Pada 7 Oktober 2023, Menteri Pertahanan Israel saat itu, Yoav Gallant, akhirnya mengungkapkan untuk pertama kalinya bahwa pasukan Israel diberi perintah untuk menembak mati warga sipil Israel yang menjadi sandera.
Perintah tersebut mengacu pada doktrin militer yang dikenal dengan nama “Hannibal Directive”, yang diterapkan secara taktis di beberapa wilayah dekat Gaza.
Gallant menjelaskan dalam wawancara dengan Channel 12 bahwa perintah ini diterapkan secara tidak merata, yang menurutnya menjadi masalah tersendiri.
“Saya pikir secara taktis di beberapa tempat (Hannibal Directive diizinkan), di tempat lain tidak, dan itu menjadi masalah,” katanya kepada Channel 12
Dalam wawancara itu, jurnalis Amit Segal menegaskan bahwa menurut Hannibal Directive, pasukan Israel memang diperintahkan untuk menembak mati jika ada kendaraan yang mengangkut sandera Israel. Gallant tidak membantah hal tersebut.
Perintah ini, yang berlaku di seluruh wilayah pada siang hari tanggal 7 Oktober, meski berarti membahayakan nyawa warga sipil, termasuk para sandera itu sendiri, diungkapkan oleh surat kabar Israel, Yediot Ahronot, pada Januari 2024.
Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa perintah untuk “tidak ada kendaraan yang boleh kembali ke Gaza” dikeluarkan oleh Komando Divisi Gaza militer Israel pada pukul 11:22 pagi pada hari itu.
Pengakuan Gallant ini sangat penting karena merupakan yang pertama kali disampaikan secara terbuka oleh seorang pejabat tinggi Israel mengenai perintah untuk menembak rakyat mereka sendiri pada 7 Oktober 2023.
Doktrin Hannibal, yang pertama kali diterapkan secara rahasia oleh para jenderal Israel pada tahun 1980-an, pada mulanya memperbolehkan pasukan Israel untuk menembak pasukan mereka sendiri yang baru saja ditangkap oleh pejuang Palestina atau kelompok pejuang Arab lainnya.
Pada 7 Oktober 2023, dalam serangan besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya, pejuang Palestina berhasil merebut kembali wilayah yang pernah hilang pada 1948 di dekat Gaza. Sekitar 250 tentara dan warga sipil Israel ditangkap oleh Hamas dan kelompok pejuang Palestina lainnya dalam operasi yang mereka sebut sebagai Operasi Al Aqsa Flood.
Sebagai respons, Israel mengaktifkan kembali doktrin Hannibal, yang kali ini mencakup warga sipil Israel, bukan hanya tentara. Serangan besar-besaran menggunakan helikopter, drone, tank, dan pasukan darat Israel dilakukan dengan tujuan menghentikan pejuang Palestina yang berusaha membawa sandera Israel untuk ditukar dengan tahanan Palestina.
Sekitar 1.100 orang Israel tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun masih belum jelas berapa banyak yang terbunuh akibat tembakan dari pasukan Israel atau akibat serangan pejuang Palestina.
Satu tahun setelah kejadian itu, investigasi dari The Electronic Intifada menemukan bahwa setidaknya “ratusan” orang tewas akibat serangan Israel.
Angka resmi yang dipublikasikan bulan lalu menunjukkan bahwa Angkatan Udara Israel menembakkan 11.000 peluru, menjatuhkan lebih dari 500 bom berat seberat satu ton, dan meluncurkan 180 roket selama pertempuran pada 7 Oktober.
Sementara itu, sebuah penyelidikan independen dari PBB tahun lalu mengkritik Israel yang menutup akses bagi mereka untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang kejadian tersebut.