Kelompok Hamas menyerahkan Edan Alexander, seorang tentara Israel berkewarganegaraan Amerika Serikat, kepada Palang Merah di Kota Khan Younis, Gaza selatan, pada Senin (12/5/2025) waktu setempat. Proses penyerahan itu dilakukan oleh sayap militer Hamas, Brigade Izzuddin Al-Qassam.
Mengutip laporan khusus wartawan Al Jazeera, Tamer Al-Mishal, penyerahan dilakukan secara cepat dan tanpa peliputan media pada pukul 18.35 waktu setempat.
Dalam proses tersebut, komandan kelompok Hamas yang menyerahkan Alexander menyampaikan kepada perwakilan Palang Merah bahwa pembebasan ini merupakan hasil kesepakatan antara Hamas dan pemerintah Amerika Serikat, bukan Israel.
Hal ini disebut menjadi alasan utama mengapa Alexander kemudian menolak bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Media penyiaran Israel melaporkan pada Senin malam bahwa Alexander memang menolak pertemuan dengan Netanyahu. Sementara itu, pihak keluarga menyatakan bahwa Alexander akan bertolak ke Doha untuk bertemu dengan Presiden AS Donald Trump dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.
Alexander ditangkap dalam keadaan mengenakan seragam militer pada 7 Oktober 2023, di sebuah pos militer Israel di sebelah timur Khan Younis yang dikenal warga Palestina sebagai “Gedung Putih Militer”—area yang digunakan sebagai lokasi penempatan tank-tank Israel.
Sumber-sumber yang dikutip Al-Mishal menyebutkan bahwa tindakan ini merupakan semacam inisiatif sepihak dari Hamas sebagai upaya membuka jalur masuk bantuan kemanusiaan ke Gaza serta memulai pembicaraan terkait gencatan senjata, di tengah meningkatnya tekanan dari Washington dan para mediator di Doha untuk segera mengakhiri perang.
Menanggapi perkembangan ini, kantor Perdana Menteri Israel mengumumkan pada malam harinya bahwa delegasi Israel akan berangkat ke Doha pada Selasa (13/5/2025) untuk membahas proposal yang diajukan oleh utusan khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff. Proposal tersebut bertujuan mencapai kesepakatan pertukaran tahanan dengan kelompok perlawanan di Gaza.
Menurut laporan Al Jazeera, Hamas ingin memastikan tiga hal utama dari langkah ini:
- Membuka jalur komunikasi langsung dengan pemerintah AS tanpa perantara Israel.
- Mengakhiri blokade bantuan kemanusiaan dan menjamin adanya koridor kemanusiaan untuk Gaza, sesuai janji para mediator.
- Memulai perundingan berdasarkan proposal Witkoff, yang sebelumnya ditolak oleh Israel. Proposal ini disebut lebih realistis karena tidak mencantumkan tuntutan pelucutan senjata Hamas dan hanya meminta pembebasan sebagian kecil tawanan Israel.
Al Jazeera mengungkapkan bahwa negosiasi dilakukan secara intensif selama empat hari terakhir di Doha atas permintaan pemerintah AS. Negosiasi dilakukan melalui saluran komunikasi tidak langsung yang melibatkan seorang tokoh penting dalam pemerintahan Trump.
Momen krusial terjadi ketika Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, memberitahu pihak AS bahwa Alexander masih hidup dan Hamas siap membebaskannya sebagai bagian dari langkah awal menuju penghentian perang dan pembukaan jalur bantuan kemanusiaan.
Hamas menyatakan bahwa pembebasan Alexander adalah langkah politik untuk mendorong keberhasilan upaya yang dipimpin AS dalam menghentikan konflik bersenjata yang masih berlangsung di Gaza.