Friday, November 7, 2025
HomeBeritaBangku hilang, dinding runtuh: Kisah sekolah Gaza setelah perang

Bangku hilang, dinding runtuh: Kisah sekolah Gaza setelah perang

Setelah hampir dua tahun lumpuh akibat perang, proses belajar mengajar di Jalur Gaza perlahan kembali menggeliat—meski hanya sebagian, dan dalam kondisi yang amat berat.

Sekolah-sekolah di wilayah yang hancur oleh agresi Israel itu kini menjalankan kegiatan belajar dalam suasana serba darurat, menandakan bukan pemulihan sejati, melainkan upaya bertahan hidup di tengah reruntuhan.

Kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Dari ratusan sekolah yang ada di Gaza, sebagian besar rusak parah atau hancur total, sementara banyak yang berubah fungsi menjadi tempat penampungan pengungsi.

Kementerian Pendidikan pun terpaksa menerapkan sistem ganda: sebagian ruang kelas dipakai untuk kegiatan belajar, sementara sisanya menampung keluarga-keluarga yang kehilangan rumah.

Di beberapa tempat, sekolah berfungsi sebagai ruang belajar pada pagi hari dan berubah menjadi tempat pengungsian pada malamnya.

Belajar tanpa syarat dasar

Sistem sementara ini bertujuan menyelamatkan tahun ajaran yang tersisa, meski hanya sebagian.

Namun, situasinya melahirkan lingkungan yang paradoks—antara tuntutan pendidikan dan realitas perang—sehingga kestabilan belajar nyaris mustahil dicapai.

Fasilitas sekolah pun sangat terbatas. Ruang-ruang kelas sesak, bangku tidak cukup, jendela dan pintu hancur, sementara buku pelajaran hanya tersedia sebagian.

“Selama perang genosida, Israel sengaja menarget seluruh sistem pendidikan—sekolah, guru, siswa, hingga sarana—sebagai bagian dari penghancuran total,” ujar Ahmad Ayyash al-Najjar, Direktur Hubungan Masyarakat dan Informasi di Kementerian Pendidikan dan Pendidikan Tinggi Gaza.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera Net, al-Najjar menjelaskan bahwa meski dalam kondisi amat berat, kementeriannya berusaha melanjutkan pendidikan melalui tiga jalur darurat:

  • Pembelajaran tatap muka terbatas, di beberapa wilayah yang relatif aman, dengan memanfaatkan ruang darurat atau tenda.
  • Pembelajaran campuran, yang menggabungkan kehadiran fisik terbatas dengan komunikasi daring.
  • Pembelajaran jarak jauh, melalui platform Wise School dan Microsoft Teams.

“Pasca gencatan senjata, kami berupaya memulai kembali pendidikan tatap muka sepenuhnya dengan program darurat yang mencakup dukungan psikologis dan kesehatan bagi para siswa. Namun, tantangannya luar biasa besar—ratusan sekolah hancur, puluhan dijadikan tempat pengungsian, sementara kekurangan guru, mebel, dan sarana membuat kami bergerak dengan sangat terbatas,” katanya.

Untuk mengurangi beban itu, kementerian bekerja sama dengan pemerintah lokal, dewan kota, dan lembaga masyarakat sipil untuk menyediakan tenda dan tempat tinggal alternatif bagi para pengungsi agar sekolah dapat difungsikan kembali.

Data kementerian menunjukkan skala kehancuran yang mengejutkan.

Sejak awal serangan pada 7 Oktober 2023 hingga Juli 2025, sebanyak 674 ribu siswa kehilangan akses ke pendidikan tatap muka. 17.175 siswa gugur, 26.264 terluka, 928 guru dan tenaga administrasi tewas, dan lebih dari 4.400 lainnya cedera.

Sebanyak 144 sekolah hancur total, sementara 165 lainnya rusak sebagian.

Kembali belajar, tapi sulit bertahan

Para pakar pendidikan menilai bahwa kembalinya proses belajar di Gaza ini masih bersifat sementara dan rapuh.

Keberlanjutannya sangat tergantung pada bantuan internasional dan proses rekonstruksi yang belum dimulai.

“Tanpa pembangunan kembali sekolah dan kembalinya warga ke rumah masing-masing, sulit membayangkan sistem pendidikan yang normal,” ujar seorang pakar pendidikan di Gaza.

Ketiadaan lingkungan yang aman dan minimnya layanan dasar seperti listrik dan air membuat kegiatan belajar yang berjalan saat ini lebih menyerupai simbol harapan daripada proses pendidikan yang sesungguhnya.

Yahya Abu Musyaikh, kepala Sekolah Menengah Maryam Farahat, menggambarkan kondisi tersebut dengan nada getir.

“Kembali ke ruang kelas sangat sulit. Sebagian besar bangunan sekolah, laboratorium, dan perpustakaan hancur. Bahkan pintu dan jendela pun hilang. Kami nyaris tak bisa memberikan pendidikan minimal karena ruang kelas penuh pengungsi, sementara kami tak punya kekuatan moral untuk mengusir mereka yang kehilangan segalanya,” ujarnya.

“Tidak ada lingkungan belajar”

Suara siswa mencerminkan penderitaan yang sama. Iyad Ghazal, pelajar kelas akhir sekolah menengah, mengatakan sekolahnya kini nyaris tak layak untuk belajar.

“Kami duduk di kelas yang kami bagi dengan puluhan keluarga pengungsi. Kami mencoba fokus pada pelajaran, tapi suara antrean air, anak-anak menangis, dan keributan pembagian makanan terus terdengar. Ini bukan lingkungan belajar,” katanya.

Sementara itu, Sihaam Aliwah, siswi di Sekolah Menengah Muscat, menilai bahwa keberadaan para pengungsi di sekolah, meskipun mereka sendiri menderita, menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan.

“Kami memulai pelajaran sementara di halaman dibagikan makanan dan air. Kadang kami harus berhenti karena kebisingan dari ruang-ruang sebelah yang dijadikan tempat tidur. Meski begitu, kami mencoba beradaptasi, karena kami percaya pendidikan tidak boleh berhenti,” ungkapnya.

Guru bahasa Arab, Nahidh Abu Sanidah, dari Sekolah Syuhada al-Maghazi, menggambarkan realitas serupa.

“Dalam satu ruang, bisa ada lebih dari 50 siswa. Sebagian duduk di lantai, sebagian berdiri sepanjang pelajaran. Di luar kelas, asap dapur, tangisan anak-anak, dan suara panci beradu dengan penjelasan guru. Mengajar dalam kondisi ini seperti berteriak di tengah badai,” ujarnya.

Menurutnya, solusi sejati hanya bisa dicapai dengan mengosongkan sekolah dari pengungsi dan memulihkan kembali infrastruktur pendidikan agar sekolah bisa kembali menjadi tempat belajar yang aman dan layak.

Ketika sekolah jadi tempat berlindung

Namun bagi para pengungsi, sekolah bukan sekadar tempat berlindung, melainkan satu-satunya atap yang tersisa.

“Kami bukan memilih tinggal di sekolah. Kami terpaksa. Perang mencuri rumah dan keamanan kami. Kami tahu sekolah seharusnya tempat belajar, bukan tempat tidur, tapi kami tak punya pilihan lain,” kata Marwan al-Saifi, salah seorang pengungsi.

Kepala Dinas Pendidikan di Gaza Tengah, Muhammad Hamdan, mengakui bahwa mengosongkan sekolah dari pengungsi hampir mustahil dalam kondisi darurat ini.

“Kami memahami penderitaan para siswa dan guru, tapi kami juga tidak bisa meminta keluarga yang kehilangan segalanya untuk pergi tanpa ada tempat yang aman bagi mereka,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Karena itu, Hamdan menjelaskan, otoritas pendidikan berusaha menyesuaikan jadwal sekolah: membagi waktu antara belajar dan pengungsian, serta mengaktifkan kembali sistem kelas virtual dan pembelajaran daring untuk mengisi kekosongan.

Ia menyerukan dukungan dari lembaga lokal dan internasional untuk menyediakan tenda belajar dan sekolah keliling agar beban sekolah yang penuh sesak bisa dikurangi.

“Yang kami butuhkan sekarang bukan sekadar niat baik, tapi solusi realistis yang memadukan kepentingan kemanusiaan dan Pendidikan. Sampai tiba saatnya Gaza bisa kembali bernapas dan anak-anaknya bisa belajar tanpa harus berbagi ruang dengan trauma perang,” tegasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler