Wednesday, November 19, 2025
HomeBeritaEXPLAINER - Lima pertanyaan soal keputusan DK PBB tentang Gaza

EXPLAINER – Lima pertanyaan soal keputusan DK PBB tentang Gaza

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya mengesahkan rancangan resolusi Amerika Serikat (AS) yang telah direvisi mengenai Gaza, Senin malam waktu New York.

Resolusi tersebut menyatakan dukungan atas rencana Presiden AS, Donald Trump untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza, sekaligus menyerukan pelaksanaannya secara penuh serta menjaga keberlanjutan gencatan senjata.

Sebanyak 13 negara anggota Dewan Keamanan mendukung resolusi itu, sementara Rusia dan Tiongkok memilih abstain tanpa menggunakan hak veto.

Berikut uraian rinci mengenai inti resolusi, dinamika pemungutan suara, dan respons berbagai pihak.

  1. Apa saja poin utama dalam rancangan AS yang diadopsi Dewan Keamanan?

Resolusi bernomor 2803 itu menjadi kerangka administrasi dan keamanan pascagencatan senjata di Gaza, terutama terkait pembentukan Dewan Perdamaian dan pendirian kekuatan internasional sementara.

Poin-poin penting resolusi meliputi:

  • Dewan Keamanan mengadopsi “rencana komprehensif mengakhiri konflik Gaza”, yakni rencana Trump yang terdiri dari 20 poin dan diumumkan pada 29 September 2025.

Resolusi menyerukan seluruh pihak untuk melaksanakan rencana tersebut tanpa penundaan demi menjaga gencatan senjata.

  • Resolusi menyambut pembentukan Dewan Perdamaian sebagai otoritas administrasi transisi dengan kepribadian hukum internasional untuk mengawasi rekonstruksi Gaza hingga reformasi Otoritas Palestina selesai.

Resolusi menegaskan bahwa kerja dewan harus selaras dengan prinsip hukum internasional.

  • Disebutkan pula bahwa kemajuan rekonstruksi dan perampungan reformasi Otoritas Palestina dapat membuka jalan menuju penentuan nasib sendiri dan negara Palestina, dengan dorongan dialog politik baru yang difasilitasi AS.
  • Dewan Keamanan menekankan perlunya memulai kembali masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza dengan bekerja sama bersama Dewan Perdamaian, serta memastikan penggunaannya terbatas bagi tujuan damai.
  • Negara-negara peserta dan Dewan Perdamaian diberi kewenangan membentuk badan-badan operasional berotoritas internasional untuk mengelola pemerintahan transisi, rekonstruksi, layanan publik, bantuan kemanusiaan, serta pengaturan keluar-masuk Gaza.
  • Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional didorong untuk mendukung rekonstruksi Gaza, termasuk pembentukan dana khusus.
  • Resolusi mengizinkan pembentukan Kekuatan Stabilitas Internasional Sementara dengan komando terpadu yang diterima Dewan Perdamaian serta berkoordinasi dengan Mesir dan Israel.

Kekuatan ini diberi mandat menggunakan “segala tindakan yang diperlukan” sesuai hukum internasional.

  • Kekuatan tersebut diberi tugas melakukan perlucutan senjata di Gaza, melindungi warga sipil, melatih polisi Palestina, dan mengamankan jalur-jalur kemanusiaan.
  • Kekuatan internasional juga bertugas membantu Dewan Perdamaian memantau pelaksanaan gencatan senjata dan menyusun pengaturan tambahan yang diperlukan agar rencana komprehensif dapat berjalan.
  • Israel diwajibkan menarik pasukan secara bertahap menurut standar dan jadwal yang disepakati.
  • Mandat Dewan Perdamaian beserta keberadaan sipil dan keamanan internasional ditetapkan berakhir pada 31 Desember 2027, kecuali Dewan Keamanan memutuskan lain.
  • Negara dan organisasi internasional didorong memberikan dukungan finansial dan logistik bagi Dewan Perdamaian dan kekuatan internasional. Dewan diwajibkan melapor setiap enam bulan sekali.
  1. Bagaimana pola pemungutan suara dan apakah ada keberatan?

Dari 15 anggota Dewan Keamanan, 13 negara memberikan suara setuju. Rusia dan Tiongkok memilih abstain. Meski demikian, keduanya tetap menyampaikan kritik tajam.

Utusan Rusia, Vasily Nebenzya, menyatakan negaranya tidak dapat mendukung resolusi yang tidak menegaskan solusi dua negara.

Menurut dia, ini bukan isu teoritis, tetapi persoalan praktis, terlebih ketika para pemimpin Israel secara terbuka menyatakan penolakan mereka terhadap pendirian negara Palestina.

Nebenzya juga mengkritik kewenangan luas Dewan Perdamaian dan kekuatan internasional yang menurutnya dapat bertindak “tanpa mempertimbangkan posisi Otoritas Palestina”.

Hal itu, ujarnya, berpotensi memperdalam pemisahan Gaza dari Tepi Barat, mengingatkan pada praktik kolonialisme masa mandat Inggris ketika suara rakyat Palestina diabaikan.

Ia mempertanyakan pula mandat kekuatan internasional yang, menurut Rusia, bergeser dari konsep awal dan justru dapat menyeret pasukan internasional menjadi pihak dalam konflik.

Sementara itu, Duta Besar Tiongkok Fu Cong mengatakan bahwa pengaturan pemerintahan Gaza dalam resolusi justru mengesampingkan peran Palestina sendiri.

Ia menilai prinsip kedaulatan dan kepemilikan rakyat Palestina tidak tergambar dengan jelas.

Fu menambahkan bahwa absennya penegasan eksplisit mengenai komitmen atas solusi dua negara merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan.

Menurut dia, suara dan kehendak rakyat Palestina harus dihormati, dan Otoritas Palestina mesti diberi ruang sentral dalam masa pascaperang.

Ia menyesalkan tidak adanya peran langsung PBB dalam rancangan tersebut, padahal lembaga itu berpengalaman dalam rekonstruksi pascakonflik.

  1. Bagaimana tanggapan pihak Palestina dan Israel terhadap resolusi ini?

Otoritas Palestina menyambut baik adopsi resolusi tersebut. Dalam pernyataannya, Otoritas Palestina menegaskan kesiapan penuh untuk menjalankan tanggung jawab dan berkolaborasi dengan AS, negara-negara anggota Dewan Keamanan, negara Arab dan Muslim, serta PBB.

Mereka menekankan pentingnya segera melaksanakan resolusi demi memulihkan kehidupan normal di Gaza, melindungi warga dari upaya pengusiran, memastikan penarikan total Israel, memulai rekonstruksi, serta menghentikan praktik yang menggerus peluang solusi 2 negara.

Sebaliknya, Hamas mengecam resolusi itu. Menurut Hamas, resolusi tersebut tidak memenuhi tuntutan politik maupun kemanusiaan rakyat Palestina.

Hamas menilai resolusi justru memberlakukan mekanisme “perwalian internasional” atas Gaza—sesuatu yang secara tegas ditolak rakyat dan faksi-faksi Palestina.

Resolusi itu, menurut Hamas, mencoba melaksanakan agenda yang gagal dicapai Israel melalui perang.

Hamas menyatakan bahwa tugas perlucutan senjata yang diserahkan kepada kekuatan internasional menempatkan pasukan tersebut pada posisi tidak netral dan menjadikan mereka bagian dari konflik.

Gerakan Jihad Islam juga menyampaikan penolakan serupa. Mereka menilai keputusan itu menjadi instrumen tekanan politik dan membuka jalan bagi kekuasaan asing atas Gaza tanpa persetujuan rakyatnya.

Kelompok ini menegaskan senjata perlawanan adalah hak yang dijamin hukum internasional dan tidak boleh dijadikan objek tekanan.

Faksi-faksi Palestina lainnya sebelumnya juga telah memperingatkan bahwa resolusi semacam itu berpotensi memaksakan dominantasi eksternal atas Gaza dan menggerus kedaulatan politik rakyat Palestina.

Di Israel, reaksi atas resolusi ini menunjukkan perpecahan. Pemimpin partai Yisrael Beiteinu, Avigdor Liberman, menyebut keputusan semalam sebagai “buah dari kegagalan pemerintah”.

Ia menilai resolusi tersebut menghadirkan negara Palestina, membuka pintu bagi senjata nuklir Saudi, serta mempercepat akses jet tempur siluman bagi Turki dan Saudi—yang menurutnya mengancam keamanan Israel.

Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, menegaskan bahwa perlucutan senjata Hamas adalah syarat mutlak dalam resolusi itu.

Ia menyatakan tidak mungkin membayangkan masa depan Gaza selama Hamas masih memiliki kemampuan militer.

  1. Apa peran AS dalam penyusunan dan pengesahan resolusi?

Amerika Serikat menjadi motor utama penyusunan resolusi. Selama beberapa minggu terakhir, Washington merumuskan rancangan tersebut berdasarkan rencana Trump yang berisi 20 butir untuk menghentikan perang dan membentuk kekuatan internasional yang akan mengambil alih posisi militer Israel di Gaza.

AS melakukan tiga kali revisi terhadap rancangan sebelum akhirnya diajukan untuk pemungutan suara Senin malam.

Resolusi ini dipandang sebagai rumusan paling jelas dari konsep “hari berikutnya” di Gaza setelah dua tahun perang yang mematikan.

  1. Bagaimana dampak potensial resolusi ini terhadap jalannya perang?

Secara teoretis, resolusi tersebut bertujuan memperkuat gencatan senjata, memperlonggar pembatasan atas bantuan kemanusiaan, dan membuka jalur menuju pendirian negara Palestina—meski hanya dalam ruang yang sempit.

Namun, hambatan implementasi sangat besar. Faksi-faksi perlawanan Palestina menyatakan berkali-kali bahwa mereka tidak akan menyerahkan senjata kecuali negara Palestina berdiri dan pendudukan berakhir.

Di sisi lain, sebagian elite politik Israel juga menolak gagasan negara Palestina.

Media Israel seperti Yedioth Ahronoth dan kanal 13 sebelumnya melaporkan adanya pasal-pasal dalam rencana Trump yang dianggap tidak nyaman bagi Tel Aviv.

Selain itu juga masih adanya perbedaan serius antara Israel dan AS terkait pelaksanaan kesepakatan tersebut.

Dengan demikian, meskipun resolusi telah disahkan, masa depan Gaza tetap berada dalam pusaran ketidakpastian politik, keamanan, dan regional yang amat kompleks.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler