Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Minggu (28/12), menyatakan telah memfasilitasi pemindahan 10 warga Palestina.
Sebelumnya, mereka ditahan di penjara-penjara Israel dari perlintasan Kerem Shalom menuju Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsha di Jalur Gaza.
Dalam pernyataannya yang dikutip kantor berita Anadolu, Palang Merah Internasional menjelaskan bahwa timnya juga memfasilitasi komunikasi para tahanan tersebut serta membantu proses pertemuan kembali dengan keluarga mereka.
Sementara itu, Kantor Media Urusan Tahanan Palestina menyebutkan, melalui unggahan di kanal Telegram resminya, bahwa pihaknya mencatat kedatangan sembilan mantan tahanan di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa. Mereka sebelumnya ditahan di penjara Sde Teiman.
Mengutip sumber internal, kantor tersebut menyatakan bahwa masa penahanan para tahanan itu berkisar antara satu hingga dua bulan di dalam penjara Israel.
Akses terbatas ke para tahanan
Dalam pernyataan yang sama, Komite Internasional Palang Merah memperingatkan bahwa mereka belum dapat mengakses para tahanan yang ditahan di pusat-pusat penahanan Israel sejak Oktober 2023.
Palang Merah menegaskan pentingnya pihak berwenang Israel memberi informasi mengenai nasib seluruh tahanan serta lokasi penahanan mereka, sekaligus mengizinkan akses kemanusiaan terhadap mereka.
ICRC menekankan bahwa berdasarkan hukum humaniter internasional, para tahanan harus diperlakukan secara manusiawi, ditempatkan dalam kondisi penahanan yang layak, serta diizinkan berkomunikasi dengan keluarga mereka.
“Banyak keluarga Palestina menunggu dengan cemas kabar tentang orang-orang terkasih mereka yang ditahan. Kekhawatiran terhadap kondisi kesehatan dan keselamatan para tahanan terus meningkat,” demikian pernyataan Palang Merah.
Mereka menambahkan bahwa dialog dengan otoritas Israel terus dilakukan guna memulihkan akses kunjungan ke seluruh tahanan Palestina.
Pembebasan yang bersifat terbatas
Pembebasan kali ini merupakan bagian dari proses pembebasan terbatas dan tidak berkelanjutan yang dilakukan Israel terhadap sejumlah tahanan asal Jalur Gaza.
Mereka sebelumnya ditahan selama berbulan-bulan di penjara-penjara Israel yang, menurut kesaksian terdokumentasi, tidak memenuhi standar kemanusiaan minimum dan menjadi lokasi praktik penyiksaan.
Sejumlah mantan tahanan yang telah dibebaskan sebelumnya melaporkan kondisi kesehatan yang memburuk, termasuk kekurangan gizi dan luka-luka akibat kekerasan fisik berat selama masa penahanan.
Sebagian besar dari mereka tiba di Gaza dalam kondisi fisik yang lemah. Beberapa di antaranya juga mengungkapkan pengalaman penyiksaan, kelaparan, serta perlakuan merendahkan martabat di dalam penjara Israel.
Pada 13 Oktober lalu, Israel tercatat telah membebaskan sekitar 1.700 tahanan asal Gaza sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang disepakati antara perlawanan Palestina dan Israel.
Hingga kini, lebih dari 10.000 warga Palestina—termasuk anak-anak dan perempuan—masih ditahan di penjara-penjara Israel.
Berbagai organisasi hak asasi manusia, baik Israel maupun Palestina, melaporkan bahwa para tahanan tersebut menghadapi penyiksaan, kelaparan, serta pengabaian medis yang telah merenggut nyawa sejumlah tahanan.
Kesepakatan gencatan senjata mulai berlaku pada 10 Oktober lalu melalui mediasi Qatar, Mesir, dan Turkiye, serta dengan dukungan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Kesepakatan tersebut merupakan bagian dari rencana bertahap yang dirancang untuk menghentikan konflik.
Perjanjian gencatan senjata itu mengakhiri perang Israel di Gaza yang berlangsung selama dua tahun sejak 7 Oktober 2023.
Konflik tersebut menewaskan lebih dari 71.000 orang dan melukai lebih dari 171.000 lainnya, mayoritas di antaranya perempuan dan anak-anak.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan biaya rekonstruksi Gaza mencapai sekitar 70 miliar dollar AS.


