Sunday, March 30, 2025
HomeBeritaApakah perang saudara di Israel tak lagi terhindarkan?

Apakah perang saudara di Israel tak lagi terhindarkan?

Pada tahun 1970-an, sutradara Israel Uri Zohar menayangkan sebuah film pendek satir yang menggambarkan 2 pria Arab berdiri di pantai Palestina, mencaci kapal yang mendekat membawa imigran Yahudi dari Rusia.

Kemudian, 2 imigran Rusia itu berdiri di pantai yang sama dan mencaci kapal lain yang membawa imigran dari Polandia.

Hal yang sama terus berulang: orang Polandia mencaci kapal yang membawa imigran dari Jerman. Orang Jerman pun melakukan hal serupa terhadap kapal yang datang dari Afrika Utara.

Kebanggaan etnis

Mungkin tanpa disengaja, film ini menunjukkan pengakuan akan keberadaan Arab sebagai penduduk asli tanah tersebut.

Zohar sendiri akhirnya meninggalkan dunia perfilman dan menjadi seorang rabi Ortodoks. Namun, yang jelas, ia ingin menyampaikan bahwa konflik dan ketidakmampuan menerima “orang lain” adalah karakteristik umum di negara-negara imigrasi.

Kisah ini tidak hanya terjadi di Israel, tetapi juga di Amerika, Australia, dan Kanada. Negara-negara yang dibangun dengan menarik berbagai ras dan etnis dari bangsa lain dengan janji “tanah impian”.

Ini adalah kisah klasik kolonisasi dan pemukiman, di mana identitas baru diciptakan secara instan untuk menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda di bawah satu bendera yang baru saja dibuat.

Namun, penulis Israel Uri Avnery menganggap fenomena ini aneh dalam konteks Israel. Negara ini didirikan dengan ideologi nasionalis Yahudi. Tetapi justru mengalami perpecahan berdasarkan perbedaan etnis di antara orang-orang Yahudi itu sendiri.

Sejarah dan ilmu sosial menunjukkan bahwa keragaman yang berlebihan dalam suatu negara tidak selalu membawa dampak positif.

Masyarakat yang terlalu heterogen cenderung sulit untuk tetap bersatu dalam jangka Panjang. Karena setiap kelompok memiliki kepentingan dan tuntutan masing-masing.

Ketika semangat kebersamaan mulai pudar, identitas-identitas subnasional akan muncul dan mengambil alih, menyebabkan setiap kelompok kembali ke akar etnisnya sendiri.

Akibatnya, risiko perpecahan dan pemberontakan dalam tubuh negara semakin meningkat. Pemerintah pun kesulitan menjalankan kebijakan mereka secara efektif. Karena setiap keputusan harus menghadapi resistensi dari kelompok-kelompok tertentu.

Contoh nyata dari ketegangan internal ini terlihat dalam insiden baru-baru ini pada 23 Maret lalu.

Ketika terjadi bentrokan verbal dan fisik dalam pertemuan kabinet Israel antara Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben Gvir, dan mantan kepala Shin Bet, Ronen Bar. Bar yang baru saja dipecat oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akibat perbedaan pandangan terkait investigasi serangan 7 Oktober 2023.

Insiden ini bukan sekadar konflik pribadi, tetapi mencerminkan pertarungan kekuasaan antara sayap kanan ekstrem dan institusi keamanan negara yang ingin mempertahankan independensinya.

Laporan media Israel bahkan mengungkap bahwa Shin Bet, di bawah kepemimpinan Ronen Bar, telah melakukan penyelidikan rahasia terhadap Ben Gvir selama beberapa bulan.

Penyelidikan itu untuk mengungkap sejauh mana pengaruh “kelompok teroris Yahudi” dalam kepolisian, terutama ekstremis Kahanis yang merupakan bagian dari kelompok Ben Gvir.

Kejadian ini mencerminkan krisis dalam politik domestik Israel, yang semakin dalam setelah gagalnya negosiasi untuk membebaskan sandera yang ditahan oleh faksi-faksi perlawanan Palestina.

Meskipun tanda-tanda perpecahan internal di Israel sudah muncul sebelum serangan 7 Oktober 2023, peristiwa “Thaufan Al-Aqsha” tampaknya telah mempercepat dan memperburuk krisis tersebut.

Anak panah yang meracuni luka

Dampak pertama dari peristiwa 7 Oktober 2023 terhadap struktur sosial Israel adalah terbongkarnya kegagalan negara pendudukan dalam mewujudkan keamanan dan stabilitas bagi warganya.

Sejak lama, Zionisme menanamkan keyakinan bahwa orang Yahudi hanya akan merasa aman jika mereka hidup dalam negara Yahudi. Inilah impian yang dipromosikan oleh Theodor Herzl untuk menarik mereka ke tanah Palestina.

Bahkan, doktrin militer Israel pun dibentuk untuk melayani tujuan ini, sebagaimana prinsip kekuatan ofensif yang digagas oleh David Ben Gurion.

Prinsip ini menekankan perlunya membawa pertempuran ke wilayah musuh, menjauhkannya dari tanah Israel, serta melakukan serangan pencegahan jika diperlukan.

Dengan strategi ini, Israel berharap dapat mengurangi korban di kalangan pemukim dan memastikan keamanan yang telah dijanjikan oleh Zionisme kepada mereka.

Namun, setiap kali Israel menghadapi serangan besar, seruan untuk meninggalkan negara itu semakin menguat.

Laporan dari Otoritas Kependudukan dan Imigrasi Israel mengungkap bahwa lebih dari setengah juta orang Israel telah meninggalkan negara itu sejak peristiwa “Thaufan Al-Aqsha”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Ben Gurion memahami bahwa serangan terhadap pemukim bisa memicu gelombang migrasi balik yang berpotensi mengancam eksistensi Israel.

Tetapi, peristiwa 7 Oktober berhasil mengguncang prinsip ini dengan menghantam jantung wilayah pendudukan dan menghilangkan ilusi keamanan bagi para pemukim.

Selain itu, peristiwa ini juga menyampaikan pesan nyata kepada masyarakat Israel bahwa kekuatan militer mereka, teknologi canggih, serta dukungan internasional saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan stabilitas negara. Tidak ada solusi selain melangkah menuju perdamaian yang adil dan dapat diterima.

Pesan ini hanya dapat diterima oleh kalangan yang masih berpikir rasional di Israel—mereka yang menentang kelompok ekstremis dan melihat peristiwa ini sebagai dorongan untuk mencari solusi damai.

Namun, pada saat yang sama, pesan ini juga memperdalam perpecahan dan konflik internal di Israel.

Ancaman terhadap institusi militer

Demikian pula, kasus para tahanan Israel selama Operasi “Thaufan Al-Aqsha telah memicu gelombang protes yang semakin besar terhadap pemerintahan Netanyahu dan institusi keamanan. ” Hal ini diikuti oleh kegagalan pemerintah saat ini dalam membebaskan mereka melalui kekuatan militer, serta ancaman untuk mengorbankan mereka.

Akibatnya, para pemimpin militer dan politik saling melempar tanggung jawab atas kegagalan ini dalam berbagai kesempatan.

Perpecahan ini juga terlihat dalam serangan yang dilakukan oleh ratusan ekstremis Israel pada Juli lalu terhadap kamp tahanan di pangkalan militer Sde Teiman di Gurun Negev. Tempat tentara Israel menahan para tawanan dari Gaza sejak awal perang.

Serangan tersebut menyebabkan bentrokan antara petugas polisi militer di satu sisi dan tentara cadangan yang bersekutu dengan pemukim ekstremis di sisi lain.

Para pengamat Israel melihat insiden Sde Teiman sebagai preseden berbahaya. Serangan brutal ekstremis terhadap pangkalan militer Israel menunjukkan bahwa mereka merasa memiliki kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan tidak ada kekuatan pemerintah yang dapat mengendalikan mereka.

Mereka menganggap diri mereka memiliki hak penuh untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan. Mereka merasa berada di atas hukum negara, karena mereka menganggap mewakili jiwa ideologi Zionis. Dengan kata lain, negara dan hukum-hukumnya seharusnya mengikuti mereka, bukan sebaliknya.

Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, menyatakan bahwa yang lebih mengkhawatirkan bagi masyarakat Israel adalah bagaimana kelompok ekstremis ini memandang sesama warga Israel.

Bagi mereka, tidak ada masalah dalam “membersihkan” masyarakat dari siapa pun yang berbeda pendapat. Setiap orang yang mendukung perdamaian atau rekonsiliasi dengan dunia Arab dianggap sebagai “pengkhianat kiri” yang bisa menjadi target propaganda kebencian—bahkan bisa dibunuh jika dianggap perlu.

Olmert juga menegaskan bahwa para perusuh yang mengikuti perintah Itamar Ben Gvir dan rekan-rekannya dari partai “Otzma Yehudit” tidak lagi hanya terdiri dari anggota Knesset yang ekstremis atau kelompok pemuda radikal seperti “Hilltop Youth” seperti sebelumnya.

Kini, mereka telah menyusup ke dalam kepolisian, tentara cadangan, dan bahkan beberapa perwira militer.

Tidak mustahil ke depannya ada tentara atau perwira aktif yang menolak perintah dari atasannya jika mereka merasa perintah itu bertentangan dengan ideologi merek. Karena mereka menganggap diri mereka sebagai otoritas tertinggi yang menentukan prioritas negara.

Di sisi lain, pengaruh ekstremisme telah menyusup ke dalam militer Israel, seperti yang terjadi di Brigade Kfir, yang terkenal dengan rekam jejaknya dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Brigade ini menjadi wadah bagi para pemukim radikal dari berbagai aliran. Termasuk anggota kelompok ekstremis Hilltop Youth, yang digunakan untuk menindas warga sipil Palestina di wilayah Tepi Barat.

Situasi ini semakin diperparah oleh upaya pemerintah Israel untuk merekrut pemuda ultra-Ortodoks. Khususnya dari komunitas Haredi, guna mengatasi kekurangan personel militer setelah meningkatnya intensitas pertempuran akibat Operasi “Thaufan Al-Aqsha”.

Namun, langkah ini memicu konflik lain antara pemerintah dan komunitas Haredi, yang mencakup sekitar 13% dari populasi Israel (sekitar 1,28 juta orang) dan menolak berpartisipasi dalam kehidupan sekuler, termasuk wajib militer.

Meskipun pemerintah akhirnya mencapai kompromi dengan komunitas Haredi, seperti dalam kasus Batalyon “Netzah Yehuda”, yang berada di bawah Brigade Kfir. Laporan media sering kali mengungkap tindakan pembangkangan di dalam batalyon ini.

Banyak anggotanya lebih memilih untuk menerima perintah dari rabi dan pemimpin pemukiman yang sering mengunjungi markas mereka, daripada mematuhi standar dan hierarki militer.

Hal ini mengindikasikan bahwa batalyon ini semakin menyerupai milisi agama independen dibandingkan unit resmi yang berada di bawah komando tentara Israel.

Akar yang tidak bisa diabaikan

Semua yang terjadi saat ini sebagai reaksi terhadap peristiwa 7 Oktober dan dampaknya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Israel.

Meski sejarah negara ini relatif singkat, ia penuh dengan penyebab ketegangan, perpecahan, dan konflik internal.

Meskipun Israel sering digambarkan sebagai negara multikultural yang menyatukan berbagai kelompok Yahudi, kenyataannya adalah bahwa elite Yahudi Ashkenazi (keturunan Eropa Barat) masih mendominasi pengambilan keputusan. Serta menetapkan budaya dan nilai-nilai mereka sebagai standar negara. Padahal, mereka hanya mewakili sekitar 30% dari total populasi Israel.

Anak-anak dari kelompok elite ini mendapatkan akses lebih baik ke pendidikan dan pasar kerja.

Studi menunjukkan bahwa rasio mahasiswa Yahudi Ashkenazi dibandingkan Yahudi Sephardi di universitas-universitas Israel mencapai 4 banding 1.

Sejarawan Israel Ze’ev Sternhell bahkan menyatakan bahwa kebijakan negara sengaja membatasi akses pendidikan bagi Yahudi Sephardi. Sehingga mereka tetap bekerja di sektor pertanian dan pekerjaan kasar yang menguntungkan elite Ashkenazi.

Hal ini yang disebut oleh Uri Avnery sebagai “keruntuhan melting pot”. Generasi pertama Yahudi Timur (Sephardi) mungkin masih sibuk beradaptasi dengan negara baru dan mengidolakan Ben Gurion. Tetapi generasi kedua mulai mempertanyakan dominasi Ashkenazi.

Kini, generasi ketiga semakin berontak melawan kesombongan Ashkenazi. Seiring waktu, klaim bahwa semua Yahudi di Israel setara—hanya berbeda sedikit dalam bahasa dan warna kulit—menjadi semakin tidak relevan.

Selain ketegangan etnis, ada perpecahan lain yang lebih mendalam di dalam masyarakat Israel, yaitu konflik antara kaum religius dan sekuler.

Ini adalah perselisihan tertua di antara orang Yahudi, yang bermula sejak abad ke-18.

Pada masa itu, sebagian Yahudi ingin keluar dari lingkungan tertutup mereka (ghetto) dan beradaptasi dengan budaya kapitalis dan sekuler Eropa.

Namun, kelompok lain menolak perubahan tersebut dan memilih tetap hidup dalam komunitas tertutup. Dari perbedaan ini lahirlah berbagai gerakan dan ideologi yang sering kali bertentangan.

Gerakan Zionisme berusaha menjembatani perbedaan ini agar dapat mencapai tujuan utama mereka: mendirikan negara Yahudi.

Untuk itu, mereka menciptakan konsep “status quo”. Yaitu keseimbangan antara hukum-hukum agama yang tidak boleh dilanggar dalam institusi Yahudi dan kebebasan individu dalam kehidupan pribadi, termasuk sistem pendidikan.

Kesepakatan ini diperkuat dengan keputusan untuk tidak menulis konstitusi resmi, melainkan menggantinya dengan “Hukum Dasar”.

Namun, kaum religius tetap berusaha mengisolasi diri dari negara dengan menetap di komunitas eksklusif di pinggiran kota dan mendirikan lembaga pendidikan khusus.

Sebagian dari mereka juga mulai merambah ke politik untuk memengaruhi masyarakat sekuler dan menyebarkan nilai-nilai agama.

Beberapa orang berpendapat bahwa kemenangan Israel dalam Perang Juni 1967 memperkuat pengaruh kelompok religius.

Setelah perang, suara-suara yang menyerukan ekspansi wilayah dan supremasi Yahudi semakin lantang.

Namun, ada pula yang berpendapat bahwa kebangkitan kaum religius radikal baru benar-benar terasa pada tahun 1980-an. Ketika kaum Haredi mulai memberlakukan aturan ketat. Seperti melarang iklan yang dianggap tidak bermoral dan menggunakan kekerasan untuk menutup jalan-jalan selama Sabat serta dalam acara keagamaan lainnya.

Namun, gerakan ekstremis Yahudi ini sendiri tidak homogen. Mereka terbagi dalam berbagai kelompok, dari Haredi ultra-ortodoks, Yahudi konservatif, hingga Yahudi reformis.

Bahkan dalam lingkup ekstremisme agama, perbedaan etnis tetap berperan besar. Penelitian menunjukkan bahwa kesamaan latar belakang etnis dan geografis lebih erat dibandingkan sekadar kesamaan keyakinan agama.

Di sisi lain, komunitas sekuler juga tidak bisa disederhanakan menjadi satu kelompok yang seragam, karena mereka pun terbagi dalam berbagai lapisan sosial.

Ini berarti bahwa konflik antara kelompok religius dan sekuler di Israel bukan hanya pertarungan dua kubu yang jelas, melainkan jaringan kompleks dari berbagai ideologi yang saling bersaing.

Pada tahun 1990-an, survei menunjukkan bahwa masyarakat Israel terbagi dalam empat kategori utama. Saat itu, 52% mengidentifikasi diri sebagai sekuler, sementara 48% sisanya adalah kelompok religius.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kelompok sayap kanan ekstrem semakin kuat, mendorong Israel ke arah kekerasan yang semakin meningkat. Ironisnya, banyak dari kelompok ekstremis ini tidak setia kepada negara Israel, bahkan menganggap Zionisme sebagai bentuk pengkhianatan terhadap agama.

Namun, analisis ini tidak serta-merta berarti bahwa perang saudara akan terjadi di Israel. Situasi saat ini masih dalam keseimbangan antara ketegangan yang berulang dan ketertiban yang, meskipun relatif, masih bertahan dalam kerangka negara.

Di sisi lain, skenario eskalasi tetap harus diperhitungkan. Masyarakat Israel yang semakin terpolarisasi dan bersenjata dapat dengan mudah bergerak menuju kekerasan yang lebih besar. Baik terhadap sesama warga Israel maupun terhadap pihak luar—terutama dalam ketiadaan kepemimpinan yang dapat menyatukan berbagai faksi dalam masyarakat.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular