Para pemimpin 3 negara mengadakan pertemuan terkait krisis yang terjadi di Gaza. Pemimpin tersebut adalah presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi, presiden Prancis Emmanuel Macron, dan raja Yordania Abdullah II.
Pertemuan itu membahas terkait memburuknya krisis kemanusiaan di Gaza, dan keengganan mesin militer Israel untuk mendengarkan seruan kembali pada kesepakatan gencatan senjata di wilayah tersebut.
Hasil dari Konferensi Timur-Tengah (KTT) 3 negara, mencakup seruan kepada masyarakat internasional untuk mendorong penghentian perang Israel terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza, yang telah berlangsung selama sekitar satu setengah tahun. Pertemuan itu diadakan pada hari Senin kemarin di Istana Kepresidenan Al-Ittihadiya di timur Kairo.
Ketiga pemimpin tersebut menegaskan penolakan terhadap pemindahan paksa warga Palestina.
Mereka juga mendukung hasil KTT Liga Arab terakhir termasuk rencana rekonstruksi Gaza. Serta pentingnya dimulainya kembali penyaluran bantuan kemanusiaan yang memadai untuk mengurangi krisis yang semakin parah akibat blokade Israel.
Di sela-sela KTT tersebut, para pemimpin melakukan panggilan telepon bersama dengan Presiden AS Donald Trump.
Panggilan itu mencakup diskusi tentang cara menjamin penghentian segera serangan di Gaza, melanjutkan pengiriman bantuan kemanusiaan, dan membebaskan para tahanan.
Menurut juru bicara kepresidenan Mesir, para pemimpin menekankan perlunya menciptakan kondisi untuk mencapai prospek politik yang nyata.
Mereka juga mengerahkan upaya internasional guna mengakhiri penderitaan rakyat Palestina serta mewujudkan solusi dua negara.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Palestina menyambut baik hasil KTT 3 negara, menegaskan bahaya berlanjutnya agresi Israel terhadap stabilitas Kawasan.
Dalam pernyataannya mereka meminta Prancis untuk menerjemahkan upayanya menjadi pengakuan Eropa secara kolektif atau individual terhadap Negara Palestina.
Serta, mendukung upaya Palestina dan Arab dalam memperoleh keanggotaan penuh di PBB.
Langkah yang hilang
Guru besar ilmu politik dan asisten sekjen Koalisi Pendukung Opsi Perlawanan, Gamal Zahran menungkapkan pandangannya dalam wawancaranya dengan Al Jazeera.
“Selama hasil dari KTT ini tidak disertai dengan ancaman langkah tegas terhadap Israel, maka pertemuan ini dianggap tidak efektif,” katanya.
Zahran mengusulkan agar 3 negara, yaitu Mesir, Yordania, dan Prancis, menghentikan hubungan ekonomi dan diplomatik dengan Tel Aviv.
“Langkah ini pasti akan berdampak terhadap Israel dan menjadi tekanan yang nyata,” imbuhnya.
Namun menurutnya, KTT tersebut tidak menunjukkan adanya kehendak, tindakan, atau kemampuan untuk memberikan tekanan kepada pihak yang sedang melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. Sehingga tidak memberikan manfaat nyata bagi Gaza.
Ia menunjukkan bahwa kunjungan Presiden Prancis ke Kairo tidak semata-mata untuk menghadiri KTT. Melainkan, juga mencakup kesepakatan dengan Mesir dalam bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, dan pertahanan, serta mengunjungi berbagai situs bersejarah.
Optimisme yang hati-hati
Sementara itu, jurnalis dan pengamat urusan Amerika Serikat (AS), Mohamed El-Sattouhi, menunjukkan adanya kesamaan posisi antara Prancis dengan Mesir dan Yordania terkait Gaza
Terutama dalam menyerukan penghentian serangan dan menolak pembersihan etnis serta penjajahan ulang atas wilayah tersebut.
Ia menjelaskan kepada Al Jazeera bahwa ada keinginan kuat dari komunitas internasional—yang dapat dilihat dari sesi Dewan Keamanan PBB—untuk menghentikan serangan dan membuka jalur bantuan kemanusiaan.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat ini sangat mengandalkan dukungan penuh dari pemerintahan Trump. Baik secara militer maupun politik, dalam menghadapi tekanan internasional.
Menurut El-Sattouhi, dua kali kunjungan Netanyahu ke Gedung Putih dalam waktu dua bulan menunjukkan betapa besarnya perubahan dalam posisi AS dengan kembalinya Trump.
“Kini kita tidak lagi mendengar kritik dari AS terhadap operasi militer Israel yang membunuh warga sipil dan anak-anak, atau bahkan terhadap blokade bantuan kemanusiaan. Sebaliknya, Hamas terus disalahkan atas semua kejadian tersebut,” katanya.
Ia tidak terlalu optimistis terhadap hasil KTT 3 negara, dan memperkirakan dukungan AS terhadap Tel Aviv tidak akan berubah.
Namun, ia berharap akan ada kesepahaman untuk meredakan operasi militer sebelum kunjungan Presiden AS ke Arab Saudi.
“Trump tidak ingin mengunjungi Riyadh saat perang masih berlangsung dengan intensitas seperti sekarang, yang dapat berdampak negatif pada kunjungan tersebut,” ujarnya.
Mengenai isu pengusiran, El-Sattouhi menilai tidak ada tanda-tanda penarikan kembali rencana pemindahan penduduk Gaza.
Ia menekankan bahwa penolakan terhadap pemindahan paksa saja tidak cukup.
“Karena Israel sedang menghancurkan semua faktor kehidupan yang memungkinkan warga Palestina untuk tetap tinggal di Gaza, lalu membicarakan soal pengusiran sukarela. Maka, perlu ditegaskan penolakan total terhadap segala bentuk pengusiran,” jelasnya.
Macron di Al-Arish
Sehari setelah KTT 3 negara, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengunjungi kota perbatasan Al-Arish bersama Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi.
Ribuan warga Mesir berkumpul di depan bandara Al-Arish dan gerbang Rafah, mengangkat spanduk yang menyatakan solidaritas dengan posisi resmi yang menolak pemindahan warga Palestina.
Dalam kunjungan yang merupakan yang pertama kalinya dilakukan oleh presiden Eropa ke wilayah tersebut, Macron meninjau Rumah Sakit Al-Arish yang menerima pasien asal Palestina.
Ia juga mengunjungi pusat bantuan kemanusiaan untuk Gaza yang terletak dekat dengan perbatasan Rafah.
Menurut Ma’soum Marzouk, mantan asisten Menteri Luar Negeri Mesir, kunjungan Macron ke Rafah memiliki nilai diplomatik.
“Agar ia melihat sendiri kondisi truk-truk bantuan yang menumpuk di depan gerbang yang tertutup akibat kekejaman militer Israel,” katanya.
Dalam pernyataannya kepada Al Jazeera, ia mengatakan bahwa ia melihat dengan mata kepala sendiri tidak sama dengan hanya mendengar.
“Macron akan melihat sendiri bahan makanan yang mungkin sudah mulai membusuk karena terlalu lama menunggu di depan gerbang, dan bisa saja ia juga melihat sekilas kehancuran di dalam Gaza,” tuturnya.
Secara umum, Marzouk berpendapat bahwa kontribusi Eropa sejak awal perang tampak lemah dalam hal menghentikan agresi Israel.
Karena negara-negara Eropa tidak memiliki cukup alat tekanan terhadap Israel, dan Prancis bukan pengecualian.
Meski begitu, menurutnya ada perubahan dalam sikap Eropa.
“Pada awal perang, Eropa sepenuhnya berpihak kepada Israel, tetapi seiring waktu dan dengan keangkuhan serta kebrutalan pendudukan, mereka mulai berpihak kepada opini publik internasional yang mendukung penghentian agresi terhadap Gaza,” katanya.
Ia berharap kunjungan Presiden Prancis ke Timur Tengah menjadi langkah awal agar Eropa mengambil sikap yang lebih serius terhadap genosida yang sedang terjadi terhadap rakyat Palestina.