Monday, August 18, 2025
HomeBeritaKisah pilu keluarga Gaza yang terpisah perang dan perbatasan

Kisah pilu keluarga Gaza yang terpisah perang dan perbatasan

Perang di Gaza tak hanya menghadirkan kematian, kelaparan, dan kehancuran. Ia juga memisahkan keluarga-keluarga Palestina dari rumah dan tanahnya, menebar mereka ke dalam pengasingan yang tak pasti ujungnya.

Di perbatasan Gaza–Mesir, ada ibu-ibu yang menunggu suami dan anak mereka yang tertahan di sisi lain.

Anak-anak hanya bisa mendengar suara ayah mereka lewat telepon sebelum terlelap, serta pemuda-pemudi yang kehilangan kesempatan belajar lantaran akses keluar Gaza terputus.

Angka yang meninggalkan luka

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik Palestina, sekitar 115 ribu warga Gaza menyeberang ke Mesir sejak November 2023 hingga Juni 2024, sebelum Israel menggempur Rafah dan menutup pintu perbatasan pada 7 Mei 2024.

Dari jumlah itu, ada yang sekadar melarikan diri dari maut, ada yang hendak menyusul keluarga, serta ada pula pasien yang memerlukan perawatan medis.

Termasuk di antara mereka 7.500 orang yang memegang paspor asing atau kewarganegaraan ganda, juga kelompok yang keluar lewat evakuasi konsuler.

Menurut WHO dan OCHA, hingga awal Agustus 2025, lebih dari 7.600 pasien berhasil dievakuasi secara medis, hampir 70 persennya anak-anak.

Namun, Kementerian Kesehatan Gaza memperkirakan lebih dari 14.800 orang lain masih menanti dengan kebutuhan mendesak untuk dirawat di luar Gaza.

Amira, kehilangan dan kelahiran di pengasingan

Di antara angka-angka itu, ada wajah seperti Amira Darwish. Serangan udara Israel di kamp Nuseirat merenggut kedua anaknya, Kanzi (10) dan Yusuf (8), serta merusak penglihatannya.

Ia sendiri terluka, sementara bayi laki-lakinya, Muhammad (11 bulan), juga menderita luka.

Amira sempat menyeberang ke Mesir, lalu ke Yordania untuk perawatan. Di negeri asing itulah ia melahirkan seorang bayi perempuan tanpa identitas resmi.

“Saya kira hanya dua pekan atau sebulan saja kami di luar, lalu bisa kembali. Tetapi waktu berjalan, kehamilan saya membuat dokter melarang pulang, lalu bayi itu lahir tanpa nomor identitas, tanpa paspor,” kisah Amira.

Dengan dukungan terbatas, ia akhirnya memperoleh dokumen perjalanan sementara agar bisa membawa bayinya kembali ke Mesir.

Kini ia menanggung kehilangan anak-anaknya, luka fisiknya, sakit sang bayi, serta beban hidup jauh dari suami yang masih bertahan di Gaza.

Iman, menunggu yang tak kunjung usai

Kisah lain datang dari Iman, yang meninggalkan Gaza pada April 2024 bersama empat anaknya melalui Rafah.

Tujuan awalnya sederhana: mencari ketenangan, menjauh dari dentuman bom. Namun, suami dan anak lelakinya, Omar, gagal menyeberang. Penutupan perbatasan membuat keluarga itu tercerai.

Putrinya, Amal, yang kini berkuliah di Mesir, berkata lirih.

“Setiap hari di pengasingan terasa seperti setahun. Kami hidup dalam rindu yang tak terobati, dan rasa takut setiap kali mendengar kabar baru dari Gaza,” ungkapnya.

Iman dan anak-anaknya hanya bisa menunggu, di antara doa agar ayah dan abang mereka selamat, serta harapan yang makin tipis akan bersatu kembali.

“Kami berangkat dengan keyakinan mereka akan segera menyusul,” tutur Amal. “Nyatanya, mereka tetap di bawah bom, sementara kami terperangkap di negeri asing.”

Pengobatan yang tak menyembuhkan luka

Kisah pilu juga dialami Wafaa Rajab. Ia meninggalkan Gaza untuk berobat setelah mengalami luka berat akibat perang.

Di balik perbatasan, ia meninggalkan suami dan anak-anaknya, dengan harapan bisa segera kembali.

Namun, penutupan perbatasan yang berlangsung hampir 16 bulan membuat upaya reuni keluarga itu kandas.

Kini, Wafaa hidup dengan kecemasan yang tak kunjung reda.

“Apa yang saya alami di tanah asing, jauh dari rumah, suami, dan anak-anak, lebih menyakitkan daripada luka fisik saya. Saya keluar karena terpaksa, demi pengobatan. Tak pernah terbayang, perbatasanlah yang kemudian memisahkan kami, dan ketakutan saya bergeser dari soal kesembuhan menjadi bayangan tak bisa pulang dan kehilangan kesempatan berkumpul kembali dengan keluarga,” ujarnya lirih.

Suaminya, Abu Nihad, bercerita bahwa kondisi istrinya kian sulit setelah masa perawatan gratis di rumah sakit berakhir.

Ia harus mencari biaya sewa tempat tinggal, makanan, dan kebutuhan sehari-hari.

Sementara itu, Abu Nihad sendiri hidup dalam kesempitan ekonomi di Gaza yang tercekik perang dan harga-harga yang melambung.

“Saya pikir ketika istri saya berangkat dengan daftar pasien WHO, urusannya sebentar saja. Tapi kini, ia terserak di tanah asing, tanpa rumah, tanpa dukungan. Saya hanya bisa berusaha mengirim sedikit uang agar ia bisa bertahan,” ujarnya.

Dengan suara lelah, ia bertanya mempertanyakan di mana wakil keluarga-keluarga seperti mereka?

“Di mana lembaga-lembaga kemanusiaan, yang seharusnya hadir untuk orang-orang yang dihancurkan perang, dipisahkan jarak, dan dilumpuhkan rasa kehilangan?” tanyanya.

Kesendirian di negeri asing

Lebih getir lagi kisah Jamilah Nofal, yang pergi ke Mesir bersama putrinya, Mariam, untuk menjalani perawatan kanker di Rumah Sakit Dairb Najm, Zagazig. Takdir berkata lain: Jamilah wafat di negeri asing, meninggalkan Mariam sendirian.

“Saya benar-benar sendiri setelah ibu meninggal. Tidak ada siapa-siapa di Mesir. Saya harus meninggalkan rumah sakit tempat kami tinggal, kini tanpa tempat bernaung, tanpa makanan yang cukup. Kakak saya di Turki kadang mengirim uang, tapi sebagian besar waktu saya hanya berharap ada orang baik atau lembaga amal yang mau membantu,” tutur Mariam.

Mariam menatap hidup dengan penuh ketidakpastian. Ia hanya punya satu permohonan.

“Saya memohon kepada lembaga kemanusiaan dan organisasi internasional, kembalikan saya ke tanah air. Saya seorang perempuan muda, sendirian, dan tak punya siapa pun di sini,” ujarnya.

Cerita Wafaa dan Mariam hanyalah dua dari ribuan kisah keluarga Gaza yang tercerai oleh perang dan terkunci di perbatasan.

Mereka berbeda dalam latar, namun sama dalam derita: rasa asing di negeri orang, hidup dalam keterbatasan, dan kerinduan pada rumah yang hilang.

Di tengah keputusasaan, hanya satu mimpi yang tersisa: kembali ke Gaza, dan menyatukan keluarga yang kini tercerai-berai di bawah atap yang sama.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular