Dalam eskalasi militer terbaru di Gaza, serangkaian operasi penyergapan yang dilancarkan oleh kelompok perlawanan Palestina, khususnya Brigade Izzuddin al-Qassam (sayap militer Hamas), mulai membentuk peta baru konfrontasi di lapangan.
Menurut analis militer dan strategis Brigadir Jenderal Elias Hanna, taktik ini menjadi indikator perubahan besar dalam dinamika konflik.
Khususnya jika Israel benar-benar memutuskan untuk memperluas operasi daratnya ke dalam wilayah Gaza.
Dalam wawancara di segmen analisis militer Al Jazeera, Hanna menyatakan bahwa strategi serangan gerilya—yang sempat berhenti cukup lama—kembali muncul sebagai reaksi atas apa yang ia sebut sebagai strategi “penggerusan bertahap” oleh militer Israel.
Ia menilai bahwa skema penyergapan yang kini kembali dilakukan oleh perlawanan Palestina mengindikasikan kesiapan mereka membentuk “aturan permainan baru” di Gaza.
Pada Senin, Brigade al-Qassam mengumumkan pelaksanaan penyergapan kompleks di Khan Younis, Gaza Selatan.
Penyergapan menargetkan unit teknik Israel dengan peluru anti-personel, dilanjutkan dengan kontak senjata langsung.
Selain itu, dua tank dan satu buldoser militer Israel juga dihantam menggunakan roket “Yasin 105” di dekat pagar pemisah timur kota.
Penyergapan ini menyusul operasi serupa sehari sebelumnya di Rafah yang melibatkan tiga rangkaian serangan gabungan.
Hanna memperkirakan bahwa Israel kemungkinan besar telah membuat keputusan untuk melakukan operasi militer berskala besar, termasuk mobilisasi pasukan cadangan.
Dalam kondisi seperti itu, kata dia, perlawanan Palestina akan mengadopsi pola “hit and run” dan taktik gerilya demi menguras stamina dan moral pasukan pendudukan.
Menurut Hanna, kekuatan utama perlawanan Gaza bukan semata pada persenjataan, melainkan pada kemampuan menembus wilayah-wilayah yang selama ini dianggap aman oleh Israel, baik di utara (Beit Hanoun) maupun selatan (Rafah).
Keberhasilan menjalankan operasi dan mundur secara aman adalah sinyal keberhasilan strategi militer non-konvensional.
Kelemahan pendudukan
Di sisi lain, ia mencatat bahwa keberadaan “zona penyangga” yang coba ditegakkan Israel di sepanjang perbatasan menunjukkan keterbatasan kontrol Israel di wilayah tersebut.
Jalur sepanjang lebih dari satu kilometer ke dalam Gaza masih menyimpan celah kerentanan yang dimanfaatkan dengan baik oleh pejuang Hamas.
Elias Hanna juga menyoroti ketergantungan Israel pada buldoser lapis baja D9 dalam operasi militer, seperti yang terlihat sebelumnya di Gaza maupun Lebanon.
Meskipun dilindungi oleh tank, kendaraan ini telah menjadi sasaran prioritas dalam serangan Hamas, yang memanfaatkannya sebagai “bank target” strategis, khususnya dengan peluru kendali seperti Yasin 105.
Ia mengungkapkan bahwa buldoser D9 biasanya beroperasi bersama unit “Yahalom”, tim elit Israel yang bertugas memburu dan menghancurkan terowongan serta ranjau.
Ini, menurut Hanna, mencerminkan bahwa Israel sedang dalam tahap memetakan dan membersihkan medan jelang ofensif yang lebih besar.
Hanna memperkirakan bahwa Israel tengah mempersiapkan operasi militer besar-besaran yang kemungkinan akan dimulai setelah kunjungan Presiden AS Donald Trump ke kawasan pada pertengahan bulan ini.
Aktivitas militer saat ini, menurutnya, bertujuan membuka jalur logistik dan menetralkan ranjau di area yang akan dilalui pasukan darat.
Dalam memetakan skenario ke depan, Hanna menduga bahwa Israel akan meluncurkan serangan udara besar-besaran sebagai pembuka sebelum meluncurkan manuver darat skala penuh.
Namun, ia meyakini bahwa kelompok perlawanan tidak akan langsung meladeni benturan frontal karena dominasi daya tembak Israel yang jauh lebih besar.
Sebaliknya, ia menyebut bahwa strategi perlawanan akan bergerak dari “statik ke dinamis”, dari posisi bertahan ke pola serangan aktif.
Perlawanan melancarkan rangkaian operasi penyergapan dan serangan gerilya terfokus untuk menguras kekuatan dan moral musuh secara perlahan namun konsisten.