Monday, November 10, 2025
HomeBeritaKeibuan dan ladang zaitun: Keteguhan warga Gaza dan Tepi Barat di tengah...

Keibuan dan ladang zaitun: Keteguhan warga Gaza dan Tepi Barat di tengah perang

Situasi kemanusiaan di Gaza dan meningkatnya kekerasan pemukim di Tepi Barat terus menjadi sorotan media dunia.

Meski gencatan senjata telah diberlakukan, laporan-laporan dari berbagai surat kabar internasional menyoroti bahwa penderitaan warga Palestina masih jauh dari berakhir.

Baik di tengah reruntuhan Gaza maupun di ladang zaitun Tepi Barat yang kini berubah menjadi medan ancaman.

Harian The Guardian menurunkan laporan tentang Diana Shams, seorang ibu Gaza yang kehilangan rumahnya akibat serangan udara Israel, namun tetap menulis kisahnya di tengah puing-puing.

Buku yang ia tulis melalui ponsel, berjudul A Different Kind of Motherhood (Keibuan dari Jenis yang Berbeda), menggambarkan bagaimana arti menjadi seorang ibu berubah total di bawah bayang-bayang perang.

Jika sebelumnya keibuan berarti begadang, merawat, dan mengatur keseharian anak-anak, kini—tulis Shams—ia berarti bertahan di tengah ketakutan, kelaparan, dan suara bom yang tak pernah berhenti.

Ia menggambarkan perbedaan yang mencolok antara seorang ibu di Gaza yang hanya bisa khawatir tentang hidup-mati anaknya, dan para ibu di belahan dunia lain yang memikirkan sekolah, nilai, dan kegiatan anak mereka.

Melalui media sosial, Shams dan banyak ibu Gaza lainnya menjadikan dunia maya sebagai ruang bertahan sekaligus jendela menuju dunia luar.

“Platform digital menjadi satu-satunya cara kami agar dunia mendengar suara para ibu di Gaza,” tulis The Guardian.

Ia juga menyoroti jurang tajam antara kehidupan di bawah serangan dan kehidupan di tempat-tempat yang aman.

Sementara itu, Le Temps—harian berbahasa Prancis asal Swiss—menurunkan laporan berjudul Musim Zaitun Paling Brutal di Tepi Barat.

Menurut laporan itu, serangan para pemukim Yahudi terhadap petani Palestina yang sedang memanen zaitun telah mencapai tingkat tertinggi dalam dua tahun terakhir.

Harian itu menggambarkan bagaimana setiap musim panen, kelompok aktivis internasional dan jurnalis lokal membentuk grup-grup komunikasi di WhatsApp dan Telegram.

Tujuannya untuk memantau serta mendokumentasikan upaya para pemukim menghalangi warga Palestina memetik buah zaitun.

Zaitun tersebut disebut sebagai “emas hijau” dan menjadi sumber ekonomi utama bagi ribuan keluarga di Tepi Barat yang diduduki.

Ketidakpastian di Dewan Keamanan PBB

Dari Paris, Le Monde melaporkan tentang kabut diplomatik yang masih menyelimuti inisiatif Amerika Serikat (AS) di Dewan Keamanan PBB.

Washington tengah mendorong rancangan resolusi yang akan melegalkan pembentukan pasukan stabilisasi internasional di Gaza.

Meski proposal tersebut disambut positif oleh sejumlah anggota, Le Monde mencatat bahwa teks resolusi belum rampung sehingga konsultasi intensif masih berlangsung.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan bahwa Paris ingin berperan secara konstruktif dalam perumusan keputusan itu, namun menegaskan pentingnya memastikan rancangan tersebut “mencerminkan posisi negara-negara Arab tetangga.”

Dari Tel Aviv, harian Yedioth Ahronoth menyoroti pengakuan mengejutkan dari seorang perwira senior cadangan Israel yang menyatakan bahwa komando selatan tentara Israel memasuki perang di Gaza tanpa rencana operasional yang matang.

Dalam pertemuan tertutup, perwira itu mengakui bahwa “bertahun-tahun kelalaian” telah membuat struktur komando tidak siap menghadapi serangan besar.

Rencana darurat yang sebelumnya disiapkan disebut “tidak relevan” saat perang pecah, memaksa tentara menyusun strategi baru dari awal.

Laporan itu menambahkan bahwa sebuah laporan resmi yang akan dipublikasikan dalam waktu dekat diperkirakan akan mengungkap celah besar dalam koordinasi militer, intelijen, dan pengambilan keputusan politik, yang memperburuk krisis strategis Israel di Gaza.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler