Monday, August 25, 2025
HomeBeritaIsrael gandeng influencer untuk tutupi fakta kelaparan di Gaza

Israel gandeng influencer untuk tutupi fakta kelaparan di Gaza

Pemerintah Israel kembali menggunakan cara baru untuk menepis tudingan adanya kelaparan parah di Gaza.

Kali ini, strategi yang dipilih adalah menghadirkan influencer Amerika Serikat (AS) dan Israel untuk mengemas narasi bahwa bantuan pangan berlimpah di perbatasan dan pasar Gaza.

Langkah ini dilakukan hampir bersamaan dengan pengumuman resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan Gaza tengah mengalami krisis kelaparan masif—kejadian pertama yang pernah tercatat di kawasan Timur Tengah.

Narasi tandingan

Melalui unggahan video di media sosial, para influencer itu menampilkan tumpukan bantuan di pos perbatasan yang sebenarnya masih ditahan militer Israel.

Mereka membangun citra seakan-akan ada “upaya kemanusiaan besar-besaran” dalam menyalurkan logistik.

Narasi ini diperkuat dengan nada menyerang media internasional, organisasi kemanusiaan, serta aktivis di Gaza.

Laporan-laporan mengenai kelaparan disebut sebagai “kebohongan” atau “kampanye terkoordinasi yang dijalankan Hamas”.

Salah satu yang muncul di garis depan adalah Brooke Goldstein, pengacara sekaligus influencer asal AS.

Ia ikut merekam konten dari lokasi yang disebut “Gaza Humanitarian Mission” untuk menyebarkan pesan bahwa tudingan Israel sengaja menutup akses pangan hanyalah propaganda lawan.

Membangun citra global

Upaya ini berjalan seiring dengan strategi diplomasi publik Israel.

Menurut harian Haaretz, Kementerian Luar Negeri Israel tengah menyiapkan tur bagi sejumlah influencer asal Amerika yang dikenal dekat dengan kampanye “Make America Great Again” dan “America First”.

Target utama adalah anak muda AS yang belakangan menunjukkan penurunan simpati terhadap Israel.

Kampanye daring ini difokuskan di platform X (dulu Twitter), dengan menonjolkan keberhasilan Israel menyalurkan bantuan sekaligus menepis kritik yang dilayangkan lembaga internasional dan media global.

“Sandiwara”

Namun, di Gaza, konten yang beredar itu justru menuai kritik keras. Banyak warga menyebutnya “sandiwara” untuk menutupi kenyataan getir.

Mereka menilai media Israel sengaja menampilkan potret semu, sembari terus mencegah masuknya bahan pangan pokok seperti daging, ayam, buah, dan sayur.

Sejumlah warganet menekankan bahwa barang-barang yang ditunjukkan dalam video sebagian besar berharga mahal dan tak mungkin terbeli oleh kebanyakan warga Gaza.

Sementara itu, harga tepung, gula, atau minyak goreng melonjak hingga beberapa kali lipat.

“Ini bukan bukti ketersediaan pangan, melainkan bagian dari rekayasa kelaparan yang sistematis,” tulis seorang pengguna media sosial.

Dokumentasi yang menyesatkan

Sejumlah warganet mengingatkan bahaya dokumentasi yang dilakukan tanpa kehati-hatian. Kamera, yang semestinya menjadi alat penting untuk merekam kebenaran, bisa berubah menjadi senjata propaganda apabila digunakan secara serampangan.

Mereka mencontohkan, rekaman sesaat tentang masuknya truk bantuan atau ketersediaan barang tertentu di pasar dapat menimbulkan kesan keliru bahwa seluruh Gaza tengah berkecukupan.

Padahal, kenyataan sehari-hari menunjukkan sebagian besar warga hidup dalam kelaparan dan kekurangan.

Para aktivis menegaskan, celah semacam ini sengaja dimanfaatkan media Israel untuk mereduksi penderitaan warga Gaza.

Melalui saluran-saluran internasional, narasi itu lalu dipoles agar sesuai dengan strategi komunikasi Israel.

Karena itu, mereka menyerukan dokumentasi yang bertanggung jawab agar narasi asli tidak mudah diputarbalikkan.

Sejumlah blogger juga menyoroti fakta bahwa sebagian bahan pangan yang sempat masuk, seperti gula, tepung, kopi, dan minyak goreng, kini dijual dengan harga sepuluh kali lipat dari sebelumnya.

Situasi ini membuat warga tetap tak mampu membeli kebutuhan pokok.

Adapun bahan penting lain, termasuk daging segar, ayam, buah, dan sayuran, masih tidak tersedia sama sekali.

Mereka menekankan bahwa pengukuran kelaparan oleh lembaga internasional didasarkan pada penelitian lapangan yang sistematis, bukan pada potongan video atau pernyataan sepihak.

Namun, karena kekuatan jaringan pendukung Israel di ranah media dan ekonomi global, propaganda semacam itu tetap bergema luas.

Di tengah derasnya arus propaganda, beredar pula kisah pilu. Seorang mantan tentara AS mengaku menyaksikan seorang anak bernama Amir ditembak mati tentara Israel saat mencoba mendapatkan makanan.

Hingga kini, orangtua Amir bahkan tidak tahu di mana jenazah putranya berada.

Kontradiksi antara realitas getir dan narasi resmi Israel semakin mengemuka.

“Jika memang tidak ada krisis pangan, mengapa masih ada orang yang meninggal karena kelaparan, serangan, dan penghinaan setiap hari?” tanya seorang pengguna media sosial.

Sebagian lain menilai strategi komunikasi Israel sudah tak lagi efektif. Foto-foto anak-anak Gaza dengan tubuh kurus kering kini menyebar luas di layar ponsel dunia.

Meski Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berulang kali menyebut gambar itu “rekayasa”, opini publik global kian sulit diarahkan.

Bahkan, ada yang menyebut barang-barang yang dipamerkan dalam video sudah berbulan-bulan tertahan di bawah terik matahari di perbatasan, hingga rusak dan berisiko menimbulkan penyakit usus, diare, atau kolera ketika akhirnya dibagikan.

Aktivis juga mengingatkan kembali propaganda era 1990-an yang terbukti berhasil menipu opini publik internasional, seperti klaim palsu juru bicara militer Israel atau kesaksian wartawan asing mengenai kekejaman di kawasan perbatasan Gaza.

“Jika dulu propaganda bisa berhasil, sekarang justru menjadi bahan olok-olok di tengah keterbukaan teknologi dan media modern,” tulis seorang aktivis.

Banyak yang menyimpulkan, jalan terbaik untuk meredakan silang narasi adalah membuka akses penuh bagi jurnalis internasional.

“Biarkan media dunia meliput langsung. Jika Israel yakin dengan klaimnya, mengapa harus takut dengan kamera independen?” ujar seorang warga Gaza.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular