Monday, October 13, 2025
HomeBeritaDua tahun genosida: Bagaimana Israel hancurkan dunia olahraga di Gaza

Dua tahun genosida: Bagaimana Israel hancurkan dunia olahraga di Gaza

Pada usia 12 tahun, Naghm Abu Samra meraih sabuk hitam dalam cabang olahraga karate. Delapan tahun kemudian, di usia 20, ia menjuarai turnamen tingkat Gaza dan meraih posisi kedua di Palestina.

Namanya mulai dikenal luas, dan publik olahraga di Gaza menaruh harapan besar padanya untuk menulis babak baru dalam sejarah olahraga nasional.

Masuknya karate ke Olimpiade Tokyo 2020 semakin menumbuhkan mimpinya: mempersembahkan medali emas pertama Palestina di Olimpiade Los Angeles 2028.

Selain berprestasi di arena olahraga, Naghm menempuh pendidikan hingga meraih gelar magister di bidang pendidikan jasmani.

Ia juga mendirikan klub khusus untuk melatih anak-anak perempuan di Gaza—sebuah upaya kecil untuk menanamkan budaya olahraga di kalangan muda.

Namun, semua impian itu berakhir tragis. Pada 17 Desember 2023, rumahnya di Kamp Nuseirat menjadi sasaran serangan udara Israel.

Ia terluka parah dan kehilangan satu kakinya. Setelah berbulan-bulan berjuang melawan luka yang tak kunjung sembuh, Naghm akhirnya gugur.

Kisahnya menjadi satu dari sekian banyak cerita pilu yang menandai 75 tahun penindasan terhadap rakyat Palestina.

Rangkaian kekerasan terhadap atlet

Kisah Naghm bukanlah yang pertama. Dalam setiap perang di Gaza, para atlet kerap menjadi sasaran langsung serangan.

Dalam demonstrasi “Pawai Kepulangan Besar”, misalnya, pesepeda terkenal Alaa al-Dali ditembak oleh pasukan Israel hingga kakinya harus diamputasi.

Ia bukan satu-satunya. Sedikitnya 29 atlet lainnya terluka, banyak di antaranya kehilangan anggota tubuh.

Pada perang Gaza tahun 2014, pelatih sepak bola ternama Ahed Zaqout tewas akibat serangan udara, dan sebanyak 32 atlet syahid di tahun yang sama.

Sementara selama Intifada al-Aqsa, lebih dari 300 atlet Palestina kehilangan nyawa mereka.

Kejahatan yang terdokumentasi

Upaya awal untuk menelusuri dan mendokumentasikan kerusakan menunjukkan skala kehancuran luar biasa terhadap dunia olahraga di Gaza.

Hampir semua fasilitas olahraga hancur, dan para atlet dari berbagai cabang tak luput dari serangan.

Penelusuran dimulai dari cabang sepak bola, khususnya klub-klub peserta Liga Utama Gaza 2023, yang kala itu berjumlah 12 tim dari Beit Hanoun hingga Rafah.

Menelusuri laman resmi dan akun media sosial klub-klub tersebut, nyaris semua unggahan terbaru berisi kabar duka: pengumuman wafatnya para pemain, pelatih, dan staf teknis.

Hal yang sama terlihat di situs resmi Asosiasi Sepak Bola Palestina, di mana berita kematian dan penghormatan terakhir mendominasi seluruh halaman.

Di antara nama-nama yang menjadi korban, muncul sosok legendaris Suleiman al-Obeid, yang dijuluki “Pelé Palestina”.

Wafatnya menimbulkan keprihatinan luas, bukan hanya di Palestina, tetapi juga di dunia internasional, karena menyingkap wajah kekerasan yang menargetkan para atlet Gaza.

Menurut data terbaru dari asosiasi tersebut, lebih dari 774 atlet tewas akibat serangan Israel sejak perang dimulai, sebagian besar di antaranya masih anak-anak.

Israel juga menghancurkan 285 fasilitas olahraga, banyak di antaranya diratakan dengan tanah, dan sejumlah stadion diubah menjadi kamp penahanan dan penyiksaan.

Sementara data dari kantor media pemerintah di Gaza mencatat sedikit lebih tinggi: 894 atlet tewas dan 292 fasilitas—mulai dari stadion, gedung olahraga, hingga kantor administrasi—rusak berat.

Stadion dan lapangan yang musnah

Menelusuri satu per satu fasilitas olahraga di Gaza kini memperlihatkan pemandangan bencana total.

Banyak stadion dibom, lainnya digusur oleh buldoser militer, dan sebagian dijadikan tempat pengungsian atau pusat penahanan.

Dalam banyak kasus, warga yang kehilangan rumah terpaksa mendirikan tenda di lapangan yang dulunya menjadi tempat pertandingan sepak bola.

Foto satelit memperlihatkan betapa parah kerusakan itu.

Stadion Palestina

Stadion ini adalah yang terbesar dan paling terkenal di Gaza, dibangun pada 1999 dan mampu menampung 10.000 penonton.

Ia menjadi saksi pertandingan bersejarah antara tim nasional Palestina dan klub Zamalek Mesir pada tahun 2000, serta menjamu klub al-Wehdat Yordania pada turnamen Piala Super Asia.
Namun, citra satelit tertanggal 29 September 2025 memperlihatkan stadion itu telah berubah menjadi kamp pengungsian penuh tenda, setelah seluruh fasilitasnya hancur akibat pengeboman berturut-turut.

Stadion al-Yarmouk

Dibangun pada 1952, stadion ini merupakan salah satu yang tertua di Palestina dan berkapasitas 9.000 penonton.

Ia menjadi rumah bagi sejumlah klub besar Gaza dan tempat penyelenggaraan acara sosial dan budaya.

Kini, seluruh tribunnya runtuh, dan jejak sejarahnya selama 75 tahun lenyap. Lahan stadion pun kini menjadi lapangan pengungsian.

Sebelumnya, tentara Israel pernah mengubah stadion ini menjadi kamp penahanan massal, tempat ratusan warga Gaza ditahan dan diinterogasi.

Stadion di kawasan al-Sudaniya

Kawasan ini dulunya menjadi markas beberapa klub besar seperti Gaza Club dan al-Hilal Club.

Namun, citra satelit terbaru menunjukkan hilangnya seluruh struktur bangunan, menyisakan hamparan puing tanpa tanda kehidupan.

Stadion Beit Lahiya

Salah satu stadion terbesar di Gaza Utara, pernah menjadi tuan rumah pertandingan liga utama.

Namun sejak awal perang, stadion ini berkali-kali menjadi sasaran serangan hingga seluruh lapangan hijau lenyap.

Tak terlihat tanda adanya pengungsi di lokasi—menunjukkan bahwa daerah itu kini menjadi zona evakuasi total di bawah ancaman bom.

Stadion Beit Hanoun

Nasibnya serupa: hancur total bersama seluruh kota Beit Hanoun, yang kini hanya menyisakan reruntuhan.

Stadion kota Khan Younis

Di wilayah selatan, stadion kota Khan Younis menjadi saksi lain atas kekejaman perang. Saat pasukan Israel menggempur wilayah itu pada awal 2024, stadion digilas buldoser militer hingga rata dengan tanah.

Stadion Rafah

Didirikan tahun 1953 dan berkapasitas 5.000 penonton, stadion ini menjadi arena utama bagi klub-klub Rafah.

Dalam masa perang, stadion ini sempat digunakan sebagai pusat pengungsian, sebelum akhirnya dikosongkan ketika Israel melancarkan invasi darat ke kota tersebut.

Lapangan-lapangan kecil

Kehancuran tidak berhenti pada stadion besar. Ratusan lapangan kecil (futsal) yang tersebar di seluruh Gaza juga hancur. Banyak di antaranya kini menjadi tempat berlindung warga yang kehilangan rumah.

Menurut laporan Euro-Mediterranean Human Rights Monitor, sejak awal perang lebih dari 300 lapangan futsal hancur.

Lapangan-lapangan ini sebelumnya menjadi ruang rekreasi penting bagi anak muda Gaza.

Beberapa klub besar membangunnya sebagai sumber pendapatan tambahan. Bahkan ada yang dibangun di atap gedung, seperti yang dilakukan klub al-Sadaqah.

Fasilitas ini sempat memunculkan ekosistem baru olahraga rakyat: anak-anak, remaja, hingga orang dewasa bermain dan bertanding dalam turnamen resmi yang diselenggarakan di bawah naungan Asosiasi Sepak Bola Palestina.

Selain itu, 22 kolam renang dan 28 pusat kebugaran juga hancur atau rusak berat akibat serangan, padahal fasilitas-fasilitas itu sedang berkembang pesat di kalangan pemuda Gaza beberapa tahun terakhir.

Seruan dunia

Rangkaian kejahatan selama dua tahun terakhir itu mendorong munculnya seruan global untuk menyingkirkan Israel dari seluruh ajang olahraga internasional.

Di berbagai stadion di Eropa dan Amerika Latin, para suporter mengibarkan spanduk bertuliskan “Kartu Merah untuk Israel”, menyerukan pemboikotan terhadap klub, asosiasi, dan sponsor olahraga yang berhubungan dengan negara tersebut.

Beberapa minggu terakhir, muncul kampanye aktif di sepak bola Eropa untuk menuntut penghentian keikutsertaan Israel.

Menurut laporan media Israel sendiri, sejumlah asosiasi olahraga di Eropa tengah mendorong langkah itu.

Gerakan ini didukung oleh laporan para pakar PBB yang dirilis pada 23 September 2025, yang secara eksplisit mendesak FIFA dan UEFA untuk menangguhkan Israel dari keanggotaan.

Laporan itu menegaskan bahwa olahraga tidak boleh “berjalan seolah tidak ada genosida yang sedang berlangsung”.

Di media sosial, dukungan terhadap gerakan tersebut meluas. Ribuan pengguna menyoroti tanggung jawab moral organisasi olahraga internasional yang selama dua tahun ini tetap diam di tengah pembunuhan terhadap warga sipil dan atlet.

Kelompok atlet internasional Athletes 4 Peace yang diikuti bintang sepak bola seperti Paul Pogba dan Hakim Ziyech, mengeluarkan pernyataan menuntut penghentian partisipasi Israel sampai negara itu mematuhi hukum internasional.

“Sebagai atlet profesional dari berbagai latar belakang dan keyakinan. Kami percaya bahwa olahraga harus berpegang pada prinsip keadilan dan kemanusiaan. Dunia olahraga tidak boleh bungkam saat ribuan warga sipil—termasuk atlet dan anak-anak—dibantai di Gaza. Organisasi olahraga wajib bertindak terhadap tim yang mewakili negara pelaku genosida,” demikian bunyi pernyataan itu.

Sikap FIFA dan UEFA

Namun, respons lembaga olahraga dunia masih jauh dari harapan. Pada 2 Oktober 2025, Presiden FIFA Gianni Infantino menyatakan bahwa olahraga “tidak dapat menyelesaikan konflik geopolitik”.

Pernyataan serupa datang dari Presiden UEFA Aleksander Čeferin, yang hanya mengungkapkan “rasa sedih” atas penderitaan warga sipil di Gaza, namun menolak menjatuhkan sanksi terhadap tim dan pemain Israel, dengan alasan “para atlet tidak bertanggung jawab atas keputusan politik pemerintah mereka”.

UEFA juga belum memberikan penjelasan mengapa Israel dibiarkan tetap bermain, sementara Rusia dihentikan dari seluruh kompetisi hanya beberapa hari setelah invasi ke Ukraina dimulai.

Meskipun ada tekanan kuat dari sejumlah federasi nasional di Eropa, tidak ada tanda bahwa UEFA akan segera menggelar pemungutan suara mengenai status Israel.

Jika ditelusuri lebih jauh, pola ini bukan hal baru. Sejak awal pendudukan, Israel telah secara sistematis mengekang perkembangan olahraga Palestina: melarang pergerakan atlet, menolak izin ke luar negeri, menahan dan membunuh para pemain berprestasi.

Kini, setelah dua tahun genosida di Gaza, kehancuran itu mencapai puncaknya—stadion rata dengan tanah, ribuan atlet tewas, dan mimpi generasi muda Gaza terputus.

Namun di tengah reruntuhan itu, tetap hidup keyakinan bahwa olahraga, sebagaimana hidup itu sendiri, tidak akan pernah sepenuhnya padam di tanah Palestina.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler