Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dinilai tengah berupaya menyeret negara-negara Arab ke dalam pusaran perang Gaza.
Langkah ini muncul setelah Israel gagal mencapai target militernya dalam dua tahun perang yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut sebagai tindakan genosida.
Trump, Selasa (23/9) malam waktu New York, menggelar pertemuan yang disebutnya “sangat penting” bersama para pemimpin dan pejabat sejumlah negara Arab dan Islam. Pertemuan ini berlangsung di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB.
Menurut Gedung Putih, agenda pertemuan membahas langkah menghentikan perang di Gaza.
Namun, analis meyakini bahwa Trump sebenarnya ingin mendorong keterlibatan militer negara-negara Arab.
“Trump kemungkinan meminta negara-negara Arab mengirim pasukan untuk menggantikan sebagian peran Israel di Gaza, sekaligus melucuti senjata perlawanan sebelum berbicara tentang penghentian perang,” kata Thomas Warrick, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS.
Dalam program Masar al-Ahdats, Warrick memperkirakan Trump akan “bersikap keras” dan tidak akan menerima opsi gencatan senjata tanpa kehadiran pasukan Arab.
Ia juga menilai Trump akan meminta negara-negara tersebut mengucurkan dana besar untuk menutupi kebutuhan rakyat Gaza yang selama ini dikepung dan dibuat kelaparan oleh Israel.
Meski demikian, Warrick ragu rencana itu bisa terwujud.
“Para penasihat yang dipercaya Trump sendiri menilai negara-negara Arab tidak akan mengirim pasukan ke Gaza. Pengakuan dunia terhadap Palestina hanya akan menjadi wacana jika tidak dibarengi tindakan nyata,” ujarnya.
Agenda terselubung
Dalam pidatonya di Majelis Umum, Trump justru menuding Hamas sebagai pihak yang bertanggung jawab atas berlarutnya perang.
Ia sama sekali tidak menyinggung penderitaan warga sipil Gaza maupun tanggung jawab Israel.
Hossam Shaker, peneliti hubungan internasional, menilai pidato Trump menunjukkan absennya proses politik sejati.
“Semua opsi yang diajukan hanya menguatkan logika nol-sum yang dikehendaki Israel,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pertemuan Trump dengan para pemimpin Arab lebih tampak sebagai upaya “menjerat” mereka untuk ambil bagian dalam skenario pascaperang, sambil memberi Israel waktu lebih lama untuk melumat Gaza.
Sikap serupa datang dari Mohammed al-Hindi, Wakil Sekretaris Jenderal Jihad Islam. Ia menegaskan bahwa tidak ada usulan baru yang serius dari Washington.
“Amerika tidak pernah sungguh-sungguh ingin menghentikan perang, bahkan sering mengingkari proposal yang dia ajukan sendiri,” kata al-Hindi kepada Al Jazeera, Senin (22/9).
Posisi Netanyahu
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang kini berstatus tersangka di Mahkamah Pidana Internasional, kembali menegaskan tekad melanjutkan operasi militer hingga Hamas disingkirkan.
Ia mengklaim tujuannya adalah “menciptakan perdamaian di kawasan”.
Namun, menurut Mahand Mustafa, analis politik Israel, justru Netanyahu yang akan menggagalkan setiap usulan gencatan senjata, bahkan jika negara Arab bersedia mengirim pasukan.
“Bagi Netanyahu dan sayap kanan ekstrem Israel, penghentian perang berarti kekalahan politik dan strategis. Mereka menginginkan pendudukan penuh Gaza, bahkan dengan rencana pemukiman dan pengusiran penduduk,” katanya.
Mustafa menilai Netanyahu kemungkinan akan berpura-pura menerima usulan Trump, tetapi dengan menambahkan syarat yang mustahil diterima pihak mana pun.
Seperti penolakan terhadap peran Otoritas Palestina di Gaza, keberadaan zona militer Israel di dalam wilayah, serta kebebasan penuh Israel melakukan operasi.
“Hasilnya, sama seperti sebelumnya: kegagalan,” ujarnya.
Ia menambahkan, keberadaan pasukan Arab di Gaza dengan pemerintahan lokal tanpa Hamas tetap akan dipandang sebagai kegagalan bagi Netanyahu, sebab ia tak mampu memenuhi janji kemenangan total.
“Karena itu, ia akan berusaha meyakinkan Trump agar mendukung agenda militer Israel. Netanyahu tidak ingin perang segera selesai, bahkan jika itu berujung pada kerugian strategis bagi Israel sendiri,” tegas Mustafa.