Saturday, February 1, 2025
HomeBeritaKeluarga Mohammad Deif hidup sederhana di kamp pengungsian tanpa kemewahan

Keluarga Mohammad Deif hidup sederhana di kamp pengungsian tanpa kemewahan

Dalam wawancara eksklusif, Al-Jazeera bertemu dengan keluarga Mohammed al-Deif, kepala militer Hamas yang syahid, yang mengenang kehidupan, perjuangan, dan wasiat terakhirnya dari Gaza.

Pada Kamis lalu, Al-Qassam Brigades, melalui juru bicara Abu Ubaidah, mengumumkan bahwa al-Deif syahid bersama beberapa pemimpin terkemuka lainnya dari Dewan Militer gerakan tersebut.

Keluarga al-Deif, yang kini mengungsi di sebuah tempat perlindungan pengungsian di timur Kota Gaza, berbagi kenangan penuh haru tentang al-Deif, warisannya, dan wasiat terakhirnya.

Seperti ribuan warga Palestina lainnya, mereka harus menghadapi kesulitan pengungsian, kelaparan, dan serangan bom yang terus-menerus.

Tak ada TV, AC, dan bangunan mewah. Pintu masuknya hanyalah kayu usang yang tak layak dan tumpukan baju-baju lusuh di gantungan.

Ketika ditanya mengapa keluarga tetap tinggal di tempat perlindungan meskipun status al-Deif adalah komandan Brigade Al Qassam, Umm Khaled, istri Deif hanya menjawab, “Ini adalah hidup kami sejak awal. Kami tidak hidup dalam kemewahan, tetapi layaknya prajurit di batalion.”

“Ikon Rakyat Palestina”

Umm Khaled mengenang hampir tiga dekade perjuangan suaminya. “Abu Khaled adalah ikon rakyat Palestina dan pembawa bendera Islam,” ujarnya.

“Dia menjadi syahid di Khan Yunis, kampung halamannya, tapi penghiburan kami adalah dia meraih syahid setelah bertahun-tahun berjuang,” lanjut Umm Khaled.

Saat mengenang kehidupan sederhana mereka di tempat pengungsian, Umm Khaled menekankan bahwa ini adalah “realitas kami, baik sebelum maupun setelah perang.”

Dia juga menyatakan bahwa al-Deif hidup seperti prajurit di batalion, mendedikasikan hidupnya untuk “mengangkat kalimat Allah dan mengembalikan Baitul Maqdis.”

“Syahid Bukanlah Akhir, Tapi Awal”

Khaled, putra al-Deif, berbagi tentang pertemuan terakhirnya dengan ayahnya pada 6 Oktober dan menyampaikan wasiat terakhirnya:

“Wasiat ayah saya adalah agar saya menghafal Al-Qur’an dan mempelajarinya, serta agar kita dan anak-anak kita terus berjuang di jalan pembebasan,” katanya kepada Al-Jazeera.

“Ayah kami selalu mengajarkan bahwa syahid bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan baru,” tambah Khaled.

“Dia Adalah Jiwa Kami”

Halima, putri al-Deif, mengenang kenangan indah bersama ayahnya: “Meskipun jaraknya jauh, dia selalu ada bersama kami, di setiap momen.”

“Ketika saya sakit, dia sudah sakit sebelum saya. Kami adalah jiwa yang tak pernah meninggalkannya,” kenang Halima.

Ia menggambarkan ayahnya sebagai “seorang pria yang memadukan kasih sayang seorang ayah dengan semangat seorang pejuang.”

“Jiwanya Akan Tetap Abadi”

Ibu mertua al-Deif, Umm Ibrahim Asfoura, juga merasakan kehilangan dengan kata-kata yang penuh haru: “Abu Khaled adalah orang baik… jujur, berani, dan penuh keberanian.”

“Tubuhnya telah pergi, tetapi jiwanya akan tetap abadi bersama para syuhada di langit tertinggi,” tambahnya.

Mohammed Diab Ibrahim al-Masry, yang dikenal sebagai Mohammed al-Deif, lahir pada 1965 dari keluarga pengungsi Palestina yang terpaksa meninggalkan kota Al-Qubayba pada 1948.

Pada 7 Oktober 2023, sebagai komandan utama Al-Qassam Brigades, dia mengumumkan dimulainya Operasi Banjir Al-Aqsa, yang menandai momen penting dalam perlawanan Palestina.

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular