Perubahan drastis dalam pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump tentang kondisi di Gaza memicu pertanyaan besar.
Dalam kurun waktu kurang dari dua hari, Trump beralih dari menyangkal adanya bencana kelaparan di wilayah tersebut menjadi mengakui bahwa kondisi kemanusiaan di Gaza sangat memprihatinkan.
Dalam pernyataan terbarunya, Trump mengungkapkan keterkejutannya atas penderitaan yang dialami anak-anak dan para ibu di Gaza.
Ia menggambarkan kondisi mereka yang kelaparan sebagai sesuatu yang “mengerikan”.
Dalam keterangannya kepada awak media di pesawat kepresidenan saat pulang dari Skotlandia.
“Semua orang mengakui situasi di Gaza sangat buruk, kecuali mereka yang berhati beku atau kehilangan akal,” kata Trump.
Pernyataan ini bertolak belakang dengan sikap Trump sebelumnya yang cenderung mengecilkan krisis kemanusiaan yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan di wilayah Palestina tersebut.
Pergeseran ini pun memicu perdebatan luas di kalangan pengamat dan politisi, terutama mengenai motif sejati di balik perubahan retorika itu.
Adolfo Franco, analis strategi Partai Republik, mencoba memberikan penjelasan. Menurutnya, Trump sebenarnya memiliki sisi kemanusiaan yang kerap tersembunyi di balik citranya yang keras.
Franco menyebut bahwa Trump telah menerima serangkaian laporan dan data yang mengungkap secara gamblang kondisi tragis di Gaza, yang akhirnya menggugah sikapnya.
Namun, selain alasan emosional, Franco juga menyoroti dimensi strategis. Menurutnya, sentimen dunia kini mulai beralih dari isu sandera ke persoalan distribusi bantuan dan kelaparan.
Ia memperingatkan bahwa Hamas tengah memanfaatkan krisis kemanusiaan ini sebagai senjata diplomatik, terutama di mata publik Eropa dan AS.
Karena itu, menurut Franco, solusi yang realistis adalah memastikan bantuan masuk ke Gaza dengan pengawasan internasional yang ketat.
Melarikan diri dari skandal
Penjelasan itu ditolak mentah-mentah oleh Mustafa Barghouti, Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina.
Baginya, perubahan sikap Trump tidak didorong oleh rasa kemanusiaan, melainkan oleh tekanan internasional dan ketakutan AS terseret dalam tuduhan kejahatan perang dan genosida.
Barghouti menegaskan bahwa Amerika kini tidak bisa lagi menghindar dari tanggung jawab atas keterlibatannya dalam aksi kolektif terhadap warga Gaza—mulai dari pemboman, pemutusan akses air dan listrik, hingga pelarangan bantuan medis.
Ia menuding bahwa sebagian besar senjata yang digunakan Israel untuk menyerang Gaza berasal dari AS.
Dalam penjelasannya, Barghouti merinci bahwa pembunuhan warga Gaza tidak hanya terjadi lewat serangan udara—yang menewaskan antara 130 hingga 150 orang setiap hari—tetapi juga melalui kelaparan, penyakit, dan penghentian vaksinasi anak-anak selama lebih dari 150 hari.
Keterangan Barghouti sejalan dengan laporan resmi dari Program Pangan Dunia (WFP), yang menyebut bahwa situasi di Gaza berada di ambang bencana.
Sekitar satu dari tiga warga Gaza kini hidup tanpa makanan selama berhari-hari, dan 75 persen lainnya menghadapi tingkat kelaparan akut.
Tak kurang dari seperempat populasi kini hidup dalam kondisi yang mendekati kelaparan massal.
Keterlibatan Israel
Menanggapi krisis ini, akademisi dan pakar isu Israel, Dr. Mohannad Mustafa, menilai bahwa Israel mengalami kegagalan strategis dalam mengelola krisis.
Ia menyatakan bahwa Israel secara sistematis mencoba menggunakan kelaparan sebagai alat politik untuk menekan Hamas dan memaksa rakyat Gaza tunduk.
Menurutnya, ini adalah salah satu bentuk kampanye kelaparan paling terstruktur dalam sejarah modern.
Mustafa juga mengkritik anggapan di kalangan elite Israel bahwa persoalan Gaza hanya soal citra, bukan soal substansi, yang menurutnya menunjukkan kemerosotan moral yang serius.
Dalam konteks perundingan damai, Barghouti menyampaikan bahwa proses negosiasi sebenarnya telah mandek jauh sebelum ini.
Ia menolak tudingan bahwa Hamas yang menghalangi jalannya perundingan, dan justru menyalahkan pemerintah Amerika yang menarik delegasinya secara sepihak dan membuyarkan proses yang sedang berlangsung.
Ia juga membantah klaim bahwa Hamas mengeksploitasi bantuan kemanusiaan, dengan merujuk pada pernyataan Direktur Eksekutif WFP, Cindy McCain, yang menolak tuduhan tersebut.
Barghouti menyoroti bahwa metode pengiriman bantuan lewat udara justru memperparah keadaan, dengan insiden terbaru yang menewaskan warga sipil ketika bantuan jatuh menimpa mereka.
Sebagai solusi konkret, Barghouti menyampaikan dua usulan langsung kepada Presiden Trump.
Pertama, mendesak pemerintah AS untuk menghentikan seluruh pasokan senjata ke Israel serta melarang penggunaan sistem pertahanan udara buatan AS untuk mendukung operasi militer Israel.
Kedua, Barghouti meminta AS mendorong Dewan Keamanan PBB untuk segera menggelar sidang dan mendukung resolusi penghentian perang di Gaza—tanpa menggunakan hak veto.
Ia meyakini bahwa pelaksanaan dua langkah ini akan cukup untuk memaksa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghentikan agresi secara total.
Perubahan sikap Donald Trump, apakah murni karena empati atau karena tekanan politik, menunjukkan bahwa dunia internasional kini semakin tidak bisa menutup mata terhadap penderitaan di Gaza.
Seiring menguatnya tuntutan atas keadilan dan penghentian kejahatan kemanusiaan, sorotan kini bukan hanya tertuju kepada Israel, tetapi juga pada para pendukungnya yang selama ini bungkam.