Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kian memburuk. Para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi kemanusiaan internasional memperingatkan bahwa wilayah yang terkepung itu kini berada di ambang bencana.
Mereka menyatakan persediaan bahan pangan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan yang hampir sepenuhnya habis.
Badan-badan kemanusiaan seperti Program Pangan Dunia (WFP) dan Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) telah mendistribusikan stok terakhir mereka.
Termasuk tepung dan bahan makanan lain, ke puluhan dapur umum yang menjadi tumpuan terakhir bagi warga yang tak lagi memiliki pilihan.
“Tak ada lagi yang bisa diberikan kepada mereka,” ujar seorang pejabat senior PBB kepada The Guardian.
Menurutnya, begitu persediaan terakhir habis, dapur-dapur mereka harus ditutup.
“Saat ini masyarakat masih bertahan, tetapi kita tahu dari krisis lain bahwa kehancuran bisa terjadi dengan sangat cepat. Kita sudah sangat dekat dengan titik itu,” tambahnya.
Sejak hampir dua bulan lalu, setelah runtuhnya kesepakatan gencatan senjata, Israel memperketat blokade dengan melarang masuknya makanan, bahan bakar, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya ke Gaza.
Puluhan toko roti yang dulu menyediakan roti bagi ratusan ribu orang pun terpaksa tutup.
Kini, 47 dapur umum yang masih beroperasi hanya mampu menyediakan hidangan sederhana seperti lentil, pasta, dan nasi dalam jumlah terbatas.
“Jika dapur ini tutup, orang-orang yang bergantung pada kami akan menghadapi kelaparan yang mematikan,” kata Hani Abu Qasim dari Dapur Amal Rafah.
Di seluruh Gaza, pasar-pasar nyaris kosong. Harga barang yang tersisa melonjak tajam dan tak terjangkau mayoritas warga.
Harga tomat, misalnya, melonjak empat kali lipat menjadi delapan dolar per kilogram. Gula naik tujuh kali lipat, sementara harga tepung meningkat antara sepuluh hingga lima belas kali lipat. Daging dan produk susu hampir tak tersedia lagi.
Hidup dalam kekurangan
Umm Aboud (45), seorang akademisi dan jurnalis dari Gaza, menceritakan kerasnya kehidupan sehari-hari.
“Kami sekarang hanya makan dua kali sehari, bahkan kadang satu kali saja. Persediaan makanan kami hampir habis,” ujarnya.
Ia menegaksakan vhawa situasi sangat berat. Rumah sakit hancur, obat dan perawatan medis tidak tersedia.
“Tidak ada air bersih atau listrik. Sampah menumpuk di mana-mana. Gaza berubah menjadi tanah penuh penyakit. Orang-orang perlahan-lahan mati, seakan-akan sedang menjalani eksekusi,” tambahnya.
Hampir 70 persen wilayah Gaza kini berada di bawah perintah evakuasi militer Israel atau menjadi bagian dari zona penyangga yang diperluas. Sejak berakhirnya gencatan senjata, lebih dari 400.000 orang terpaksa mengungsi kembali.
Pihak Israel beralasan bahwa pembatasan bantuan dilakukan untuk mencegah Hamas mengambil alih dan menyalahgunakan bantuan. Namun, organisasi-organisasi kemanusiaan membantah klaim tersebut.
Di kamp pengungsi dekat Khan Younis, selatan Gaza, Mariam Najjar bersama mertuanya berusaha menghidupi 11 anggota keluarga mereka dengan 4 kaleng kacang polong dan wortel, sedikit nasi, kaldu instan, dan rempah-rempah.
Sebelum perang, mereka bisa menikmati hidangan daging atau sayuran isi.
“Sekarang, setiap Jumat, kami makan kacang polong kalengan dan nasi. Sebelum perang, kami tidak pernah makan seperti ini,” katanya.
Badan PBB mencatat, pada Maret lalu ada 3.700 anak di Gaza yang mengalami malnutrisi akut—melonjak 80 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Krisis juga melanda sektor kesehatan. Komite Palang Merah Internasional melaporkan kekurangan parah mulai dari sarung tangan medis hingga kantong jenazah.
“Ini tantangan besar yang mengerikan. Jumlah pasien, termasuk yang luka berat, terus meningkat dan menekan sistem kesehatan,” sebut pernyataan mereka.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia menuduh Israel menggunakan “taktik kelaparan” terhadap penduduk Gaza, yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan Gaza pada Minggu (27/4) mengungkapkan, dalam 24 jam terakhir, 51 jenazah warga Palestina dibawa ke rumah sakit setelah menjadi korban serangan udara Israel.