
“Kematian seorang warga AS dalam situasi ini dapat memicu respons keras dari Presiden Trump, yang selama ini mengedepankan penyelesaian damai,” kata Arlertt dalam wawancara dengan Al Jazeera.
Menurut Arlett, jika benar Alexander tewas akibat serangan Israel, hal ini akan menambah ketegangan antara Washington dan Tel Aviv. Ia memprediksi Trump akan menuntut akuntabilitas dan transparansi dari pemerintah Israel.
“Ini bukan kabar baik bagi kedua belah pihak,” ujarnya.
Indikasi tewas
Peneliti politik Palestina, Said Ziyad, menguatkan kemungkinan bahwa Alexander telah tewas.
Mengingat, lanjutnya, beberapa tahanan yang sebelumnya dinyatakan hilang kontak akhirnya diumumkan gugur akibat serangan Israel, seperti yang terjadi pada Haim Peri dan Amir Kup.
Ziyad mengungkapkan bahwa Hamas sebenarnya telah bersedia membebaskan Alexander melalui perundingan dengan AS beberapa minggu lalu.
Namun, menurutnya, kesepakatan itu digagalkan oleh Israel yang dinilai lebih memilih membunuh para tahanan ketimbang menghadapi tekanan internasional untuk negosiasi.
Ia juga mengutip pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di awal perang yang menyatakan bahwa para tahanan akan dianggap sebagai korban jiwa.
Hal ini menandakan ketidaksiapan Israel untuk bernegosiasi sungguh-sungguh mengenai nasib mereka.
Peringatan Hamas dan kecemasan publik
Perkembangan ini dinilai akan memperburuk krisis kepercayaan publik Israel terhadap kepemimpinan Netanyahu.
Analis Israel, Ihab Jabarin, menyebutkan bahwa kematian Alexander, jika dikonfirmasi, akan memperdalam frustrasi warga Israel terhadap kebijakan pemerintah.
“Netanyahu tidak belajar dari kesalahan masa lalu, termasuk kasus Hadar Goldin satu dekade lalu,” ujarnya.
Situasi ini juga terjadi di tengah stagnasi negosiasi selama 2 hari terakhir dan meningkatnya tekanan dari kelompok sayap kanan terhadap Netanyahu yang dianggap gagal menyelesaikan isu sandera.
Brigade Al-Qassam turut menyampaikan pesan video kepada keluarga para tahanan Israel pada hari yang sama.
“Bersiaplah—anak-anak kalian akan kembali dalam peti mati hitam. Kepemimpinan kalian telah menandatangani surat kematian mereka,” demikian dalam pesan tersebut.
Pada Sabtu lalu, Al-Qassam menayangkan video Alexander yang memohon kepada Presiden Trump untuk turun tangan membebaskannya.
Dalam rekaman itu, ia menuduh Netanyahu telah mengabaikan nasib para tahanan.
Video tersebut adalah yang kedua dari Alexander, setelah tayangan pertamanya pada 30 November 2024.
Dalam video pertama, ia menyatakan ketakutannya bernasib seperti warga AS lainnya, Hersh Goldberg-Polin, yang sebelumnya dinyatakan tewas akibat serangan Israel di Gaza.
Dengan ketegangan yang terus meningkat dan tekanan internasional yang menguat. Situasi ini dapat menjadi momentum penting dalam mendorong terciptanya tekanan diplomatik yang lebih besar untuk menghentikan perang di Jalur Gaza.