Friday, November 15, 2024
HomeHeadlineDK PBB bahas penempatan pasukan di Sudan yang dilanda konflik

DK PBB bahas penempatan pasukan di Sudan yang dilanda konflik

Ahmadi menyampaikan bahwa ada laporan mengejutkan mengenai lebih dari 130 wanita yang melakukan bunuh diri massal untuk menghindari kekerasan seksual lebih lanjut

Middle East Eye pada Rabu (13/11) melaporkan, Dewan Keamanan PBB tengan membahas pengerahan pasukan penjaga perdamaian untuk melindungi warga sipil dari milisi yang didukung Uni Emirat Arab.

Dalam beberapa hari terakhir, kekerasan di Sudan telah mencapai titik ekstrem, dengan serangkaian kekerasan termasuk kekerasan seksual dan pembunuhan sewenang-wenang sejak perang di negara itu dimulai tahun lalu.

Dalam sebuah pertemuan tingkat tinggi, Dewan Keamanan PBB menerima laporan situasi mengerikan tersebut.

“Saya berbicara dengan rasa sakit dan keprihatinan mendalam,” ujar Niemat Ahmadi, ketua Darfur Women Action Group, kepada Dewan Keamanan pada Selasa.

Ahmadi melaporkan bahwa taktik “bumi hangus” digunakan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Al-Fasher, Darfur Utara, menjadikan warga sipil sebagai sasaran tanpa pandang bulu. Wanita dan anak perempuan menjadi korban kekerasan.

Rosemary DiCarlo, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik dan Pembangunan Perdamaian, menambahkan bahwa RSF melakukan pembunuhan massal terhadap warga sipil, memaksa banyak orang melarikan diri dari al-Gezira, wilayah pertanian antara Sungai Nil Biru dan Nil Putih.

“Kami menerima laporan pelanggaran mengerikan terhadap hukum hak asasi manusia internasional, termasuk kekerasan seksual yang sebagian besar dialami oleh perempuan dan anak-anak,” katanya.

Ahmadi menyampaikan bahwa ada laporan mengejutkan mengenai lebih dari 130 wanita yang melakukan bunuh diri massal untuk menghindari kekerasan seksual lebih lanjut.

Sementara itu, Ramesh Rajasingham dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB mengatakan kekerasan seksual di al-Gezira telah menjadi “ciri mengerikan dari konflik ini”.

Konflik antara RSF dan tentara Sudan yang dimulai pada April tahun lalu telah menewaskan ribuan orang dan membuat 11 juta orang mengungsi, sepertiganya melarikan diri ke luar negeri.

Akhir Oktober lalu, lebih dari 100 orang tewas setelah RSF, yang mendapat dukungan besar dari Uni Emirat Arab, meluncurkan serangkaian serangan brutal di al-Gezira menyusul pembelotan seorang komandan tinggi.

Usulan Zona Larangan Terbang
Dewan Keamanan juga membahas kemungkinan pengerahan pasukan penjaga perdamaian PBB ke Sudan guna melindungi warga sipil.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sejauh ini menolak opsi tersebut, dengan menyatakan bahwa “kondisi yang diperlukan” untuk penempatan pasukan belum ada.

Namun, Ahmadi tidak sepakat, mendesak PBB menciptakan kondisi yang kondusif untuk perdamaian.

Awal bulan ini, Abdalla Hamdok, mantan perdana menteri Sudan, mendesak Dewan Keamanan menciptakan zona aman bagi warga Sudan dengan dukungan pasukan penjaga perdamaian.

Selama kunjungan ke Inggris, Hamdok menyatakan kecewa dengan sikap Guterres dan menyerukan penerapan zona larangan terbang serta zona aman di dalam negeri.

“Kita harus membahas dengan berani mengenai pengiriman pasukan untuk melindungi warga sipil,” ujarnya di Chatham House, London.

Namun, usulan ini menimbulkan kontroversi. Seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Sudan menyebut bahwa zona larangan terbang akan menjadi “tindakan genosida” karena hanya angkatan udara tentara Sudan yang dapat melindungi warga sipil di Al-Fasher dan al-Gezira.

Peran Sekutu Eksternal
Selama diskusi, seorang pejabat Sudan menyatakan keraguannya terkait proposal penempatan pasukan penjaga perdamaian PBB. Katanya, saat warga melarikan diri dari RSF, mereka mencari perlindungan di wilayah yang dikuasai tentara.

Di masa lalu, misi penjaga perdamaian gabungan PBB dan Uni Afrika dikerahkan di Darfur antara 2007-2020 sebagai respons atas konflik yang didorong oleh milisi Janjaweed, cikal bakal RSF, yang awalnya dikerahkan oleh pemerintah Bashir.

Konflik di Darfur berlangsung dengan garis perpecahan etnis yang mengakibatkan 300.000 orang tewas.

Gubernur Darfur, Minni Minawi, menuduh badan-badan PBB membantu RSF dengan mengabaikan pelanggaran dan mengalihkan bantuan kepada kelompok tersebut.

Menanggapi tuduhan ini, seorang perwakilan PBB membela komitmen badan-badan PBB untuk membantu sesuai dengan hukum internasional, meski dihadapkan pada risiko keamanan.

Dalam pembicaraan di Dewan Keamanan, perwakilan Rusia menyatakan bahwa tak pantas membahas pengerahan pasukan penjaga perdamaian tanpa negosiasi dengan pemerintah Sudan. Hampir seluruh anggota Dewan sepakat mendesak gencatan senjata segera.

Amerika Serikat menyerukan agar semua negara menghentikan dukungan militer kepada pihak-pihak yang berkonflik, pandangan yang disetujui oleh Jepang dan Korea.

Minggu lalu, Dewan Keamanan memutuskan untuk menjatuhkan sanksi pada dua jenderal RSF, sanksi pertama sejak perang dimulai. Kini, Dewan tengah membahas rancangan resolusi dari Inggris yang menyerukan penghentian kekerasan dan kelancaran pengiriman bantuan melintasi garis depan.

DiCarlo menegaskan bahwa peningkatan kekerasan baru-baru ini disebabkan oleh kedua belah pihak yang bertikai serta “dukungan eksternal yang signifikan”. “Secara gamblang, sekutu dari pihak-pihak yang bertikai turut menyokong pembantaian di Sudan. Ini tidak dapat diterima, melanggar hukum, dan harus dihentikan,” tandasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular