Friday, March 14, 2025
HomeBeritaApa arti tidak adanya internet bagi warga Gaza?

Apa arti tidak adanya internet bagi warga Gaza?

Setelah kembali ke Gaza Utara pasca pengungsian hampir setahun akibat perang, Ahmed Shaqoura memutuskan untuk kembali ke wilayah “tengah Gaza” demi mempertahankan pekerjaannya.

Shaqoura bekerja jarak jauh di bidang editing video untuk sebuah lembaga media Arab dan sangat bergantung pada internet, yang sulit diakses di Gaza Utara.

Ia berhasil mendapatkan akses internet gratis di sebuah pusat yang didirikan oleh kantor media pemerintah di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa.

“Masalah internet benar-benar menyiksa saya sejak awal perang dan menyebabkan saya mengalami banyak kerugian. Sekarang saya harus jauh dari keluarga di utara demi pekerjaan. Saya mencoba bekerja di salah satu pusat di Kota Gaza, tetapi internetnya buruk dan biayanya mahal, mencapai 5 hingga 7 syikal per jam (1 dolar = 3,6 syikal),” kata Shaqoura kepada Al Jazeera.

Bahkan di wilayah tengah, Shaqoura masih kesulitan mengakses pusat tersebut. Ia harus berjalan jauh, bahkan di malam hari yang berbahaya.

Suatu malam, ia hampir terbunuh ketika sebuah drone Israel jenis quadcopter menghalanginya di tengah jalan.

Rangkaian penderitaan

Ahmed Al-Awady memiliki pusat kerja bersama (co-working space) pribadi di Kota Gaza, yang awalnya menampung sekitar 100 orang.

Namun, setelah kembalinya para pengungsi dari Gaza Selatan pasca gencatan senjata, jumlah pengunjung melonjak menjadi sekitar 500 orang per hari.

Sebagian besar ingin melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda atau mengejar ketertinggalan dalam studi.

Terkadang, Al-Awady hanya bisa menampung sekitar 200 orang dan harus menolak sisanya, yang menyebabkan pusat tersebut sangat padat.

“Sebagian besar pelanggan adalah pekerja jarak jauh yang mencoba kembali ke pekerjaan mereka, baik sebagai programmer, desainer, penulis konten, atau jurnalis. Selain itu, ada juga mahasiswa universitas dan pelajar sekolah yang mencoba mengejar ketertinggalan,” katanya kepada Al Jazeera.

Ia menambahkan bahwa semua orang menderita, termasuk dirinya.

“Menyalakan generator listrik selama satu jam saja memakan biaya 400 syikal, yang akhirnya harus ditanggung pelanggan yang membayar 7 syikal per jam. Selain itu, di Gaza tidak ada lagi kursi dan meja karena sudah digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak,” imbuhnya.

Masalah lainnya adalah pelanggan harus berjalan jauh karena transportasi yang lemah dan mahal.

Demikian hanya untuk menemukan internet yang terkadang buruk atau listrik yang padam karena generator rusak.

Al-Awady mendapatkan internet dari perusahaan komunikasi Palestina melalui antena karena kabel-kabel telah hancur akibat perang.

Sementyara Israel melarang masuknya kabel baru. Akibatnya, layanan internet sering kali tidak stabil.

Dampak ekonomi

Akibat kehancuran besar yang dilakukan oleh tentara Israel di sebagian besar wilayah Gaza, terutama di utara, layanan internet masih terputus di banyak daerah.

Perusahaan komunikasi Palestina—penyedia utama layanan internet di Gaza—menghadapi kesulitan besar untuk memulihkan jaringan karena Israel melarang masuknya suku cadang dan kabel yang dibutuhkan.

Israel telah berulang kali memutus jaringan komunikasi dan internet di Gaza untuk mengisolasi wilayah tersebut dari dunia luar.

Menurut kelompok-kelompok Palestina merupakan kejahatan yang bertujuan mengisolasi dan mengusir warga Gaza.

Direktur Kamar Dagang dan Industri Gaza, Maher Al-Tabbaa, mengatakan bahwa pemadaman internet berdampak besar pada perekonomian.

“Internet saat ini adalah penggerak utama ekonomi. Semua transaksi dan prosedur dilakukan secara online, sementara jaringan komunikasi di Gaza hampir hancur seperti aspek kehidupan lainnya,” katanya kepada Al Jazeera.

Ia menambahkan bahwa larangan Israel untuk memperbaiki jaringan komunikasi dan memasukkan peralatan yang dibutuhkan membuat warga Gaza sangat menderita.

Banyak yang harus berjalan jauh dan membayar mahal untuk layanan internet yang buruk, sementara banyak lainnya kehilangan pekerjaan mereka.

Situasi ini juga memunculkan fenomena “Internet Jalanan”. Perusahaan kecil memasang router di tiang listrik dan menawarkan layanan terbatas kepada warga dengan tarif per jam.

Dampak pada pendidikan

Yara Abdu, seorang mahasiswa farmasi dari Khan Younis, mengatakan bahwa ketiadaan internet sangat berdampak pada dunia pendidikan.

“Studi saya bergantung pada pencarian informasi online, terutama karena saya berada di bidang medis yang membutuhkan banyak referensi yang saat ini sulit diakses,” katanya kepada Al Jazeera.

Ia harus berjalan jauh untuk mencapai titik internet tertentu yang menawarkan layanan terbatas dan menghabiskan sepanjang hari di sana demi mencari informasi yang dibutuhkan.

“Sebelum perang, saya menggunakan internet untuk berkomunikasi dengan dosen dan bertukar pengalaman dengan teman-teman. Sekarang, saya kehilangan banyak informasi dan kesempatan belajar akibat putusnya internet,” tambahnya.

Menurut Ahmed Al-Najjar, Direktur Hubungan Masyarakat di Kementerian Pendidikan Palestina, lemahnya akses internet sangat mengganggu proses belajar-mengajar.

“Mahasiswa yang mengandalkan internet untuk mengakses materi pelajaran, menghadiri kelas virtual, dan berkomunikasi dengan dosen mereka menghadapi kesulitan besar. Hal ini menyebabkan kemunduran akademik, keterlambatan penyelesaian tugas, dan persiapan ujian yang tidak optimal. Padahal, ujian dilakukan melalui aplikasi seperti Microsoft Teams dan Wise School,” ujarnya.

Bagi siswa sekolah menengah atas (tawjihi), situasi ini lebih parah. Karena, mereka sangat bergantung pada sumber belajar daring, ujian latihan, dan video tutorial untuk memahami materi secara mendalam.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular