Sunday, November 24, 2024
HomeHeadlineDari Mbah Hasyim untuk Palestina dan Indonesia

Dari Mbah Hasyim untuk Palestina dan Indonesia

KH. Imam Jazuli, LC*

Indonesia adalah bangsa yang terpelajar, sejak era kerajaan sampai kemerdekaan. Bahkan, di suatu zaman, Nusantara sempat menjadi pusat pendidikan agama Buddha dan Hindu.

Tidak heran, ketika Islam menyebar ke Nusantara abad 12-15 Masehi, umat muslim Nusantara menciptakan tradisi keilmuan yang khas, berupa sistem pendidikan pesantren, yang menjadi cikal-bakal spirit sistem pendidikan nasional di era kemerdekaan (Bahri, 2021:100).

Sistem pendidikan pesantren mampu bertahan dari gempuran sistem pendidikan sekuler ala kolonial. Bukan saja itu, alumni-alumni pendidikan pesantren menjadi kekuatan perlawanan terhadap kolonialisme. Fakta sejarah ini tidak bisa dipungkiri lagi.

Salah satu tokoh besar pesantren abad 19-20 antara lain adalah Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim), yang kelak mendirikan NU tahun 1926, Majelis Islam A’la Indonesia 1937, dan Majelis Syuro Muslim Indonesia 1943 sebagai pengganti M.I.A.I (Martin Van Bruinessen, 1994).

Mbah Hasyim tidak saja mempelopori gerakan nasionalisme yang menentang penjajahan, melainkan meneruskan tradisi keilmuan pondok pesantren, yaitu membangun jaringan intelektual lintas negara. Salah satunya tercatat hubungan Mbah Hasyim dengan ulama-ulama Palestina, Mesir, bahkan India.

Mbah Hasyim pernah berguru kepada Syeikh Sulaiman, seorang Mufti Mesir. Namun, Mbah Hasyim juga seorang guru bagi Syeikh Amin Mufti Palestina dan Syeikh Sa’dullah Mufti India. Dengan kata lain, jaringan intelektual pesantren menjelang detik-detik kemerdekaan telah lintas negara (Majalah Aula, Ed. November, 2022: 94).

Dari Hubungan Intelektual ke Jaringan Perjuangan Nasionalisme

Hubungan intelektual antara Mbah Hasyim, Syeikh Sulaiman, Syeikh Amin dan Syeikh Sa’dullah tidak berhenti di meja akademik. Hubungan personal ini bermetamorfosis menjadi hubungan kebangsaan yang menyatukan visi umat muslim seluruh dunia dalam melawan kolonialisme.

Tidak heran, selama hidupnya, Mbah Hasyim tidak berhenti semata-mata mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Mbah Hasyim mengkordinir seluruh ormas-ormas Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah, untuk mendirikan M.I.A.I (Soeara MIAI, No. 14, 1938:2).

Karena itulah, pada Kongres M.I.A.I tahun 1938, NU dan Muhammadiyah berhasil menggalang dukungan dari seluruh ormas Islam di Indonesia untuk memberikan dukungan moral, spiritual dan finansial dalam rangka membantu Palestina, yang sedang diacak-acak oleh kolonial (Azyumardi Azra, 1998: 127).

Kongres M.I.A.I 1938 menolak pembagian tanah Palestina menjadi milik warga Arab (Palestina), Yahudi dan Inggris. Hal itu bisa dilihat dalam Majalah MIAI tanggal 25 November 1938.

Karena jasa Mbah Hasyim dalam mengordinir umat muslim Indonesia untuk membela Palestina, maka ketika Indonesia mengumumkan kemerdekaannya pada tahun 1945, seluruh warga Palestina, Mesir, dan India melalui mufti-mufti agung mereka menjadi pihak-pihak yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia (Al-Khanif (Ed.), 2017:371).

Apa yang dilakukan oleh Palestina, Mesir dan India terhadap Indonesia adalah bentuk balas budi sekaligus bentuk solidaritas para alim ulama. Kedekatan emosional dan intelektual antara Indonesia, Palestina, Mesir dan India berbuah dukungan politik terhadap kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.

Sudah Saatnya Menghidupkan Spirit Lama

NU misalnya dapat menggunakan Forum R20 untuk mengajak seluruh ulama di seluruh negara untuk bersatu padu mendesak Israel menghentikan eskalasi perang. Sebab, konflik Israel-Palestina bukan konflik agama melainkan perang melawan kolonialisme, di mana UUD 1945 kita memang mengamanatkan untuk menghapus kolonialisme di manapun di atas muka bumi.

Membela Palestina dan melawan kolonialisme Zionis Israel sama saja dengan menjalankan amanat UUD ’45 sekaligus menindaklanjuti spirit perjuangan Mbah Hasyim, yang mengubah hubungan sosial-keagaman menjadi hubungan kebangsaan, perjuangan kemerdekaan, dan perlawanan terhadap penindasan oleh kolonial.

Disalin dari disway.id 

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular