Lawatan pertama Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump di masa jabatan keduanya disambut dengan perayaan megah di Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab.
Dalam kunjungan tersebut, negara-negara Teluk berkomitmen menanamkan investasi senilai sekitar 2 triliun dollar AS dalam sektor teknologi dan pertahanan, mempererat hubungan ekonomi dan politik dengan Washington.
Namun di tengah sambutan diplomatik itu, perhatian publik juga tertuju pada hubungan bisnis keluarga Trump yang semakin erat dengan kawasan, memunculkan kekhawatiran akan tumpang tindih antara kepentingan pribadi dan kebijakan luar negeri AS.
Kaitan bisnis dan diplomasi
Sejak masa jabatan pertamanya (2017–2021), Trump dikenal menjalin hubungan erat dengan negara-negara Teluk melalui kesepakatan senjata dan diplomasi, termasuk mendorong Perjanjian Abraham, lansir The New Arab.
Setelah meninggalkan Gedung Putih, hubungan itu berlanjut dalam bentuk kemitraan bisnis, terutama melalui Trump Organization dan firma investasi milik menantunya, Jared Kushner.
Michael Wahid Hanna, Direktur Program AS di International Crisis Group, menyebut pendekatan Trump sangat “transaksional” dan selaras dengan cara kerja pemimpin Teluk. “Ada kedekatan karena kesamaan pendekatan—fokus pada kesepakatan, kekayaan, dan saling menguntungkan,” ujarnya.
Sejak 2024, Trump Organization meluncurkan berbagai proyek real estate di kawasan Teluk, termasuk:
- Oman: Pembangunan resor senilai 500 juta dollar AS bersama Dar Global dan Omran, perusahaan milik negara.
- Arab Saudi: Trump Tower di Jeddah senilai 531 juta dollar AS dan rencana proyek kedua di Riyadh.
- Dubai: Peluncuran Trump International Hotel & Tower.
- Qatar: Pengembangan resor mewah bernilai 5,5 miliar dollar AS bersama Dar Global dan Qatari Diar, anak usaha dana kekayaan negara Qatar.
Sementara itu, Kushner mendirikan Affinity Partners pada 2021, yang telah menghimpun investasi besar dari negara Teluk, termasuk 2 miliar dollar AS dari Dana Investasi Publik (PIF) Arab Saudi dan tambahan 1,5 miliar dollar AS dari Qatar dan Abu Dhabi pada 2024. Total aset kelolaannya melonjak menjadi 4,8 miliar dollar AS.
Bisnis keluarga Trump kini juga merambah sektor kripto dan kecerdasan buatan. Melalui perusahaan World Liberty Financial yang diluncurkan pada 2024, Trump dan anak-anaknya mengendalikan 60% saham.
Perusahaan ini meluncurkan stablecoin USD1 yang digunakan oleh MGX, perusahaan AI dari Abu Dhabi, untuk investasi besar di bursa kripto Binance.
Pembangunan pusat data AI AS senilai 20 miliar dollar AS di UEA, termasuk oleh OpenAI, mencerminkan strategi besar Washington untuk menyaingi Tiongkok, dengan memanfaatkan energi murah kawasan Teluk.
Kritik dan kekhawatiran etika
Tak seperti presiden AS sebelumnya yang sepenuhnya memisahkan diri dari urusan bisnis saat menjabat, Trump menempatkan asetnya dalam trust yang dikelola dua anaknya, Donald Jr. dan Eric.
Meskipun berjanji tidak menerima kesepakatan dari pemerintah asing, Trump Organization tetap dapat bermitra dengan perusahaan swasta—banyak di antaranya terkait erat dengan negara.
Hal ini memunculkan kekhawatiran dari kalangan Demokrat, yang menilai ada pelanggaran etik dan potensi konflik kepentingan. Namun, menurut Paul Salem dari Middle East Institute, praktik ini kini telah menjadi “cara standar” banyak negara, khususnya Teluk, dalam menjalin hubungan dengan Trump.
“Memberikan keuntungan kepada Trump dan keluarganya dianggap sebagai jalan untuk mendapatkan akses dan kesepakatan yang lebih baik dengan AS,” ujarnya.
Bagi negara-negara Teluk, Amerika Serikat adalah penjamin keamanan jangka panjang mereka, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh Tiongkok. Dari sisi ekonomi, para investor Teluk juga lebih memilih AS karena sistem hukum yang ketat, pasar yang stabil, serta regulasi yang relatif rendah.
“Memberikan keuntungan kepada Trump dan keluarganya memungkinkan mereka mendapatkan kesepakatan yang lebih baik dengan AS. Mereka melihatnya sebagai situasi saling menguntungkan. Bagi mereka, hubungan dengan Amerika Serikat memberikan manfaat dalam hal keamanan, teknologi, investasi, dan pembelian senjata,” ujar Salem.
Konteks kawasan
Namun, kebijakan luar negeri Trump di kawasan Teluk dan Timur Tengah tidak semata-mata soal bisnis, ekonomi, atau urusan pribadi keluarganya.
Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan perang Israel di Gaza—yang kini disebut sebagai genosida—serta konflik di Lebanon yang menewaskan sedikitnya 3.000 orang, Timur Tengah kembali menjadi pusat perhatian kebijakan luar negeri AS.
Fokus awal pemerintahan Trump diarahkan pada pembicaraan nuklir dengan Iran, kesepakatan gencatan senjata dengan kelompok Houthi di Yaman, menjaga stabilitas di Lebanon, perubahan kebijakan terhadap Suriah dengan pencabutan sanksi, serta perang di Gaza.
Akan sulit dikatakan bahwa agenda komersial dan ekonomi bisa begitu saja menjadi prioritas utama dan mengabaikan seluruh konflik serta permasalahan mendasar yang terus menjadi ciri utama kawasan ini.