Friday, November 14, 2025
HomeBeritaDialog Palestina di Istanbul: Membangun kesatuan sikap hadapi genosida di Gaza

Dialog Palestina di Istanbul: Membangun kesatuan sikap hadapi genosida di Gaza

Akhir pekan ini, Istanbul akan menjadi tuan rumah Forum Dialog Nasional Palestina dalam edisi ketiganya.

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari mulai Jumat mendatang itu akan dihadiri lebih dari 200 tokoh Palestina dari berbagai belahan dunia.

Dari wilayah pendudukan, diaspora, hingga perwakilan lembaga dan komunitas Palestina global.

Forum ini lahir pada 2023 sebagai sebuah inisiatif independen dan terbuka untuk mempertemukan seluruh spektrum masyarakat Palestina di luar sekat organisasi politik.

Tujuannya: merumuskan pandangan bersama tentang arah perjuangan nasional Palestina di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks.

Tahun ini, forum mengambil tema besar “Kesatuan Sikap Palestina Melawan Genosida, Pengusiran, dan Aneksasi”.

Tema ini fokus pada perubahan sikap dunia Arab, Islam, dan internasional pascaperang Gaza; pembenahan rumah tangga nasional Palestina; masa depan keputusan politik Palestina; serta penolakan terhadap segala bentuk perwalian internasional atas Gaza pascaperang.

Forum dalam bayang-bayang 2 tahun berdarah

Edisi ketiga forum ini digelar dalam suasana luar biasa genting. Dua tahun setelah perang besar Israel di Gaza—yang oleh banyak pihak disebut sebagai perang pemusnahan—Palestina masih menghadapi penderitaan kolektif.

Yaitu pembunuhan massal, kelaparan sistematis, dan upaya terang-terangan untuk mengusir warga Gaza dari tanah mereka.

Sementara itu, di Tepi Barat, gelombang kekerasan dan ekspansi permukiman Israel meningkat tajam.

Dengan kebijakan yang menurut para pengamat berpotensi mengulang “model Gaza”: penghancuran, pengusiran, dan perampasan lahan secara menyeluruh.

Di tengah situasi itu, muncul pula berbagai inisiatif internasional. Rencana gencatan senjata yang digagas Amerika Serikat (AS) kehilangan daya dorong politik, sementara Prancis dan Arab Saudi meluncurkan inisiatif baru.

Tujuannya untuk menghidupkan kembali solusi 2 negara melalui perluasan pengakuan terhadap Negara Palestina.

Bagi panitia forum, semua perkembangan ini menjadi alasan mendesak perlunya dialog nasional Palestina yang inklusif dan menyeluruh.

Bukan sekadar pilihan politik, melainkan kebutuhan eksistensial untuk menyelamatkan masa depan bangsa.

“Kita tidak punya kemewahan untuk berpecah”

“Situasi politik saat ini sangat rumit dan berbahaya. Gaza telah menjadi sasaran genosida dan kelaparan yang disengaja, sementara di Tepi Barat, kita melihat skenario pengusiran dan aneksasi yang sistematis,” ujar Hisham Abu Mahfouz, pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Kongres Rakyat untuk Warga Palestina di Luar Negeri, penyelenggara forum ini, dalam wawancara dengan Al Jazeera Net.

Menurut Abu Mahfouz, inti dari forum tahun ini adalah membangun “jembatan komunikasi” antara elit dan masyarakat Palestina di mana pun berada, sekaligus memperkuat kerja kolektif nasional di luar negeri.

“Kita tidak lagi punya kemewahan untuk berpecah. Dunia sedang berubah cepat, dan Palestina harus bersuara dalam satu nada yang tegas,” ujarnya.

Forum ini, lanjutnya, diharapkan mampu melahirkan langkah-langkah nyata—baik politik, sosial, maupun kemanusiaan—yang mempererat keterhubungan rakyat Palestina di dalam dan luar negeri.

Selain itu juga memperkuat representasi politik diaspora yang selama ini tersisih sejak era Oslo 1990-an.

Agenda dan pokok bahasan

Selama dua hari, para peserta akan membahas beragam makalah tematik, antara lain:

  • Analisis terhadap perubahan sikap Arab, Islam, dan internasional terhadap perang Gaza dan dampaknya bagi masa depan perjuangan nasional Palestina.
  • Upaya menata kembali “rumah nasional Palestina” dengan mencari formula rekonsiliasi antara faksi, tokoh, dan kekuatan masyarakat sipil.
  • Masa depan pengambilan keputusan nasional dan peran warga diaspora dalam merumuskan kebijakan bersama tanpa eksklusi politik.
  • Masa depan Gaza setelah perang—termasuk soal tata kelola nasional, penolakan terhadap wacana perwalian internasional, dan strategi menjaga kesinambungan dukungan global.
  • Isu-isu mendesak seperti Yerusalem dan situs-situs suci, nasib para tahanan politik, serta situasi diskriminatif terhadap warga Palestina di dalam wilayah pendudukan Israel.
  • Posisi Palestina dalam tatanan dunia baru pasca-Gaza, di tengah perubahan arah kekuatan global.
  • Pertanyaan mendasar tentang representasi politik Palestina—antara monopoli lama dan pilihan demokratis yang terbuka bagi semua, termasuk warga diaspora yang lama terpinggirkan.

Menurut Abu Mahfouz, setiap makalah akan dipresentasikan dalam waktu 20 menit, disusul lebih dari satu jam diskusi terbuka agar semua peserta dapat terlibat aktif dalam merumuskan kesimpulan akhir.

Tokoh dan peserta

Komite persiapan forum disebut telah berupaya memilih figur-figur yang tidak hanya memiliki pengaruh intelektual, tetapi juga terbuka pada perdebatan mendalam.

Jumlah peserta dibatasi antara 170 hingga 220 orang agar suasana tetap kondusif untuk dialog substantif.

Beberapa nama yang dijadwalkan hadir antara lain pemikir Arab dan Ketua Kongres Rakyat Palestina di Luar Negeri Munir Shafiq, Ketua Inisiatif Nasional Palestina Mustafa Barghouti, Presiden Forum Timur Wadah Khanfar, peneliti di Pusat Studi dan Kebijakan Arab Muin Taher, Wakil Ketua Dewan Legislatif Hassan Khreisheh, serta pengacara dan aktivis kemanusiaan Huwaida Arraf yang dikenal lewat kiprahnya di armada kapal kemanusiaan untuk Gaza.

Turut hadir pula tokoh-tokoh seperti Ahmad Ghoneim, Omar Assaf, Arib Rantawi, Majed Al-Zeer, Mohsen Saleh, Sami Al-Arian, Azzam Tamimi, Khaled Hroub, dan Adeeb Ziyadeh—mewakili berbagai latar belakang politik dan akademis.

Menuju hasil nyata

Sebuah komite khusus akan bekerja sepanjang forum untuk merangkum gagasan-gagasan penting yang muncul dalam diskusi dan merumuskannya menjadi usulan kebijakan maupun inisiatif konkret.

“Pernyataan penutup yang akan diumumkan pada akhir forum bukan hanya kumpulan kata, tetapi rencana aksi yang bisa dilaksanakan di lapangan, mencerminkan posisi rakyat Palestina yang bersatu menghadapi situasi saat ini,” kata Abu Mahfouz.

Forum ini berlangsung di tengah terus berlanjutnya pelanggaran Israel terhadap gencatan senjata sementara.

Serangan udara dan darat masih mengguncang Gaza setiap hari, menambah jumlah korban jiwa dan luka yang telah mencapai puluhan ribu.

Lebih dari 2 juta warga masih mengungsi, dan infrastruktur kota nyaris hancur total.

Meski tekanan internasional untuk menghentikan genosida dan mencegah pengusiran paksa semakin kuat, Israel tetap melanjutkan blokade dan operasi militer.

Dalam situasi seperti itu, Forum Dialog Nasional Palestina berupaya menjadi ruang kolektif bagi rakyat Palestina untuk merumuskan strategi bertahan, memperkuat daya tawar politik, serta menegaskan hak-hak yang tak dapat diganggu gugat.

Yaitu kebebasan, kedaulatan, dan kembalinya para pengungsi ke tanah air mereka.

Dengan semangat kesatuan yang menjadi tema utama, forum di Istanbul ini diharapkan menjadi tonggak baru dalam perjalanan panjang bangsa Palestina.

Dari luka dan perpecahan menuju suara bersama yang menegakkan martabat dan keadilan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler