Gerakan Hamas mengajukan gugatan hukum terhadap pemerintah Inggris atas pelabelan mereka sebagai organisasi teroris. Gugatan ini diajukan melalui firma hukum asal London, Riverway Law, dan dipimpin oleh Fahad Ansari, mewakili Dr. Mousa Abu Marzouk, Kepala Hubungan Internasional dan Kantor Hukum di biro politik Hamas.
Menurut dokumen setebal 106 halaman yang diperoleh media The New Arab, tim hukum Hamas menilai bahwa pelarangan total terhadap seluruh sayap organisasi—termasuk sayap politik—melanggar kewajiban hukum internasional Inggris, serta menghambat upaya menuju solusi politik yang adil dan berkelanjutan di Gaza dan wilayah pendudukan Palestina.
Sejak keputusan Menteri Dalam Negeri Inggris saat itu, Priti Patel, pada tahun 2021, seluruh bagian dari Hamas, baik militer maupun politik, dinyatakan sebagai organisasi teroris.
Hal ini menjadikan dukungan terhadap Hamas, baik berupa keanggotaan, pernyataan publik, maupun penggunaan simbol-simbolnya, sebagai tindakan kriminal di Inggris. Sebelumnya, hanya sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, yang dilarang.
Tim hukum juga didukung oleh dua pengacara senior, Daniel Grütters dari One Pump Court Chambers dan Frank Magennis dari Garden Court Chambers.
Dalam konferensi pers pada 9 April lalu, Magennis membandingkan situasi ini dengan kasus Afrika Selatan dan Irlandia, di mana kelompok yang dulunya dianggap teroris seperti ANC dan Sinn Fein kemudian diakui sebagai mitra damai.
“Hukum ini telah menciptakan efek jera yang menghambat kebebasan akademik, jurnalistik, dan diskusi publik mengenai pendudukan Israel di Palestina,” ujar tim hukum dalam siaran persnya.
Mereka juga menilai bahwa kebijakan ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM, khususnya yang tercantum dalam Pasal 10 dan 11 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Gugatan tersebut juga menyerukan Inggris untuk mengakhiri keterlibatannya dalam “kolonialisme pemukim dan apartheid” yang menurut mereka sudah berlangsung sejak Deklarasi Balfour hingga konflik saat ini di Gaza.
Saat ini, Menteri Dalam Negeri Inggris, Yvette Cooper, memiliki waktu 90 hari untuk merespons pengajuan ini.
Jika ditolak, pihak pemohon dapat mengajukan banding ke Komisi Banding Organisasi Terlarang (Proscribed Organisations Appeal Commission) untuk meminta peninjauan kembali melalui jalur hukum.
Gugatan ini muncul di tengah meningkatnya jumlah korban jiwa di Gaza, yang kini disebut telah mencapai lebih dari 61.700 orang sejak dimulainya serangan Israel, termasuk setelah pelanggaran kesepakatan gencatan senjata oleh pihak Israel pada 18 Maret lalu.
Hingga saat ini, Kementerian Dalam Negeri Inggris belum memberikan pernyataan resmi terkait gugatan tersebut.