Wednesday, April 16, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Apakah proyek "Riviera Trump" di Gaza gagal?

ANALISIS – Apakah proyek “Riviera Trump” di Gaza gagal?

Sekitar 2 bulan lalu, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengusulkan rencananya untuk memindahkan lebih dari 2 juta warga Palestina dari Gaza ke negara-negara tetangga.

Alasanya, bahwa wilayah tersebut tidak lagi layak huni setelah kehancuran besar yang disebabkan oleh Israel.

Ia berencana mengubah kawasan yang terkepung itu menjadi “Riviera Timur Tengah”, sebuah gagasan yang mengejutkan kawasan dan dunia, serta menimbulkan banyak pertanyaan tentang kemungkinan realisasinya.

Meski sorotan regional dan internasional terhadap rencana ini mulai mereda, dampaknya masih terasa. Terutama setelah Israel kembali melancarkan perang besar terhadap Gaza sejak 18 Maret dengan dukungan terbuka dari AS.

Serangan tersebut diklaim sebagai upaya menekan Hamas agar bersedia berkompromi terkait pembebasan tawanan Israel yang mereka tahan.

Selama berminggu-minggu, Trump terus menyuarakan rencananya, mencerminkan tekadnya untuk melaksanakan “pemukiman kembali” warga Gaza dan menjadikan wilayah tersebut sebagai milik jangka panjang AS.

Pernyataan terbarunya muncul pada hari Selasa, saat ia menggambarkan Gaza sebagai wilayah properti yang penting dan luar biasa.

Ia juga mengatakan bahwa kehadiran “pasukan perdamaian” seperti AS untuk menguasai dan memiliki Gaza akan menjadi hal yang baik.

Namun, sebelumnya, pada bulan Februari dan Maret, Trump tampak mundur selangkah dari rencananya untuk mengusir warga Gaza secara permanen.

Ia menyatakan tidak akan memaksakan rencana tersebut dan hanya akan merekomendasikannya, serta menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang akan dipaksa keluar dari Gaza.

Pernyataan ini berbeda dengan sebelumnya ketika ia mengatakan bahwa Amerika akan menguasai Gaza dan warganya akan dipindahkan ke Mesir dan Yordania.

Kemungkinan, Trump sampai pada kesimpulan ini setelah melihat penolakan tegas terhadap prinsip pemindahan paksa yang disampaikan oleh negara-negara Arab secara kolektif dalam Konferensi Timur-Tengah (KTT) Kairo pada 4 Maret lalu.

KTT tersebut juga menyetujui rencana Mesir untuk membangun kembali Gaza dengan nilai 53 miliar dolar AS.

Hal itu sebagai bagian dari gelombang kecaman internasional terhadap proposal Trump yang dinilai bertentangan dengan hukum internasional.

Mesir dan Yordania — yang menjadi target utama rencana pemukiman kembali tersebut — telah berulang kali menolak usulan Amerika tersebut dengan keras.

Penolakan juga datang dari berbagai kekuatan Barat lainnya, baik di dalam maupun di luar Uni Eropa, serta dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Meskipun belum ada pernyataan resmi yang menyatakan pembatalan rencana tersebut. Sejumlah laporan media mengutip orang-orang dekat Trump yang mengatakan bahwa ia telah meninggalkan proyek “Riviera Timur Tengah” di Gaza.

Sikap barunya pada bulan Maret, yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang akan dipaksa keluar dari Gaza.

Hal itu diyakini merupakan hasil masukan dari dalam pemerintahannya sendiri yang menyatakan bahwa rencana pemukiman kembali itu tidak realistis.

Di sisi lain, pihak Israel segera menyambut usulan tersebut sebagai peluang emas untuk mengakhiri “masalah Gaza”. Apalagi dengan dukungan penuh dari pemerintahan Partai Republik saat ini.

Menurut para analis, rencana Trump tersebut ditakdirkan untuk gagal, atau setidaknya menghadapi tantangan besar.

Meskipun Israel tampaknya berusaha memanfaatkan eskalasi saat ini sebagai cara untuk menerapkannya melalui pembantaian, sejauh yang mereka mampu.

Usulan yang mengagetkan

Pada awal Februari lalu, Presiden Trump mengejutkan dunia — bahkan banyak orang dalam pemerintahannya sendiri — saat ia mengusulkan, dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, pemindahan penduduk Gaza ke Mesir dan Yordania.

Ini dilakukan atas nama “kemanusiaan”, yakni untuk menyelamatkan mereka dari “neraka” dan memberi mereka kehidupan nyaman di tempat lain.

Usulan Trump untuk mengusir penduduk Gaza dengan dalih rekonstruksi dan menjadikannya resor pantai internasional di bawah kendali AS.

Ia menghidupkan kembali ide yang sebelumnya pernah dikemukakan oleh menantunya, Jared Kushner, setahun lalu.

Kushner pernah menyebut konflik Palestina-Israel sebagai sengketa properti. Sementara itu, Trump — yang latar belakangnya adalah pengusaha properti — telah beberapa kali menggambarkan Gaza sebagai “kesempatan properti yang luar biasa” jika wilayah itu dikuasai Amerika.

Menurut The New York Times, ketika Trump mempresentasikan rencananya tentang Gaza, ia mengejutkan sejumlah pejabat tinggi di Gedung Putih dan pemerintahan.

Trump juga menekan Mesir dan Yordania agar menerima usulan tersebut, dan tampak “yakin” bahwa mereka akan bersedia menampung ratusan ribu pengungsi dari Gaza.

Namun, Kairo dan Amman tetap menolak, meskipun menghadapi ancaman pengurangan bantuan vital dari Amerika Serikat yang bernilai miliaran dolar.

Faktor-faktor kegagalan

Para analis menilai bahwa rencana Trump untuk memindahkan penduduk Gaza dan mengambil alih wilayah tersebut telah gagal sejauh ini, atau setidaknya sedang menuju kegagalan.

Ini karena sejak awal, rencana tersebut dianggap tidak realistis dan tidak dapat dilaksanakan, terutama karena adanya “tembok penolakan” dari negara-negara Arab.

ini diungkapkan secara tegas oleh Mesir dan Yordania secara individual, serta oleh seluruh negara Arab dalam KTT Kairo.

Tanpa kerja sama dari negara-negara Arab, rencana ini tidak bisa dijalankan. Negara-negara tersebut melihat pemindahan paksa warga Palestina ke wilayah mereka sebagai ancaman terhadap keamanan nasional mereka.

Selain itu, hal tersebut juga dianggap sebagai upaya menghapuskan secara paksa isu Palestina.

Faktor penting lainnya, menurut para analis, adalah penolakan warga Gaza sendiri terhadap rencana pemindahan tersebut, serta keteguhan mereka untuk tetap bertahan di tanah mereka.

Ini terlihat dari tetap berdirinya kamp-kamp pengungsian meskipun mereka menghadapi pembantaian dan kehancuran besar di sebagian wilayah Gaza akibat perang.

Dalam konteks ini, penulis dan analis politik Iyad Al-Qarra menyatakan bahwa apa yang dibicarakan Presiden AS mengenai Gaza tidak lebih dari sekadar retorika.

Hingga kini belum ada langkah nyata menuju pelaksanaan rencana tersebut. Ia menambahkan bahwa pembicaraan mengenai beberapa negara yang disebut akan menerima pengungsi Palestina hanyalah wacana yang tersebar secara sporadis.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera Net, Al-Qarra menyatakan bahwa tidak ada visi jelas dari Amerika dalam menangani isu ini.

Ia menyamakan pembicaraan ini dengan proyek dermaga terapung yang sebelumnya diusulkan oleh pemerintahan Joe Biden di Gaza untuk menyalurkan bantuan.

Ia menganggap bahwa langkah-langkah saat ini adalah kelanjutan dari proyek gagal tersebut.

Al-Qarra menegaskan bahwa ada penolakan tegas dari pihak Palestina dan Arab terhadap proyek ini.

Ia menyebut posisi Palestina sebagai sangat tegas, dan posisi Mesir sangat kuat, dengan langkah-langkah nyata yang telah diambil untuk mencegah pemindahan penduduk. Seperti menutup perbatasan Rafah jika ada campur tangan Israel, serta menolak solusi yang bertentangan dengan kedaulatan Palestina.

Ia juga menjelaskan bahwa rencana Arab untuk rekonstruksi Gaza telah melemahkan semangat Washington untuk melanjutkan pelaksanaan rencana pemindahan paksa.

Lebih lanjut, Al-Qarra menilai bahwa visi Amerika tentang apa yang disebut “Riviera Timur Tengah” tidak masuk akal dan tidak bisa diterapkan.

Ia menilai bahwa Presiden AS dan pemerintahannya tidak memahami realitas di Gaza. Mungkin karena pengaruh informasi yang menyesatkan dari Israel atau karena pola pikir Trump yang masih sangat berorientasi pada bisnis.

Keluar secara terbatas

Al-Qarra menambahkan bahwa jika pun ada warga Gaza yang meninggalkan wilayah tersebut, itu terjadi secara terbatas dan karena alasan pribadi.

Seperti untuk bepergian, studi, pekerjaan, atau perawatan medis — bukan karena keinginan untuk meninggalkan Gaza secara permanen.

Ia juga mencatat bahwa Israel sedang memanfaatkan situasi ini untuk mendorong pemindahan secara paksa, seperti yang sedang terjadi di Rafah saat ini.

Sementara itu, Mustafa Ibrahim — analis politik dan penulis yang fokus pada urusan Israel — mengatakan bahwa proyek Amerika di Gaza belum sepenuhnya gagal, tetapi tengah menghadapi tantangan besar.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera Net, Ibrahim menyatakan bahwa tidak bisa dikatakan proyek tersebut telah gagal total karena Israel masih terus mencoba mewujudkan tujuannya.

Namun, di sisi lain, warga Palestina juga menunjukkan tekad yang kuat untuk bertahan dan menghadapi rencana yang didorong oleh Presiden Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tersebut.

Ia menambahkan bahwa untuk menggagalkan rencana ini, diperlukan sikap Palestina yang bersatu dan dukungan Arab yang lebih kuat. Khususnya dengan memberikan tekanan pada Amerika Serikat.

Analis Palestina tersebut juga mengingatkan bahwa meskipun sejauh ini sikap terhadap rencana pemindahan terkesan positif.

Ada kekhawatiran bahwa beberapa negara Arab mungkin akan bersikap lunak dan tidak mengambil posisi yang lebih tegas.

Dalam wawancara sebelumnya dengan Al Jazeera, Hasan Khreisha — Wakil Ketua Dewan Legislatif Palestina — mengatakan bahwa rakyat Palestina telah mengirim pesan tegas setelah gencatan senjata (yang kemudian dilanggar oleh Israel), bahwa mereka akan tetap tinggal di tanah mereka.

Ia menegaskan bahwa rakyat Palestina akan menggagalkan rencana ini dengan dukungan dari negara-negara Arab.

Sementara itu, Mesir kembali menegaskan pada hari Rabu bahwa mereka menolak segala bentuk rencana pemindahan warga Palestina dari tanah mereka, baik secara permanen maupun sementara.

Hal ini disampaikan di tengah laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa sekitar 400.000 warga Palestina telah mengungsi di dalam wilayah Gaza sejak dimulainya kembali serangan Israel pada 18 Maret.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular