Sunday, June 22, 2025
HomeBeritaIsrael tangkap istri mendiang tahanan Palestina Walid Daqa di Yerusalem

Israel tangkap istri mendiang tahanan Palestina Walid Daqa di Yerusalem

Otoritas Israel menangkap Sanā’ Salāmah, istri mendiang tahanan Palestina Walid Daqa, saat ia bersama putrinya, Milad, di kawasan Bab al-‘Amud, Yerusalem Timur, Kamis (29/5/2025).

Penangkapan ini dilakukan hanya beberapa jam setelah Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, secara terbuka menyerukan agar Sanā’ dideportasi.

Menurut keterangan Kantor Media Tahanan Palestina yang berafiliasi dengan Hamas, Sanā’ Daqa ditangkap oleh polisi Israel dan langsung dibawa ke salah satu pusat interogasi.

Polisi Israel menyatakan penangkapan tersebut dilakukan atas dasar tuduhan bahwa Sanā’ telah menyebarkan “konten provokatif” terhadap negara dan militer Israel.

Pernyataan resmi polisi menyebut bahwa penangkapan dilakukan setelah Kejaksaan Israel menyetujui dibukanya penyelidikan atas dirinya.

Komisioner Jenderal Kepolisian, Danny Levi, mengeluarkan perintah penahanan menyusul tekanan publik dari Ben Gvir.

Polisi menambahkan bahwa mereka akan mengajukan permohonan perpanjangan penahanan tergantung hasil penyelidikan.

Sanā’ merupakan istri Walid Daqa, seorang intelektual dan aktivis Palestina dari kota Baqa al-Gharbiyye, wilayah Palestina yang diduduki sejak 1948.

Walid wafat pada April 2024 di Rumah Sakit Assaf Harofeh, dekat Tel Aviv, setelah menghabiskan 38 tahun di penjara Israel dan menderita kanker langka.

Media Israel Walla melaporkan bahwa Ben Gvir menghubungi Menteri Dalam Negeri Moshe Arbel sebanyak empat kali dalam satu hari untuk mendesak agar Sanā’ dideportasi.

Seruan tersebut muncul di tengah kebijakan baru pemerintah Israel yang mengarah pada pencabutan kewarganegaraan dan deportasi warga Palestina dengan kewarganegaraan Israel atau izin tinggal tetap.

Awal pekan ini, Israel mulai menerapkan prosedur pencabutan kewarganegaraan terhadap 4 warga Palestina.

Mereka saat ini masih ditahan di penjara Israel, dengan alasan mereka menerima bantuan keuangan dari Otoritas Palestina selama masa penahanan mereka.

Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengatakan bahwa kasus keempat tahanan tersebut telah memasuki “tahap akhir proses deportasi”.

Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan undang-undang yang memungkinkan pencabutan kewarganegaraan bagi siapa pun yang dinyatakan bersalah menerima dana dari otoritas asing sebagai imbalan atas tindakan “terorisme”.

Langkah ini mengacu pada amandemen Undang-Undang Kewarganegaraan yang disahkan Knesset (parlemen Israel) pada Februari 2023.

Amandemen itu memungkinkan Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung untuk mencabut kewarganegaraan atau izin tinggal tetap warga Palestina yang terbukti menerima dana dari Otoritas Palestina, dengan tujuan deportasi ke wilayah Tepi Barat atau Gaza.

Israel juga menahan sejumlah warga Palestina dari wilayah 1948 dan Yerusalem Timur atas dugaan terlibat atau membantu serangan terhadap warga Israel.

Meski begitu, banyak pihak menyebut kebijakan ini sebagai bentuk diskriminasi sistematis terhadap warga Palestina, yang mencakup sekitar 20 persen dari total populasi Israel.

Penangkapan dan upaya deportasi ini terjadi bersamaan dengan peningkatan agresi Israel di Tepi Barat.

Termasuk Yerusalem Timur, yang telah menewaskan sedikitnya 972 warga Palestina, melukai sekitar 7.000 orang, dan menyebabkan lebih dari 17.000 penahanan sejak Oktober 2023, menurut data Palestina.

Sementara itu, serangan Israel di Gaza terus berlangsung. Lebih dari 177.000 warga Palestina telah menjadi korban tewas dan luka-luka sejak 7 Oktober 2023, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.

Lebih dari 11.000 orang masih hilang, dan ratusan ribu lainnya terusir dari rumah mereka, menjadikan konflik ini sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah kontemporer.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular