Friday, October 17, 2025
HomeBeritaHaaretz: Rencana Trump Berpotensi Legitimasi Hamas di Gaza

Haaretz: Rencana Trump Berpotensi Legitimasi Hamas di Gaza

Ia menilai situasi ini mirip dengan yang terjadi di Lebanon, Suriah, dan Irak, di mana kelompok bersenjata tetap eksis berdampingan dengan pemerintah resmi

Analis senior Haaretz, Zvi Bar’el, menilai rencana damai Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk Gaza berpotensi melegitimasi peran Hamas sebagai kekuatan keamanan internal di wilayah tersebut, meski secara resmi Amerika belum mengakui organisasi itu secara politik.

Dalam opininya berjudul “Without a Viable Governing Alternative, Trump’s Peace Plan May Legitimize Hamas in Gaza”, Bar’el menyoroti serangkaian pernyataan Trump yang menunjukkan adanya persetujuan terbatas bagi Hamas untuk beroperasi menjaga keamanan di Gaza.

Trump mengklaim sempat berbicara dengan Hamas mengenai rencana perlucutan senjata. “Saya berbicara dengan Hamas dan saya berkata, kalian akan melucuti senjata, kan? Mereka bilang ‘ya, Pak,’” kata Trump dalam pertemuan dengan Presiden Argentina Javier Milei.

Namun, ia kemudian menyangkal telah berbicara langsung dengan Hamas dan menegaskan, “Jika mereka tidak melucuti senjata, kami akan melucuti mereka — cepat, dan mungkin dengan kekerasan.”

Meski demikian, dalam percakapan lain dengan jurnalis di pesawat kepresidenan, Trump mengaku telah memberi izin kepada Hamas untuk bertindak sebagai pasukan keamanan internal di Gaza.

“Mereka ingin menghentikan kekacauan, dan kami memberi mereka izin untuk jangka waktu tertentu,” ujar Trump, dengan alasan menjaga keamanan dua juta penduduk yang kembali ke wilayah yang hancur akibat perang.

Bar’el menulis bahwa izin tersebut secara de facto memberikan legitimasi kepada Hamas untuk mengendalikan keamanan di Gaza, meski secara formal organisasi itu tidak menjadi bagian dari pemerintahan sipil.

Ia menilai situasi ini mirip dengan yang terjadi di Lebanon, Suriah, dan Irak, di mana kelompok bersenjata tetap eksis berdampingan dengan pemerintah resmi.

Menurutnya, skenario yang terbentuk “bisa menyerupai Lebanon, Suriah, dan Irak,” di mana milisi seperti Hizbullah atau kelompok Syiah Irak tetap memiliki senjata dan wilayah operasi meski ada kesepakatan perlucutan senjata.

Bar’el juga menyoroti ketidakkonsistenan kebijakan Trump, yang di satu sisi menyatakan perang telah berakhir, namun di sisi lain mengancam akan melucuti Hamas dengan kekerasan jika kelompok itu tidak menyerahkan senjata.

“Antara dua ekstrem itu, bisa saja muncul skenario seperti di Lebanon atau Irak — di mana milisi bersenjata menjadi bagian dari sistem politik dan keamanan nasional,” tulisnya.

Bar’el menyebut tidak ada pemerintahan yang berdaulat di Gaza pascaperang, dan belum ada jadwal pasti pembentukan Gaza International Transitional Authority yang disebut akan dipimpin mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.

Ia menambahkan, bahkan pasukan stabilisasi internasional yang direncanakan belum bisa masuk ke Gaza tanpa kesepakatan dengan Hamas.

Bar’el mengingatkan bahwa AS dan negara-negara mediasi pada akhirnya mungkin harus bernegosiasi langsung dengan Hamas, sebagaimana telah terjadi sebelumnya ketika utusan Trump seperti Adam Boehler, Steve Witkoff, dan Jared Kushner dilaporkan melakukan pertemuan dengan pejabat Hamas di Doha dan Kairo.

“Pemberian izin bagi Hamas untuk menggunakan kekuatan demi menjaga keamanan, meski hanya sementara, telah menjadikan organisasi itu bagian dari administrasi Gaza secara nyata,” tulis Bar’el.

Ia menilai, seperti halnya perjanjian AS dengan Taliban di Afghanistan atau pengakuan terhadap milisi di Suriah, Trump mungkin akan memandang Hamas sebagai “organisasi yang pantas” selama kelompok itu bersedia menurunkan senjata.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler