Harapan akan berakhirnya perang di Jalur Gaza kembali mencuat pada Senin (26/5) pagi waktu setempat, setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyampaikan pernyataan yang menyiratkan kabar baik terkait upaya perdamaian di wilayah tersebut.
Beberapa jam setelah itu, sejumlah media internasional, termasuk Al Jazeera dan kantor berita Reuters, melaporkan bahwa Hamas telah menyetujui usulan gencatan senjata yang disampaikan oleh AS. Usulan itu mencakup penghentian sementara serangan selama 60 hari.
Namun, situasi segera berubah menjadi tidak pasti. Pemerintah Israel mengeluarkan pernyataan yang membantah telah menerima atau menyetujui usulan tersebut.
Sementara itu, utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steven Witkoff, menyatakan bahwa dirinya telah menyampaikan proposal yang diyakini akan diterima Israel, dan Hamas “harus menerima” usulan tersebut.
Berikut adalah lima pertanyaan utama terkait perkembangan terbaru dari negosiasi gencatan senjata itu.
- Apa yang terjadi dalam negosiasi kemarin?
Menurut sumber Al Jazeera yang mengetahui jalannya perundingan, Wietkoff menawarkan kepada Hamas sebuah rencana yang berisi penghentian sementara operasi militer selama 60 hari.
Pada hari pertama masa gencatan senjata, lima tawanan Israel akan dibebaskan oleh Hamas. Lima lainnya dijadwalkan bebas pada hari ke-60.
Proposal yang bocor ke media itu juga menyebut bahwa Presiden Trump menjamin diberlakukannya gencatan senjata selama 2 bulan penuh serta penarikan pasukan Israel sesuai kesepakatan yang dicapai pada Januari lalu.
Usulan Wietkoff juga mencakup pembebasan tahanan Palestina dari penjara Israel, pemberian akses bantuan kemanusiaan tanpa syarat sejak hari pertama gencatan senjata.
Selain itu, dimulainya perundingan lanjutan untuk mencapai penghentian perang secara permanen.
- Bagaimana sikap Hamas?
Sumber yang sama menyebutkan bahwa Hamas telah memberikan persetujuan atas proposal dari AS.
Walau gencatan senjata yang diusulkan bersifat sementara, isi kesepakatan mencantumkan komitmen untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya negosiasi damai jangka panjang.
Kesepakatan ini juga tidak membuat Hamas kehilangan posisi tawar. Kelompok itu tetap menahan separuh dari tawanan Israel yang masih hidup, serta sejumlah jenazah serdadu Israel yang terbunuh dalam pertempuran.
Dalam pernyataan terpisah kepada Al Jazeera, seorang sumber dekat Hamas menjelaskan bahwa proposal itu mencakup masuknya bantuan kemanusiaan dalam skala penuh.
Yaitu 1.000 truk per hari, serta penarikan pasukan Israel dari wilayah timur, utara, dan selatan Gaza pada hari kelima gencatan senjata.
Sumber tersebut menambahkan, ada jaminan dari AS bahwa mereka akan memimpin negosiasi serius untuk menghentikan perang secara menyeluruh, dan menjamin tidak akan terjadi serangan militer kembali bila pembicaraan mengalami kebuntuan selama periode gencatan senjata.
Menurut laporan lembaga penyiaran publik Israel, Hamas juga meminta adanya jaminan nyata dari pemerintah AS agar perang benar-benar dihentikan.
Pengamat politik Palestina, Ibrahim al-Madhoun, kepada Al Jazeera mengatakan bahwa keputusan Hamas menerima inisiatif Witkoff bukanlah langkah mudah.
Setelah puluhan ribu korban jiwa dan kehancuran luas di Gaza, kelompok itu melihat momen ini sebagai titik krusial untuk menghentikan pembantaian yang telah berlangsung hampir 600 hari, di tengah kegagalan komunitas internasional melindungi rakyat Palestina.
- Apa respons dari Israel?
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu—yang saat ini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang dan genosida—menyatakan bahwa pembebasan tawanan di Gaza merupakan prioritas utama pemerintahnya.
Ia mengaku berharap bisa segera mengumumkan kabar baik terkait hal itu pada Senin atau Selasa (hari ini, Rabu waktu setempat).
Namun, pernyataan itu segera diluruskan oleh kantornya, yang menegaskan bahwa Netanyahu tidak menjanjikan adanya pengumuman pada hari-hari tersebut.
Melainkan hanya mengacu pada upaya yang sedang berlangsung untuk mencapai kesepakatan.
Media Israel kemudian melaporkan bahwa proposal dari Wietkoff sudah disampaikan ke Pemerintah Israel dan kini tengah menanti keputusan akhir dari kabinet Netanyahu.
Kendati demikian, lembaga penyiaran publik Israel menyebut bahwa tidak ada indikasi kemajuan dalam perundingan, dan sumber mereka tidak memahami maksud dari ucapan Netanyahu sebelumnya.
Keraguan pun kembali menyelimuti posisi Israel. Seorang pejabat Israel kemudian mengatakan bahwa tidak ada “pemerintah yang bertanggung jawab” yang bisa menerima proposal dari Hamas terkait gencatan senjata.
Sebagai sinyal lanjutan bahwa Israel belum sepenuhnya membuka diri terhadap negosiasi, lembaga penyiaran resmi Israel melaporkan bahwa pemerintah telah menyetujui pengerahan 450.000 tentara cadangan tambahan.
- Mengapa Israel menunjukkan sikap keras kepala?
Keengganan Israel menerima gencatan senjata jangka panjang dinilai bukan semata karena pertimbangan strategis militer, melainkan lebih pada dinamika politik internal yang rapuh dalam pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Menurut pengamat, tercapainya kesepakatan damai berpotensi meretakkan bahkan menjatuhkan kabinet Netanyahu.
Dua menteri paling ekstrem dalam pemerintahannya—Itamar Ben Gvir dan Bezalel Smotrich—secara terbuka mensyaratkan keberadaan mereka dalam koalisi penguasa dengan kelanjutan pendudukan Jalur Gaza dan memperparah penderitaan rakyat Palestina melalui blokade dan kelangkaan kebutuhan pokok.
Dalam berbagai putaran negosiasi sebelumnya, Netanyahu kerap terlihat tak mampu membebaskan diri dari tekanan keduanya.
Bila Smotrich dan Ben Gvir menarik dukungan, koalisi akan runtuh dan Israel bisa menuju pemilu baru.
Bersamaan dengan bocornya proposal gencatan senjata dari AS, Smotrich kembali menyerukan pendudukan penuh atas Jalur Gaza serta pembangunan ulang permukiman ilegal Yahudi.
Seruan itu ia sampaikan dalam peringatan peristiwa pendudukan Yerusalem Timur, yang dirayakan oleh kalangan ekstremis Israel, Senin lalu.
Namun, tekanan dari para menteri ultranasionalis bukanlah satu-satunya alasan Netanyahu bersikap keras.
Ada pula kekhawatiran besar akan “hari setelah perang” di dalam negeri Israel sendiri.
Pertama, berakhirnya perang berarti habis pula dalih untuk menunda penyelidikan menyeluruh atas peristiwa 7 Oktober—operasi militer besar Hamas bertajuk “Badai Al-Aqsha”—yang membuka kelemahan mendasar dalam sistem pertahanan Israel.
Investigasi ini dikhawatirkan akan menyeret Netanyahu sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Kedua, berakhirnya konflik membuat Netanyahu sulit terus-menerus berlindung di balik alasan “rapat keamanan nasional” untuk menghindari proses peradilan atas berbagai kasus korupsi yang menjeratnya.
Ketiga, kombinasi dari semua faktor itu bisa mengarah pada hukuman penjara bagi Netanyahu.
Kalaupun tidak, setidaknya hal itu akan memaksa dirinya keluar dari panggung politik Israel.
Belum lagi, Mahkamah Pidana Internasional saat ini sedang memburu Netanyahu atas tuduhan kejahatan perang dan genosida di Gaza—yang dapat membatasi kebebasannya bepergian ke luar negeri.
- Akankah Amerika tekan Israel dan adakah peluang tercapainya kesepakatan?
Sejumlah pengamat politik menilai bahwa Presiden AS Donald Trump kini lebih fokus merancang ulang peta aliansi dan kepentingan negaranya di Timur Tengah dengan cara yang lebih pragmatis dan tidak sepenuhnya mengikuti garis kebijakan Netanyahu.
Tanpa melibatkan Israel, Trump sebelumnya telah menjalin kesepakatan langsung dengan kelompok Houthi di Yaman.
Langkah ini secara efektif mengurangi beban politik dan logistik AS dalam konflik Laut Merah dan membiarkan Israel sendirian dalam menghadapi ketegangan di front Yaman.
Trump juga diketahui tengah membuka kanal diplomatik dengan Iran.
Ia berulang kali menyatakan keinginan untuk mencapai kesepakatan damai terkait program nuklir Teheran, bahkan menyebut harapannya agar Iran bisa berkembang secara ekonomi—selama negara itu tidak membuat senjata nuklir.
Sebaliknya, Israel tetap memilih jalur konfrontasi militer terhadap Iran, menghendaki serangan udara, mempertahankan sanksi internasional, serta menginginkan pembongkaran total atas fasilitas nuklir dan program rudal Teheran.
Dalam hal Hamas pun, pendekatan Trump tampak berbeda. Pemerintahannya telah membuka jalur komunikasi langsung dengan kelompok itu, antara lain untuk membahas nasib tawanan Israel, Edan Alexander.
Para perunding AS menyebut pragmatisme dan keseriusan Hamas dalam negosiasi menjadi sorotan positif di mata Washington.
Media Israel melaporkan bahwa AS saat ini tengah meningkatkan tekanan diplomatik agar tercapai kesepakatan di Gaza, di tengah tanda-tanda perubahan sikap dari Hamas yang disebut “lebih fleksibel” dalam kemungkinan menerima kesepakatan parsial.
Dalam artikel opini di Haaretz, akademisi dan analis politik Israel, Eran Yashiv, menilai bahwa hubungan Netanyahu dan Trump kini berada di titik nadir.
Ia menulis bahwa Trump bahkan tampak siap mengambil langkah untuk menyingkirkan Netanyahu.
Menurut Yashiv, mantan presiden AS itu memandang Israel sebagai “investasi” dan kini tidak tertarik lagi menyuntikkan dana ke proyek-proyek yang tidak menguntungkan secara langsung bagi AS atau keluarganya.
Tahun lalu saja, Israel menerima bantuan militer AS sebesar 18 miliar dollar AS.
“Trump tidak ingin terus mengucurkan dana ke Ukraina atau Israel. Ia tidak melihat eskalasi konflik di Timur Tengah sebagai bagian dari agenda utamanya. Justru sebaliknya, ia lebih memilih menjalin kesepakatan ekonomi yang bisa membawa keuntungan pribadi dan keluarga, seperti yang pernah terjadi dalam Perjanjian Abraham. Bagi Trump, Netanyahu adalah penghalang dari agenda itu,” tulis Yashiv.
Di tengah meningkatnya seruan internasional, terutama dari Eropa, agar Israel dihukum atas aksi genosida di Gaza, tidak tertutup kemungkinan bahwa tekanan dari Trump akan terus berlanjut agar pemerintah Netanyahu menyetujui kesepakatan gencatan senjata jangka panjang dengan Hamas.
Ibrahim al-Madhoun menambahkan bahwa Hamas berupaya keras mendapatkan komitmen pribadi dari Presiden Trump.
Karena diyakini hanya Trump yang memiliki pengaruh langsung dan mampu menekan Netanyahu agar menghentikan perang yang telah menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina.