Sunday, October 19, 2025
HomeBeritaIsrael khawatirkan peran Turki di Gaza

Israel khawatirkan peran Turki di Gaza

Sejumlah peneliti di Institut Studi Keamanan Nasional (INSS) memperingatkan bahwa peran yang kian menonjol dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dalam pengaturan masa depan Gaza dapat berubah menjadi “mimpi buruk strategis” bagi Israel.

Peringatan ini diungkapkan dalam laporan harian Yedioth Ahronoth, Sabtu (18/10).

Menurut laporan itu, Israel sejak awal perang di Gaza menolak keras keterlibatan Turki dalam negosiasi atau pengaturan pascaperang.

Terutama setelah Erdoğan menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai “Hitler masa kini” dan menuduh Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina.

Namun, situasinya kini berubah. Dalam beberapa pekan terakhir, Turki menjadi bagian penting dari perundingan yang menghasilkan kesepakatan gencatan senjata.

Dua peneliti INSS yang dikutip harian tersebut, Galia Lindenstrauss dan Rami Daniel, menilai bahwa partisipasi Turki terjadi di bawah payung koordinasi Amerika Serikat (AS), tetapi retorika Ankara terhadap Israel justru semakin keras.

Lindenstrauss menyebut Presiden AS Donald Trump melihat Erdoğan sebagai “pemimpin yang mampu memulihkan tatanan Timur Tengah”.

Karena itu, Washington mempercayakan sebagian rencana “hari setelah” di Gaza kepada Turki, dengan memanfaatkan hubungan baik antara kedua negara.

Namun langkah itu, menurut Lindenstrauss, menimbulkan kekhawatiran besar di Israel.

Keterlibatan Turki dalam pengaturan pascaperang dinilai “sangat mengganggu” karena Ankara bersikap terbuka sebagai pihak yang bermusuhan dengan Israel, dan kehadirannya di Gaza akan bertentangan dengan kepentingan strategis Tel Aviv.

Ia juga memperingatkan potensi gesekan di lapangan.

“Turki memiliki kemampuan militer dan organisasi yang besar, yang bisa membuatnya berpengaruh dalam pasukan penjaga perdamaian. Tetapi justru karena itu, kehadiran tentara Turki di dekat pasukan Israel bisa memicu insiden yang berkembang menjadi krisis diplomatik atau bahkan militer,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan pengalaman gesekan antara Israel dan pasukan UNIFIL di Lebanon.

Lindenstrauss menilai Trump memberi Erdoğan legitimasi yang sudah lama diinginkannya, yaitu kembali memainkan peran utama di Gaza setelah tersingkir sejak insiden kapal Mavi Marmara pada 2010.

Bagi Ankara, tambahnya, keterlibatan kali ini adalah “kesempatan historis” untuk memulihkan pengaruhnya di kawasan dan menegaskan kembali komitmennya terhadap isu Palestina yang telah menjadi pilar politik luar negeri Turki selama dua dekade terakhir.

Sementara itu, peneliti Rami Daniel menyebut masuknya Turki dalam jalur diplomasi Gaza sebagai “pergeseran besar”.

Menurutnya, Ankara tidak dilibatkan sejak awal, tetapi berupaya keras menjadi pemain utama, didorong oleh upaya panjang menyalurkan bantuan kemanusiaan dan retorika anti-Israel Erdoğan.

“Erdoğan melihat rencana Trump sebagai peluang emas untuk memperkuat perannya di kawasan,” ujar Daniel.

Namun, hal ini, lanjutnya, mengubah aturan permainan dan memberi harga mahal bagi Israel.

Sebab, Erdoğan tidak pernah mengubah sikapnya terhadap Hamas dan akan berusaha mempertahankan legitimasi politik gerakan tersebut.

Hal yang membuat tahapan lanjutan dari kesepakatan gencatan senjata menjadi lebih sulit.

Mimpi buruk strategis

Daniel menilai, sejak awal perang, Erdoğan memimpikan peran langsung di Gaza, dan kini ia mulai mewujudkannya. Namun bagi Israel, “mimpi Turki itu adalah mimpi buruk strategis”.

Kehadiran Turki dalam mekanisme pengawasan atau pasukan penjaga perdamaian, menurut Daniel, dikhawatirkan akan membatasi kebebasan gerak militer Israel dan berpotensi menimbulkan benturan langsung di lapangan.

Selain risiko keamanan, ada pula dimensi politik: Ankara cenderung mendukung keterlibatan Hamas dalam setiap perundingan politik, menolak pelucutan senjata penuh, dan menentang penghapusan peran politik Hamas di Gaza—posisi yang berlawanan dengan sikap Israel, Mesir, dan Uni Emirat Arab.

“Sebagian besar negara kawasan kini lebih dekat pada posisi Israel ketimbang Turki dan tidak ingin melihat Hamas tetap kuat. Namun Turki saat ini sedang berada di puncak pengaruhnya—situasi yang bisa berubah jika keseimbangan kekuatan bergeser,” kata Daniel.

Dua front pengaruh

Kekhawatiran Israel terhadap peran Turki tidak terbatas pada Gaza. Menurut Lindenstrauss, penguatan posisi Ankara di Suriah—seiring menurunnya pengaruh Iran—membuat Turki kian menonjol sebagai kekuatan regional baru yang bisa bersinggungan dengan kepentingan Israel di lebih dari satu medan.

Ia menjelaskan bahwa Turki dulunya berfokus pada wilayah utara Suriah, sementara Israel berkepentingan di selatan.

Namun setelah runtuhnya rezim Bashar al-Assad, kepentingan Ankara meluas, dan kini Israel dipandang sebagai hambatan potensial bagi ekspansi pengaruh Turki.

Untuk menghindari bentrokan, kedua negara bahkan membuka jalur komunikasi militer langsung guna mencegah insiden udara di langit Suriah—cerminan dari rapuhnya hubungan bilateral meski ada kepentingan keamanan yang tumpang tindih.

Media Turki yang dekat dengan pemerintah menggambarkan peran baru Erdoğan sebagai “kemenangan diplomatik”.

Karena, ia berhasil memposisikan kembali dirinya sebagai pembela isu Palestina dan mitra dalam pengaturan gencatan senjata setelah bertahun-tahun tersisih.

Namun, para pengamat di Israel menilai Ankara memanfaatkan isu Gaza untuk memperbaiki citra di dunia Arab dan Islam, sekaligus bersaing dengan Iran dalam perebutan pengaruh regional.

Di mata Washington, Turki kini berusaha tampil sebagai mitra yang “terkendali”, mampu menyeimbangkan kepentingan Amerika dan dunia Arab.

Israel, kata Lindenstrauss, melihat strategi ini bermuka dua: di satu sisi, Turki menampilkan diri sebagai mitra AS dalam misi perdamaian, tetapi di sisi lain, terus menyerang Israel secara terbuka dan memberikan dukungan politik kepada Hamas.

Kedua peneliti menilai, Ankara akan berusaha menancapkan pengaruh jangka panjang di Gaza melalui pasukan pengawas atau proyek rekonstruksi, yang akan sulit diterima Israel.

“Bahkan satu insiden kecil antara tentara kedua negara di Gaza dapat memicu krisis diplomatik besar,” ujar Lindenstrauss.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler