Para ahli dan analis sepakat bahwa petisi yang ditandatangani oleh perwira cadangan Angkatan Udara Israel mencerminkan perubahan dalam sikap internal Israel terhadap kelanjutan perang di Jalur Gaza.
Hal itu juga menandai retaknya konsensus yang sebelumnya kuat di awal perang.
Kepala Staf Umum Israel, Eyal Zamir, pada Kamis kemarin menyetujui keputusan untuk memecat sejumlah perwira senior dan sekitar seribu tentara cadangan dari dinas militer.
Hal itu setelah mereka menandatangani surat yang menyerukan penghentian perang di Gaza, menyebut tindakan mereka sebagai hal yang serius.
Perubahan sikap internal
Menurut peneliti politik Israel Yoav Stern, petisi yang ditandatangani oleh sekitar seribu tentara Angkatan Udara Israel menunjukkan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mencapai kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas.
Dalam program “Masar al-Ahdath” (Lintasan Peristiwa), Stern mengatakan bahwa semua pihak di Israel memahami bahwa tidak ada gunanya melanjutkan perang ini.
Bahkan, katanya, jika lebih banyak pemimpin Hamas dibunuh, karena Israel telah kehilangan capaian strategisnya dalam perang ini.
Pakar urusan Israel, Mohannad Mustafa, sependapat dan menambahkan bahwa konsensus yang terbentuk pada Oktober 2023 mulai retak setelah gencatan senjata sementara.
Ia menekankan bahwa fokus utama konsensus di Israel saat ini adalah memulangkan para tawanan Israel dari Gaza.
Mustafa menjelaskan bahwa ini bukan isu sampingan bagi masyarakat Israel. Melainkan persoalan yang menentukan identitas negara dan hubungannya dengan warganya, serta menjadi dasar kontrak sosial di antara keduanya.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, dengan keras menolak isi surat para cadangan Angkatan Udara itu.
“Sebagai usaha merusak legitimasi perang yang ia anggap adil,” menurut klaimnya.
Penolakan yang meluas
Stern menunjukkan bahwa gerakan protes ini semakin meluas, dengan kabar bahwa petisi serupa sedang disiapkan oleh dinas intelijen Israel dan institusi lainnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah Israel saat ini terus melanjutkan perang demi kepentingan internal dan politik sempit, tanpa tujuan strategis yang jelas.
Sementara itu, Mustafa memperingatkan bahwa petisi ini datang dalam konteks yang lebih luas.
Pemerintah Israel memanfaatkan situasi perang untuk melakukan perubahan hukum dan konstitusi yang melemahkan institusi politik dan memperkuat kekuasaan eksekutif.
Stern menambahkan bahwa pemerintahan Benjamin Netanyahu bersikeras melanjutkan perang karena tekanan dari para menteri seperti Itamar Ben Gvir dan Bezalel Smotrich, yang sebelumnya mengancam akan keluar dari koalisi jika perang dihentikan.
Setelah munculnya petisi ini, surat kabar Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa 550 dokter Israel juga mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa “kelanjutan perang di Gaza hanya melayani kepentingan politik dan pribadi”.
Sebuah frasa yang kini semakin sering terdengar di kalangan elit Israel.
Sementara itu, profesor ilmu politik di Universitas Ibrani Yerusalem, Meir Masri, menganggap petisi itu “tidak relevan”.
Alasannya, bahwa 90% penandatangan tidak lagi aktif dalam dinas cadangan.
Namun Stern menanggapi bahwa para tentara dan perwira itu tetap memiliki hak sebagai warga negara untuk menyuarakan pendapat mereka.
Ia menyampaikan kepada pemerintah bahwa harus ada jalan lain yang dipilih.
Preseden sejarah atau pola yang berulang?
Terkait apakah petisi ini merupakan preseden dalam sejarah Israel, Mustafa menjawab bahwa ini bukan hal baru. Ia mengingatkan bahwa pernah ada petisi serupa dari tentara Israel, seperti petisi pilot pada tahun 2003.
Ia menambahkan bahwa perbedaan kali ini adalah jumlah pilot aktif dari Angkatan Udara yang menandatangani petisi mencapai 60 orang.
Hal ini jika dibandingkan dengan hanya 27 orang pada tahun 2003, menunjukkan adanya peningkatan signifikan.
Mustafa juga menyatakan bahwa sejarah Israel telah mencatat sejumlah petisi oleh tentara dan perwira atas dasar “hati nurani”.
Namun petisi kali ini secara terang-terangan menentang pemerintah karena alasan politik yang beragam.
Perubahan sikap di Barat
Dalam konteks eksternal, Mustafa menunjukkan bahwa genosida yang berlangsung di Gaza selama satu setengah tahun terakhir telah meruntuhkan semua klaim moralitas yang selama ini coba dipromosikan Israel di panggung internasional.
Dalam hal ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa negaranya mungkin akan mengakui negara Palestina pada Juni mendatang.
Hal itu akan dilakaukan dalam konferensi internasional tentang Palestina yang akan dipimpin Prancis bersama Arab Saudi di New York.
Para ahli dan analis menilai bahwa pernyataan Macron mencerminkan perubahan sikap Eropa terhadap isu Palestina dan ketidakpuasan terhadap kebijakan pendudukan Israel.
Menurut penulis dan peneliti urusan internasional, Hussam Shaker, pernyataan Macron dimaksudkan untuk memastikan bahwa isu Palestina tetap berada di atas meja diplomatik dengan harapan konkret.
Hal itu juga sebagai respons terhadap tekanan publik di Prancis yang menolak pembantaian dan melakukan protes setiap akhir pekan.
Shaker juga menunjukkan adanya keresahan dari pihak Eropa terhadap kebijakan ekstrem Israel dan kembalinya perang secara masif.
Perkembangan retorika Prancis
Shaker menambahkan bahwa semua pihak kini menyadari bahwa proyek pendudukan saat ini adalah proyek untuk mengakhiri isu Palestina.
Proyek ini secara jelas sejalan dengan pendekatan Amerika pada masa Presiden Donald Trump, yang mendukung upaya “likuidasi” isu Palestina sesuai kepentingan pendudukan.
Ia menyatakan bahwa Prancis kini memasuki tahap baru dalam retorikanya, mencoba menunjukkan bahwa mereka masih berpegang pada visi solusi dua negara.
Mereka juga menginginkan perdamaian di kawasan, tanpa terpengaruh oleh tindakan pendudukan atau bahkan arah kebijakan AS.
Sementara itu, Mustafa berpendapat bahwa meskipun pengakuan terhadap negara Palestina tidak mengubah banyak hal di lapangan, hal ini tetap mengganggu Israel karena membawa kembali isu Palestina ke permukaan.
Menurutnya, Israel melawan fenomena ini dengan keras dan menuduh pemerintah-pemerintah Eropa memiliki kecenderungan antisemitisme karena mengakui negara Palestina.
Ketegangan dengan Trump
Mustafa juga menambahkan bahwa Israel mencoba memperluas definisi antisemitisme untuk menakuti negara-negara Eropa agar tidak mengakui negara Palestina.
Ia menggambarkan pengakuan tersebut sebagai ancaman terhadap proyek Zionis dan terhadap keberadaan Israel.
Hussam Shaker menyatakan bahwa isu utama sebenarnya adalah berdiri di sisi rakyat Palestina.
Ia yakin bahwa Paris dapat menghentikan genosida di Gaza hanya dengan satu ancaman sanksi.
Menurut pandangannya, suasana ketegangan dengan Trump dapat mendorong Eropa untuk maju.
Ia menjelaskan bahwa posisi Macron sekarang tidak mungkin muncul jika kita masih berada di masa pemerintahan Presiden AS Joe Biden.
Namun, ada perasaan saat ini bahwa yang mendukung pendudukan adalah pendekatan ala Trump.
Hingga kini, sekitar 150 dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah secara resmi mengakui negara Palestina.
Pada Mei lalu, Irlandia, Spanyol, Norwegia, dan Slovenia bergabung dalam daftar tersebut.