Sunday, November 24, 2024
HomeAnalisis dan OpiniSyaikh Ahmad Yasin: Apakah bangsa Arab juga cacat seperti Aku?

Syaikh Ahmad Yasin: Apakah bangsa Arab juga cacat seperti Aku?

"Adakah segala macam penyakit dan kecacatan yang tertimpa ke atasku turut menimpa bangsa Arab hingga menjadikan mereka begitu lemah. Adakah kalian semua begitu, wahai Arab, kalian diam membisu dan lemah, ataukah kalian semua telah mati binasa."

Pizaro Gozali 

Usianya boleh renta. Badannya lumpuh. Mata kirinya diuji dengan rabun. Telinganya didera radang. Paru-parunya digerogoti alergi. Namun walaupun tubuhnya lemah, jasadnya paling dicari Israel.

“Sesungguhnya aku, seorang tua yang lemah, tidak mampu memegang pena dan menyandang senjata dengan tanganku yang sudah mati (lumpuh). Aku bukan seorang penceramah yang lantang yang mampu menggemparkan semua tempat dengan suaraku (yang perlahan ini).

“Aku, yang sudah beruban putih dan berada di penghujung usia. Aku, yang diserang pelbagai penyakit dan ditimpa bermacam-macam penderitaan.

“Adakah segala macam penyakit dan kecacatan yang tertimpa ke atasku turut menimpa bangsa Arab hingga menjadikan mereka begitu lemah. Adakah kalian semua begitu, wahai Arab, kalian diam membisu dan lemah, ataukah kalian semua telah mati binasa.”

Begitulah cara Asy-Syahid Syekh Ahmad Yasin mendefinisikan arti perjuangan atas pembebasan tanah wakaf kaum muslimin di Palestina.

Jika umat Islam lupa kewajiban membebaskannya, biarlah ia bersama kursi rodanya yang menebusnya.

“Aku tidak mampu kemana-mana untuk memenuhi hajatku kecuali jika mereka menggerakkan (kursi roda)-ku …. Adakah hati kalian tidak bergelora melihat kekejaman terhadap kami sehingga tiada satu kaumpun bangkit menyatakan kemarahan karena Allah?”

Namun, biarkan Syekh Ahmad Yasin rahimahullah menerjemahkan arti perlawanan dengan caranya: merancang kelompok perlawanan Palestina tahun 1982, meletuskan intifadhah Desember 1987, hingga lahirlah Hamas satu pekan kemudian.

Demikian takutnya Zionis kepada spirit perlawanannya, Israel sampai harus menjatuhkan hukuman seumur hidup plus 15 tahun bagi Syekh Ahmad Yasin. Ya, untuk seorang ulama yang mengaku tak mampu memapah senjata dan mengangkat pena karena tangannya lumpuh.

Jika Golda Meir menyumbangkan setengah hartanya untuk Israel, maka Syekh Yasin menyerahkan seluruh hidupnya untuk Islam.

Begitulah cara Syekh Yasin mengajari kita bagaimana menjadi umat Islam, yang lumpuhnya saja ditakuti musuh. Pria kelahiran 1938 yang hampir tak bisa menggerakkan bagian tubuhnya sendiri, namun oleh Allah diberi kemampuan menggerakkan jiwa raga jutaan orang.

“Tidak ada sejarah seperti yang diukur Syekh Yasin, di mana pemimpin yang lemah (karena cacat fisik) mampu mengubah menjadi kekuatan,” kata Dr Asy-syahid Abdul Aziz Rantisi.

Hari-hari Syekh Yasin diisi dengan ibadah, luangnya dipenuhi dengan tarbiyah, tangan dinginnya dipakai untuk melahirkan kader dakwah. Maka muncullah Abdul Aziz Rantisi, Ismail Haniya, Khalid Misyal, dan lainnya. Anak-anak muda yang gigih bersamanya mengagagas Hamas, satu pekan pasca meletusnya intifadhah.

Telah berkali-kali Syekh Yasin hidup dalam penjara bersama kursi rodanya. Dari mulai tahun 1965, 1985, dan 1989.

Dalam pengadilan terakhir, beliau divonis seumur hidup plus 15 tahun. Tuduhannya, mendalangi serangan rakyat Palestina atas Israel dan melucuti senjata serdadu-serdadu Israel, warga Yahudi, serta penculikan terhadap agen-agen Israel.

Di dalam penjara, pukulan bertubi-tubi bersarang di mata dan kepalanya. Namun siksaan itu dilaluinya dengan tawakal dan penuh kesabaran. Karena semuanya adalah bagian dari perjuangan.

Syekh Yasin akhirnya berhasil bebas pada tahun 1997 akibat pertukaran tawanan. Anak-anak didiknya di Hamas berhasil menawan dua agen Mossad yang hendak meracuni Khalid Misyal.

Keluar dari penjara, Syekh Yasin kembali menyuarakan perjuangan untuk membebaskan Palestina di tengah diamnya bangsa Arab.

Bersama Hamas, beliau kembali melakukan perlawanan kepada Israel ketika Ariel Sharon menyatroni Masjid Al Quds dan diikuti dengan pembunuhan terhadap jamaah shalat. Bentrokan antara tentara Israel dan rakyat Palestina pecah. Meletuslah intifadhah kedua.

Beragam cara dilakukan Israel untuk membunuh Syekh Yasin dan selalu gagal. Hingga pada Senin subuh, 1 Shafar 1425 H/ 22 Maret 2004 M, Apache Israel buatan Amerika Serikat mendekat, lalu memuntahkan tiga buah roket ke tubuh lemah berjiwa baja di atas kursi roda itu.

Suara gelegar tiga roket meledak itu seakan menghancurkan langit Gaza Subuh itu. Abdul Hamid, anak Syekh Yasin, terlempar beberapa belas meter dari posisi dekat dengan ayahnya.

“Saya sama sekali tak bisa melihat di mana tubuh ayah saya,” kenangnya. “Di dekat saya sedikitnya ada lima jenazah yang hancur bergelimpangan… Darah muncrat dan membanjir kemana-mana…”

Hari itu, menjadi hari duka bagi rakyat Palestina. Jutaan rakyat Palestina menangis. 200 ratus ribu orang mengantarkannya ke pemakaman. Gema takbir membahana menyelimuti langit Gaza.

Jasadnya boleh tiada, namun gagasan dan cita-cita terus mengalir menembus jiwa-jiwa kaum muslimin demi melanjutkan perjuangannya.

“Tanah Islam secara paksa telah dirampas oleh Yahudi Zionis dan itu hanya bisa direbut kembali dengan kekuatan. Palestina adalah tanah wakaf yang tidak bisa diserahkan, walaupun hanya satu inci, untuk itu kamu bersedia melakukan segalanya,” pesannya

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular