Tuesday, November 5, 2024
HomeAnalisis dan OpiniANALISA: Mengapa Netanyahu tak henti berperang usai Yahya Sinwar gugur

ANALISA: Mengapa Netanyahu tak henti berperang usai Yahya Sinwar gugur

Yahya Sinwar gugur dalam baku tembak dengan penjajah Israel di Rafah pada Rabu. Peristiwa ini memicu harapan di kalangan pengamat Barat bahwa kematian Sinwar bisa menjadi awal dari berakhirnya perang di Gaza, atau bahkan menyelesaikan penjajahan Israel di Palestina.

Namun, sejumlah analis yang diwawancarai oleh Al Jazeera memperkirakan bahwa Perdana Menteri penjajah Israel, Benjamin Netanyahu, mungkin akan mencari alasan lain untuk memperpanjang konflik demi kepentingan pribadinya, sekaligus mendorong impian ekspansionis Israel dengan tujuan mengusir rakyat Palestina dan mempertahankan pendudukan di wilayah mereka tanpa batas waktu yang jelas.

Di sisi lain, Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional, Karim Khan, telah meminta surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan yang mereka awasi di Gaza.

“[Netanyahu] akan mencari dalih lain, atau orang lain, untuk terus dikejar. Hal itu hanya akan menambah rasa tidak aman, yang sebenarnya diinginkan olehnya,” kata Diana Buttu, seorang analis perang Israel-Palestina.

“Buttu menambahkan bahwa Netanyahu berusaha membuat warga Israel percaya bahwa mereka berada dalam kondisi terkepung atau dalam perang yang tiada akhir. Hal ini adalah cara Netanyahu untuk mempertahankan kontrol dan kekuasaannya,” jelasnya kepada Al Jazeera.

Ketakutan Netanyahu

Netanyahu sejak lama takut kehilangan kekuasaan, terutama karena kemungkinan ia akan menghabiskan bertahun-tahun di balik jeruji besi.

Pada 2019, dia didakwa dalam tiga kasus terpisah yang mencakup penipuan, suap, dan pelanggaran kepercayaan. Jika terbukti bersalah, Netanyahu terancam hukuman hingga 10 tahun penjara.

Akibat tuduhan ini, Netanyahu telah menawarkan berbagai imbalan dan hadiah kepada taipan media demi meraih citra positif. Setahun kemudian, Netanyahu terpilih kembali sebagai perdana menteri untuk kelima kalinya.

Koalisinya yang berhaluan kanan jauh segera mengusulkan undang-undang yang melemahkan sistem peradilan dengan memungkinkan pemerintah mengangkat hakim, membatasi pengawasan pengadilan, dan bahkan mengabaikan putusan pengadilan.

Kecenderungan Netanyahu untuk memperbesar konflik terlihat jelas pada hari Sabtu, setelah sebuah drone dari Lebanon dilaporkan menyerang rumahnya di Caesarea. Namun, Netanyahu menyatakan bahwa serangan tersebut dilakukan oleh “agen-agen Iran,” sebuah pengalihan perhatian yang menurut beberapa analis adalah upayanya untuk memperluas konflik lebih jauh hingga mencakup Iran dan Hizbullah di Lebanon.

Penjajahan tak berkesudahan

Pada bulan Oktober tahun lalu, Israel melancarkan perang terhadap Gaza yang telah menewaskan lebih dari 42.000 orang dan membuat hampir seluruh populasi Gaza, yang berjumlah 2,3 juta jiwa, kehilangan tempat tinggal. Kematian Yahya Sinwar, yang disebut sebagai “musuh nomor satu” Israel, tampaknya tidak akan menghentikan konflik ini.

“Saya tidak percaya bahwa kematian Sinwar akan mengubah perhitungan Israel terkait keinginan Netanyahu untuk melanjutkan penghancuran dan depopulasi Jalur Gaza,” kata Omar Rahman, peneliti tamu Middle East Council on Global Affairs yang berbasis di Doha.

Perang Israel terhadap warga sipil Gaza dimulai sebagai respons atas serangan yang dipimpin Hamas di wilayah selatan Israel pada 7 Oktober 2023, yang menyebabkan 1.139 orang tewas di Israel dan sekitar 250 orang ditawan.

Pada tahun 2005, Israel resmi mengakhiri pendudukan fisik di Jalur Gaza dengan menarik mundur pasukan militernya dan mengosongkan permukiman ilegal yang sebelumnya dihuni oleh pemukim Israel.

Namun, langkah tersebut bukan berarti Israel bermaksud memberikan wilayah atau mengarah pada pembentukan negara Palestina yang merdeka.

Perdana Menteri Israel saat itu, Ariel Sharon, lebih memilih menarik pemukim Israel dari Gaza karena merasa mereka dikelilingi terlalu banyak warga Palestina, yang dianggap membebani keamanan Israel. Sharon kemudian memfokuskan perhatian pada perluasan permukiman Israel di Tepi Barat.

Menurut Yezid Sayigh, seorang pakar isu Israel-Palestina dari Carnegie Middle East Center di Beirut, kebijakan ini bukan hal baru bagi Israel. Israel, katanya, secara historis telah menghambat upaya-upaya politik yang bertujuan mewujudkan negara Palestina yang sepenuhnya berdaulat.

“Israel sudah sering membunuh para pemimpin Palestina, dan hal itu akan terus berlanjut. Tak ada yang pernah benar-benar berubah, karena pada dasarnya, pemerintah Israel yang silih berganti — baik dari Partai Buruh maupun Likud — tidak pernah bersedia menyerahkan wilayah atau memberikan kedaulatan yang sebenarnya kepada Palestina,” ujar Sayigh dalam wawancaranya dengan Al Jazeera.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular