Kementerian Kesehatan di Gaza meluncurkan kampanye internasional untuk menyerukan solidaritas dunia terhadap anak-anak di wilayah tersebut.
Hal ini dilakukan di tengah krisis kemanusiaan yang semakin memburuk akibat perang dan blokade.
Langkah ini diumumkan dalam konferensi pers di Kota Gaza, Senin (6/5), sebagai respons atas kondisi yang digambarkan sebagai bencana kemanusiaan dan kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menurut pernyataan resmi kementerian, pembatasan ketat terhadap masuknya makanan dan obat-obatan yang telah berlangsung selama lebih dari 2 bulan.
Selain itu, ditambah dengan serangan udara yang terus menerus, telah memperburuk penderitaan anak-anak secara drastis.
Anak-anak disebut menjadi kelompok paling terdampak, baik dari sisi korban jiwa maupun dampak kesehatan jangka panjang.
Kementerian mengungkapkan bahwa sejak dimulainya agresi pada 7 Oktober 2023, sebanyak 16.278 anak telah menjadi korban jiwa — setara dengan satu anak yang terbunuh setiap 40 menit.
Selain itu, tercatat 311 bayi yang lahir selama masa perang juga turut meninggal dunia akibat kondisi yang tidak memungkinkan untuk kelangsungan hidup mereka.
Kondisi semakin memburuk dengan hancurnya banyak pusat layanan kesehatan primer, serta kelangkaan akut obat-obatan, suplemen gizi, dan vitamin.
Kementerian menyatakan bahwa lebih dari separuh (51 persen) dari kebutuhan pokok layanan kesehatan ibu dan anak kini tidak tersedia.
“Wanita hamil dan anak-anak berada dalam kondisi tanpa perlindungan kesehatan dasar,” ujar juru bicara kementerian dalam konferensi pers tersebut.
Ia juga memperingatkan akan munculnya kembali penyakit-penyakit yang sebelumnya telah dikendalikan, seperti polio, karena terhambatnya distribusi vaksin penting ke wilayah tersebut.
Kementerian juga mencatat 57 kematian anak akibat gizi buruk akut dan komplikasi kesehatan yang menyertainya.
Serangan udara terhadap pusat distribusi bantuan dilaporkan telah menyebabkan kematian sejumlah anak yang sedang berusaha memperoleh makanan.
Selama lebih dari 17 tahun, Gaza hidup di bawah blokade ketat, namun sejak Maret 2024, Israel dikabarkan telah menutup hampir seluruh jalur masuk ke wilayah tersebut, termasuk penutupan total perlintasan Rafah yang berbatasan dengan Mesir.
Penutupan ini terjadi setelah gagalnya kesepakatan gencatan senjata sebagian yang sebelumnya sempat berlaku.
Badan-badan Persrikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa lebih dari dua juta penduduk Gaza kini hidup dalam bayang-bayang kelaparan.
Krisis semakin diperparah oleh runtuhnya sistem sanitasi, ketiadaan pasokan air bersih, serta keruntuhan total layanan kesehatan dan listrik.
Dalam laporan terbarunya, organisasi Save the Children menyebut bahwa anak-anak Gaza saat ini menghadapi salah satu krisis terburuk abad ini.
Laporan itu juga memperingatkan bahwa dampak fisik dan psikologis terhadap generasi muda akan berlangsung dalam jangka panjang, kecuali jika ada langkah nyata yang segera diambil.
Melalui kampanye bertajuk “Gerakan Global untuk Menyelamatkan Anak-anak Gaza”, Kementerian Kesehatan menyerukan kepada komunitas internasional, lembaga-lembaga kemanusiaan, media, dan para aktivis di seluruh dunia untuk memberikan dukungan penuh.
“Waktu hampir habis. Kami meminta dunia untuk bertindak, menghentikan perang ini, dan menjamin masuknya bantuan kemanusiaan tanpa hambatan politik,” demikian pernyataan penutup dari konferensi pers tersebut.