Wednesday, November 26, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS -Fase dua mandek, apa sebenarnya agenda tersembunyi AS dan Israel?

ANALISIS -Fase dua mandek, apa sebenarnya agenda tersembunyi AS dan Israel?

Dua aktor kunci—Amerika Serikat (AS) dan Israel—tampaknya mulai bergerak menuju tujuan utama mereka.

Yaitu melucuti senjata perlawanan Palestina, tanpa beranjak ke fase kedua dari perjanjian gencatan senjata yang mensyaratkan penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza.

Para pakar menilai, kegagalan Washington membentuk pasukan internasional penjaga stabilitas telah membuat proses ini mandek dan diarahkan ke jalur lain.

Sudah enam pekan sejak perjanjian itu diberlakukan, namun operasi militer Israel masih berlangsung hampir setiap hari di berbagai lokasi Gaza.

Semua perlintasan darat tetap ditutup, dan bantuan kemanusiaan yang masuk sangat dibatasi.

Di saat bersamaan, pembicaraan mengenai dimulainya fase kedua praktis hilang dari meja. Israel bersikukuh menjadikan pelucutan senjata Hamas sebagai prasyarat utama, sesuatu yang belum pernah disetujui perlawanan secara resmi.

Hal itu ditegaskan oleh Ibrahim Fraihat, Guru Besar Studi Konflik Internasional di Doha Institute for Graduate Studies.

Fraihat menjelaskan bahwa Hamas hanya menyetujui fase pertama perjanjian—yakni penghentian perang dan pertukaran tahanan—tanpa menerima pasal mengenai pelucutan senjata.

Hal itu, bagi mereka membutuhkan negosiasi menyangkut mekanisme, pihak penerima, dan konsekuensi militernya.

Pelucutan senjata dimulai?

Yang tampak sekarang, menurut Fraihat, adalah bahwa Washington dan Tel Aviv tidak berniat bernegosiasi mengenai hal itu.

Keduanya justru sudah bergerak melaksanakan proses pelucutan senjata, tanpa persetujuan pihak Palestina.

Bagi Israel, pelucutan senjata Hamas merupakan salah satu target inti perang.

Pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa, menilai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ingin menunjukkan kepada publik Israel bahwa ia berhasil mencapai tujuan itu.

Terutama setelah Presiden AS Donald Trump memasukkan isu tersebut dalam rencana politiknya.

Tekanan makin besar karena Netanyahu memasuki musim pemilu, di saat ia juga menghadapi tuntutan di Mahkamah Pidana Internasional.

Karena itu, menurut Mustafa, Netanyahu terus menekan melalui jalur militer maupun kemanusiaan, berupaya memaksa semua pihak menerima slogan “pelucutan senjata” sebagai pintu masuk fase kedua.

Tanpa itu, ia tidak akan menyetujui dimulainya fase lanjutan.

Jika fase kedua tidak dibuka dengan pelucutan senjata, Netanyahu diyakini akan meningkatkan operasi militer.

Ia tidak ingin situasi di Gaza tetap seperti sekarang, di mana Hamas masih menguasai separuh wilayah. Itu akan dianggap kegagalan strategis.

Yang lebih penting, kata Mustafa, Netanyahu kini merancang skema di mana perjanjian gencatan senjata tetap berjalan, tetapi pasukan Israel tidak ditarik keluar dari Gaza.

Ia mungkin menerima proses rekonstruksi di wilayah yang berada di bawah kontrolnya, sembari melanjutkan operasi harian di wilayah yang masih dikuasai perlawanan.

Prediksi: Gaza menuju pembagian wilayah

Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Kenneth Katzman, peneliti keamanan dan strategi internasional.

Ia menyebut bahwa “hari-hari Hamas di Gaza tinggal menghitung waktu,” apa pun bentuk akhir dari proses itu.

Menurut Katzman, sekalipun Israel tidak memaksakan pelucutan senjata secara langsung, rekonstruksi besar-besaran dan penyediaan layanan penuh di wilayah Gaza yang mereka kuasai akan menjadi tekanan psikologis bagi warga yang berada di wilayah kontrol Hamas.

Pada akhirnya, tekanan dari masyarakat dapat memaksa Hamas meninggalkan Gaza.

Dengan premis ini, peluang memasuki fase kedua menjadi semakin kecil. Prosesnya tidak berlangsung damai, dan arah perkembangannya cenderung menuju pembagian Gaza.

Menurut Fraihat, salah satu kendala utama saat ini adalah perluasan mandat pasukan internasional penjaga perdamaian yang didorong AS di Dewan Keamanan PBB.

Mandat yang diusulkan mencakup penggunaan senjata, termasuk kemungkinan menghadapi Hamas.

Banyak negara menolak bergabung karena tidak ingin terseret ke dalam konflik langsung.

Dalam situasi ini, kata Fraihat, baik Hamas maupun Otoritas Palestina tidak memiliki posisi kuat untuk menerima atau menolak pembagian Gaza.

Sebab keduanya belum menjawab masalah mendasar tentang kelanjutan perpecahan internal Palestina.

Karenanya, opsi yang tersisa bagi pihak Palestina adalah bernegosiasi dengan AS untuk menjamin hak-hak warga Palestina dan menghadapi proyek kolonial yang lebih besar.

Fraihat menilai “Rencana Trump” menyimpan banyak risiko karena memanfaatkan bantuan kemanusiaan untuk mencapai tujuan keamanan dan politik.

Delegasi tingkat tinggi Hamas telah melakukan kunjungan ke Kairo pada Ahad lalu.

Mereka bertemu Kepala Intelijen Mesir, Hassan Rashad, untuk membahas perkembangan situasi dan prospek fase kedua.

Dalam pernyataannya, Hamas menegaskan kepada pihak Mesir—yang berperan sebagai mediator—bahwa tidak mungkin menerima kelanjutan pelanggaran Israel, karena hal itu dapat meruntuhkan keseluruhan perjanjian gencatan senjata.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler