Thursday, May 22, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Mengapa dunia Arab bungkam saat sikap Barat terhadap Israel mulai...

ANALISIS – Mengapa dunia Arab bungkam saat sikap Barat terhadap Israel mulai bergeser?

Sikap negara-negara Barat terhadap agresi Israel di Gaza menunjukkan pergeseran yang semakin nyata.

Beberapa di antaranya mulai mengkritik keras serangan yang tak kunjung berhenti. Namun, pada saat yang sama, dunia Arab justru tampak diam.

Sebuah ironi yang menimbulkan pertanyaan: mengapa Barat yang selama ini dikenal dekat dengan Israel mulai bersuara, sementara negara-negara Arab justru terkesan pasif?

Seiring dengan meningkatnya tekanan dari sejumlah ibu kota Eropa terhadap Tel Aviv, termasuk wacana penghentian kerja sama militer dan seruan pemberian sanksi terhadap pemukim ilegal, banyak negara Arab justru hanya mengeluarkan pernyataan umum yang tak lebih dari ekspresi “keprihatinan”.

Padahal, di saat yang sama, sekitar 2,3 juta warga Palestina di Jalur Gaza masih terus menjadi korban blokade dan serangan brutal yang berlangsung selama berbulan-bulan.

Pergeseran di barat

Ketua Dewan Syura Asosiasi Islam di Inggris, Raghd al-Tikriti, menyebut pergeseran sikap negara seperti Inggris, Kanada, dan Prancis sebagai perkembangan yang positif, meski menurutnya itu seharusnya terjadi sejak lama.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, Tikriti menjelaskan bahwa perubahan ini bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan buah dari tekanan berkelanjutan—baik dari masyarakat sipil maupun sejumlah anggota parlemen—terhadap pemerintah mereka.

Ia menambahkan bahwa sebagian negara Barat, termasuk Inggris, memiliki keterlibatan langsung dalam mendukung dan mempersenjatai Israel.

Oleh karena itu, ketika opini publik berubah dan menekan, hal itu ikut memengaruhi kebijakan negara-negara Arab yang selama ini cenderung mengikuti arus strategi Barat.

Tikriti menegaskan pentingnya terus menjaga tekanan masyarakat, dan bahwa perubahan nyata hanya akan datang jika suara rakyat dikawal dengan aksi konkret.

“Bagi kami, bukan sekadar kata-kata yang penting, tetapi tindakan nyata,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa masyarakat tetap memiliki kekuatan untuk menentang batasan-batasan yang ada, meskipun itu menuntut pengorbanan.

Diamnya dunia Arab

Peneliti Palestina, Mohammad Ghazi al-Jamal, menyebut bahwa diamnya dunia Arab bukan sekadar absen dalam percakapan politik, melainkan cermin dari perubahan mendalam dalam cara pandang politik beberapa rezim.

Dalam pandangannya, kebisuan itu didorong oleh berbagai faktor:

  1. Resistensi Palestina kini dianggap sebagai ancaman yang mengganggu kemitraan politik, ekonomi, dan keamanan antara negara-negara Arab dengan Israel—kerja sama yang dilandasi oleh berbagai kesepakatan normalisasi.
  2. Matinya kehidupan politik dalam negeri, di mana partai, serikat buruh, dan parlemen hanya tinggal kerangka kosong tanpa substansi sejati.
  3. Solidaritas terhadap Palestina dianggap kriminal, diperkuat oleh kebijakan hukum dan retorika media di sejumlah negara Arab.
  4. Melemahnya keyakinan rakyat akan efektivitas protes, serta terbatasnya kapasitas kelompok sipil untuk menciptakan bentuk solidaritas baru di luar koridor resmi.
  5. Ketergantungan pada bantuan Barat, yang seringkali dikaitkan dengan hubungan baik dengan Israel, menjadikan setiap bentuk dukungan terhadap Palestina berisiko dianggap mendukung terorisme.
  6. Akar masalahnya adalah krisis legitimasi kekuasaan, tegas al-Jamal. Rezim yang menggantungkan kekuasaannya pada dukungan asing cenderung mengikuti kalkulasi geopolitik global, bukan suara rakyatnya sendiri.

Kalkulasi rumit

Sementara itu, analis politik Palestina, Ibrahim al-Madhoun, menilai bahwa jika ada upaya dari negara Arab, itu pun sangat terbatas dan dikendalikan oleh perhitungan yang kompleks.

Lemahnya posisi Liga Arab dan fragmentasi internal di antara negara-negara anggota disebut turut memperparah keadaan.

“Biaya politik dan ekonomi untuk mendukung Gaza saat ini sangat tinggi,” ujarnya.

Ia menyebut beberapa penguasa Arab takut akan dampak domestik yang mungkin muncul dari dukungan terbuka terhadap Palestina, terlebih dalam situasi di mana fondasi kekuasaan mereka sendiri tengah rapuh.

Meski demikian, al-Madhoun mengakui bahwa langkah-langkah Eropa, meskipun terlambat dan lamban, mencerminkan perubahan iklim politik di Barat—baik karena tekanan publik, keresahan moral, maupun ketegangan dengan Washington yang memburuk akibat perang di Ukraina.

Namun ia mengingatkan agar tidak terlalu cepat berharap. Banyak negara Barat dulunya adalah mitra dekat Israel, dan motif mereka saat ini belum tentu sepenuhnya didorong oleh nurani kemanusiaan.

Kelaparan dan pengungsian

Analis politik Iyad al-Qarra menilai bahwa respons dunia Arab sejauh ini belum sebanding dengan tingkat kejahatan yang dilakukan Israel, terlebih sejak kembalinya operasi militer pada bulan Maret.

Ia menyebut bahwa berbagai pembantaian dan pengepungan selama dua bulan terakhir merupakan fase paling kejam dari agresi yang sedang berlangsung.

Menurut al-Qarra, sikap resmi Arab tidak lebih dari kecaman kosong tanpa dukungan nyata, baik secara diplomatik maupun kemanusiaan.

Sementara itu, Israel justru terus melanjutkan operasi sistematis berupa pemaksaan kelaparan dan pengusiran penduduk.

Ia mengungkap bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan telah membentuk “divisi migrasi” di bawah kantor koordinator militer untuk memfasilitasi pengusiran paksa warga Gaza ke negara-negara seperti Yordania, Mesir, dan Arab Saudi—dengan dalih “relokasi sukarela”.

Al-Qarra juga menyoroti hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pertemuan puncak Arab yang dinilai tak lagi membawa dampak berarti.

“Keputusan Arab kini dikendalikan oleh Amerika Serikat,” tegasnya.

Bahkan, ia menyayangkan bahwa sebagian negara Arab justru menyalahkan Hamas atas kekacauan yang terjadi, alih-alih mengutuk Israel sebagai pihak penyerang.

Dalam pernyataannya, Konferensi Populer Palestina di Luar Negeri menilai bahwa langkah-langkah Eropa sejauh ini merupakan permulaan yang penting, namun belum memadai jika dibandingkan dengan bencana kemanusiaan yang terjadi.

Mereka menyerukan penghentian total ekspor senjata dan teknologi militer ke Israel, serta menolak segala upaya kompromi terhadap hak-hak rakyat Palestina.

Konferensi itu juga menegaskan bahwa kebebasan, hak kembali, dan penentuan nasib sendiri adalah prinsip dasar yang tidak bisa dinegosiasikan.

Mereka mengajak komunitas diaspora Palestina, warga Arab, dan seluruh pecinta keadilan di dunia untuk terus melanjutkan tekanan—baik di tingkat publik, media, maupun hukum—hingga keadilan dan kebebasan benar-benar terwujud bagi rakyat Palestina.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular