Wednesday, July 23, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Inggris ancam Israel: Perubahan kebijakan atau sekadar retorika politik?

ANALISIS – Inggris ancam Israel: Perubahan kebijakan atau sekadar retorika politik?

Untuk pertama kalinya sejak perang Israel atas Gaza meletus lebih dari 21 bulan lalu, pemerintah Inggris menunjukkan sikap yang lebih keras terhadap Tel Aviv.

Menteri Luar Negeri David Lammy menyatakan bahwa Inggris siap menjatuhkan sanksi tambahan terhadap Israel jika tidak segera tercapai gencatan senjata yang menghentikan penderitaan di Jalur Gaza.

Namun, pernyataan itu masih menimbulkan pertanyaan: apakah ini merupakan titik balik dalam kebijakan Inggris, atau sekadar manuver media untuk meredam tekanan publik?

Dalam pernyataan publiknya, Lammy mengaku “terkejut” dan “muak” atas apa yang disebutnya sebagai kekejaman Israel terhadap warga sipil di Gaza.

Ia menegaskan bahwa penderitaan yang terjadi tidak bisa dibiarkan lebih lama. Namun, ia tidak merinci sanksi seperti apa yang akan dijatuhkan pemerintah Inggris bila Israel tetap melanjutkan perangnya.

Pernyataan ini datang di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional atas kondisi kemanusiaan di Gaza, yang semakin memburuk sejak Israel memperketat blokade, menghentikan pasokan bantuan, dan membiarkan kelaparan menyebar di antara lebih dari dua juta warga Palestina.

Serangan udara dan darat masih terus berlangsung, sementara jumlah korban jiwa terus bertambah setiap hari.

Meski pernyataan Lammy terdengar tegas, banyak pihak mempertanyakan apakah pemerintah Inggris benar-benar bersedia mengambil langkah konkret.

Apalagi, sejarah menunjukkan bahwa keputusan besar seperti sanksi terhadap Israel sering kali terbentur oleh hubungan strategis dengan Amerika Serikat (AS), yang tetap menjadi sekutu utama Israel di panggung global.

Dalam wawancara dengan program Behind the News, Direktur Council for Arab-British Understanding, Chris Doyle, menyebut bahwa Inggris memiliki banyak “kartu tekanan” yang belum dimainkan.

Ia menyayangkan bahwa hingga kini, retorika keras dari sebagian politisi Inggris belum diikuti langkah-langkah yang mampu menekan Israel secara nyata.

Menurutnya, London bisa, misalnya, menangguhkan perjanjian perdagangan bebas dengan Israel atau memberlakukan larangan ekspor senjata.

Langkah simbolik memang telah diambil, seperti sanksi terhadap dua menteri garis keras Israel—Itamar Ben Gvir (Keamanan Nasional) dan Bezalel Smotrich (Keuangan)—serta penangguhan sementara pembicaraan perdagangan bebas.

Namun, bagi banyak pengamat, langkah tersebut masih jauh dari cukup untuk mengubah dinamika di lapangan.

Sanksi senjata jadi ujian

Menurut Dr. Hasni Abidi, pakar hubungan internasional di Universitas Jenewa, setiap kebijakan luar negeri yang ingin menekan Israel secara serius harus menyentuh aspek paling sensitif: senjata.

Ia mencatat bahwa meski nada kebijakan Eropa terhadap Israel mulai berubah, tapi langkah konkret—terutama yang bersifat ekonomi dan militer—masih sangat minim.

“Selama tidak ada sanksi nyata, Israel tidak akan merasa tertekan untuk menghentikan serangannya,” kata Abidi.

Sejauh ini, 26 negara termasuk Inggris telah mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan diakhirinya perang, dan mengecam lambatnya distribusi bantuan serta pembunuhan warga sipil yang mencari air dan makanan.

Tapi seperti yang ditekankan oleh jurnalis dan pengamat Israel, Ihab Jabareen, Israel tahu betul bahwa selama tidak ada tekanan dari Washington dan tidak ada embargo senjata, maka kritik Eropa hanyalah angin lalu.

Di sisi lain, Israel merasa semakin leluasa karena negara-negara di kawasan, terutama Mesir—yang menjadi tetangga langsung Gaza—tidak memainkan peran aktif dalam menekan atau menahan agresi Israel.

Jabareen menyebut bahwa dalam kalkulasi Israel, “Mesir saat ini tidak memiliki bobot ataupun suara” yang dapat memengaruhi jalannya konflik.

Meski demikian, desakan dari masyarakat sipil di Inggris dan Eropa tidak surut. Gelombang demonstrasi menolak perang terus berlangsung di London dan berbagai kota besar lainnya.

Sejumlah institusi mulai menyerukan peninjauan ulang terhadap kerja sama ekonomi dengan Israel, khususnya institusi yang menjunjung nilai-nilai etika dan keadilan sosial.

Kini, tekanan itu diarahkan kepada pemerintah untuk mengakhiri kebijakan ambigu dan menyelaraskan tindakan nyata dengan retorika moral yang telah lama disuarakan.

“Tidak cukup lagi sekadar merasa muak—yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk berkata: cukup sudah,” seperti dikatakan Chris Doyle.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular