Wednesday, April 16, 2025
HomeBeritaDokter bedah Amerika: Semalam operasi anak-anak Gaza lebih banyak dari setahun di...

Dokter bedah Amerika: Semalam operasi anak-anak Gaza lebih banyak dari setahun di AS

Dokter bedah asal Amerika, Feroze Sidhwa, bukanlah orang asing di wilayah konflik dan bencana.

Ia pernah menjadi relawan di Ukraina, Haiti, dan Zimbabwe. Namun, menurutnya, situasi yang ia alami di Gaza adalah yang paling sulit dibanding tempat mana pun sebelumnya.

Menurut laporan majalah +972 oleh Michelle Feldman, Feroze adalah ahli bedah trauma dan perawatan intensif dari California yang menjadi relawan medis di Gaza, tepatnya di Rumah Sakit Nasser.

Saat itu, rumah sakit tersebut terkena serangan udara langsung oleh Israel. Militer Israel mengklaim bahwa target serangan adalah Ismail Barhoum, anggota senior Biro Politik Hamas, yang sedang dirawat akibat luka sebelumnya.

Namun, serangan tersebut menyebabkan kematian pasien Feroze, seorang remaja bernama Ibrahim (16 tahun).

“Saya tidak pernah membayangkan seorang pasien bisa dibunuh di atas ranjang rumah sakit,” kata Feroze.

Ia menambahkan bahwa jika ia tidak dipindahkan ke unit perawatan intensif, mungkin ia ikut terbunuh saat berdiri di samping Ibrahim.

Penulis artikel menyebut bahwa ia pertama kali bertemu Feroze pada Oktober lalu. Ketika itu ia bersama sekitar 100 tenaga medis Amerika mengirim surat terbuka kepada Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris.

Mereka menceritakan apa yang mereka saksikan di rumah sakit-rumah sakit Gaza, dan menyerukan diakhirinya perang serta penghentian pengiriman senjata Amerika Serikat (AS) ke Israel.

130 pasien dalam 6 jam

Setelah kembali ke AS, Feroze sempat mengikuti berbagai wawancara dan diskusi daring, sebelum kembali lagi ke Gaza pada Maret dalam misi relawan kedua di bagian bedah Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Gaza Selatan.

Meskipun situasinya sangat sulit sejak Israel melanggar gencatan senjata bulan lalu, Feroze menggambarkan masa tugas pertamanya sebagai yang paling berat.

“Waktu itu kami tiba di rumah sakit Eropa saat pertempuran di Khan Younis masih berlangsung. Tak ada satu detik pun tanpa suara bom,” ungkapnya.

Berbeda dengan Rumah Sakit Eropa yang juga digunakan sebagai kamp pengungsi, saat ini Rumah Sakit Nasser tidak dipenuhi warga sipil.

“Dulu kami tak bisa bekerja karena perempuan sedang memotong sayur dan memasak sup di dalam ruang ICU,” katanya.

Saat itu ia bahkan tidak bisa melakukan operasi dengan dokter lain. Sekarang, ia mengatakan selalu ada dokter bedah Palestina yang bekerja bersamanya dalam setiap operasi.

Meski Feroze tak memiliki keterkaitan pribadi dengan Palestina dan hanya menguasai 3 kata dalam bahasa Ibrani dan 2 dalam bahasa Arab.

Ia memutuskan untuk kembali ke Gaza bulan lalu, memanfaatkan jeda gencatan senjata yang ia tahu tak akan bertahan lama.

“Pembantaian Ramadan”

Kunjungan kedua Feroze bertepatan dengan apa yang disebut sebagai “Pembantaian Ramadan”.

Israel menyerang sekitar 100 lokasi secara bersamaan saat waktu sahur, menewaskan lebih dari 400 warga Palestina, termasuk 174 anak-anak.

“Ketika serangan dimulai, pintu apartemen kami terbuka sendiri dan menghantam lemari. Itulah yang membangunkan saya,” kenangnya.

Dalam waktu 6 jam, mereka menangani 130 pasien.

“Saya langsung melakukan enam operasi dan tiga lagi sepanjang hari itu. Separuhnya adalah anak-anak kecil, dan saya benar-benar tidak terbiasa dengan itu. Dalam satu malam, saya menangani lebih banyak trauma anak-anak dibandingkan yang saya tangani dalam setahun penuh di Amerika Serikat,” katanya.

Feroze membandingkan situasi itu dengan pemboman Maraton Boston 2013, di mana seluruh rumah sakit besar di kota itu menampung sekitar 4000 tempat tidur.

Jumlah yang setara dengan pasien yang mereka rawat hanya dalam satu malam di Rumah Sakit Nasser pada 18 Maret.

Area khusus untuk anak-anak yang akan meninggal

Menurut majalah tersebut, meskipun malam itu adalah salah satu dengan jumlah korban massal terbanyak, itu bukan yang terburuk.

Para dokter di Nasser mengingat hari-hari di mana mereka melakukan 100 operasi dalam sehari. Jumlah yang melampaui rumah sakit mana pun di dunia. Hal itu berlangsung setiap hari selama berbulan-bulan.

Feroze menjelaskan bahwa tim medis membagi pasien berdasarkan warna: hijau untuk luka ringan, kuning untuk kondisi kritis, merah untuk penanganan segera, dan hitam untuk pasien yang langsung dipindahkan ke kamar jenazah.

Namun untuk anak-anak, tidak ada label hitam. Mereka langsung dipindahkan ke kamar jenazah atau ke ruang khusus untuk meninggal dunia, ditemani keluarga mereka yang berdoa.

Feroze menyadari bahwa keputusannya untuk menjadi relawan di Gaza sangat berisiko. Ia selalu memperingatkan dokter lain yang tertarik untuk ikut.

“Tempat ini adalah yang paling brutal yang pernah saya datangi. Mungkin tempat paling brutal di dunia dalam 60 tahun terakhir. Kalian harus mengerti bahwa kalian pergi ke tempat di mana Israel bisa membunuh kalian kapan saja tanpa takut dihukum. Pemerintah kalian tidak akan berbuat apa-apa,” ajaknya.

Ia mengingat seorang staf dari Kedutaan Besar AS di Israel yang meneleponnya setelah melihat postingannya soal serangan ke rumah sakit.

Ketika ia meminta agar Israel berhenti mengebom Rumah Sakit Nasser, staf tersebut hanya menjawab singkat.

“Seperti yang Anda tahu, itu bukan tugas kami,” tukasnya.

Feroze mengatakan bahwa yang menyakitkan bukan hanya penderitaannya, tapi kenyataan bahwa saya merasa punya tanggung jawab moral besar.

“Ini bukan hanya serangan Israel terhadap Gaza—ini adalah serangan Israel-Amerika,” katanya.

Ia juga bertanya-tanya apakah uang pajak saya yang menempatkan pecahan bom di otak gadis kecil ini? Atau uang tetangganya?

Meski begitu, Feroze menggambarkan merawat anak-anak Palestina sebagai “pengisian ulang baterai moral saya.”

Ia berspekulasi bahwa kehadirannya sendiri di rumah sakit mungkin menjadi penahan serangan.

“Mungkin kalau saya tidak ada di sini, Israel sudah menjatuhkan bom seberat 2000 pon. Mereka bisa saja menghancurkan rumah sakit ini sepenuhnya, tapi jika mereka membunuh sekelompok orang asing, itu akan jadi bencana besar bagi mereka,” pungkasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular