Thursday, December 26, 2024
HomeHeadlineLAPORAN KHUSUS: Hancur lebur era rezim Assad, bagaimana prospek ekonomi Suriah?

LAPORAN KHUSUS: Hancur lebur era rezim Assad, bagaimana prospek ekonomi Suriah?

Oleh: Saleh Heringguhir

Ketika meletus protes besar-besaran terhadap rezim Presiden Bashar al-Assad pada tahun 2011, nilai ekonomi Suriah berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) masih sebesar US$67,5 miliar atau setara dengan Rp1.046 triliun (asumsi kurs Rp15.500/US$).

Tahun itu menjadi titik mula pemicu kekerasan rezim Assad yang berkembang menjadi perang besar-besaran di negara berpenduduk 23,23 juta jiwa itu. Dengan nilai ekonomi sebesar itu, Suriah berada di peringkat ke-68 dari 196 negara dalam peringkat PDB global, setara dengan Paraguay dan Slovenia.

Tapi tahun lalu, mengacu estimasi Bank Dunia, perekonomian negara itu anjlok ke posisi 129, setelah PDB-nya menyusut 85% menjadi hanya US$9 miliar atau setara Rp140 triliun. Angka ini bahkan jauh lebih rendah dari pendapatan BUMN Indonesia, Pertamina, yang tahun lalu mencatat US$75,8 miliar atau setara Rp1.175 triliun. Kondisi ini membuat Republik Arab Suriah ini setara dengan negara-negara seperti Chad dan Palestina.

Perbandingan Ekonomi Suriah 2011-2023
Indikator 2011 2023
PDB US$67,5 miliar US$9 miliar
Inflasi tahunan 5.8%* 140%**
Pound Suriah vs Dolar AS 45-54 2.512-13.046
Tingkat pengangguran 8,6% 13,5%
Tingkat pengangguran muda 21,3% 33,5%
Produksi minyak (bph) 353.000 40.000
*November 2011, **Desember 2023

Sumber: Bank Dunia, DW, Exchangerates.org, EIA, Energyinst.org

Menurut media Jerman, DW, dalam ulasan bertajuk “How was Syria’s economy ravaged by the civil war?”, ekonomi negara ini benar-benar terpuruk karena digerogoti konflik berkepanjangan hampir 14 tahun, sanksi internasional, dan eksodus sekitar 4,82 juta orang atau lebih dari seperlima atau 20% populasi negara itu.

Bahkan menurut United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), ada 7 juta warga Suriah atau  lebih dari 30% populasi masih mengungsi hingga Desember ini.

Konflik itu menghancurkan infrastruktur, menyebabkan kerusakan permanen di sejumlah sektor, listrik, transportasi, dan kesehatan. Beberapa kota, termasuk Aleppo, Raqqa, dan Homs, juga rusak parah.

Konflik tersebut juga menyebabkan devaluasi signifikan pada nilai tukar pound Suriah terhadap dolar AS, yang menyebabkan penurunan daya beli yang sangat besar.

Tahun lalu, Pusat Penelitian Kebijakan Suriah atau Syrian Center for Policy Research (SCPR) dalam laporan Juni 2024 mencatat, negeri itu mengalami hiperinflasi atau inflasi yang sangat tinggi dan terus naik. Indeks harga konsumen (CPI) melonjak 2x lipat dari tahun sebelumnya.

Menurut SCPR, lebih dari separuh warga Suriah hidup dalam kemiskinan parah, tak mampu memenuhi kebutuhan pokok. Hal ini karena dua pilar utama ekonomi Suriah — minyak dan pertanian — hancur akibat perang.

Meski kecil dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, ekspor minyak Suriah menyumbang sekitar seperempat dari pendapatan pemerintah pada 2010. Produksi pangan juga berkontribusi sama ke PDB.

Rezim Assad kehilangan kendali atas sebagian besar ladang minyak mereka dicaplok Daesh dan kemudian diambil oleh pasukan Syrian Democratic Forces (SDF) dari kelompok separatis Kurdi, salah satu faksi yang didukung AS.

Sanksi internasional membuat Suriah kurang leluasa melakukan ekspor. Dengan produksi minyak yang anjlok menjadi sekitar 40.000 barel per hari (bph) dari 353.000 bph, negara tersebut menjadi sangat bergantung pada impor dari Iran.

Dua Kunci Utama Pemulihan Ekonomi Suriah

Beberapa pengamat memperingatkan bahwa butuh hampir 10 tahun bagi Suriah kembali ke level PDB di 2011 dan butuh dua dekade sepenuhnya untuk pulih. Faktor pertama pemulihan ekonomi Suriah adalah bagaimana agar kondisi politik bisa stabil di pemerintahan baru usai rezim Assad tumbang.

Saat ini secara de facto pemerintahan Suriah berada di bawah kendali Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Jadi sebelum menyelesaikan pekerjaan rumah seperti membangun kembali kota-kota yang rusak, infrastruktur, produksi minyak, dan sektor pertanian, perlu ada kejelasan dan komitmen pemerintahan baru di bawah HTS ini.

HTS memimpin perlawanan menggulingkan rezim Assad setelah berhasil menduduki Damaskus pada 8 Desember lalu. Sebetulnya banyak faksi-faksi di Suriah, tetapi HTS adalah kelompok tempur terbesar yang merupakan kelompok “payung” bagi faksi-faksi pejuang di Suriah yang dibentuk demi mengkoordinasikan operasi militer.

Tapi sejak 2018, HTS ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat (AS) dan dilabeli teroris juga oleh PBB. Meski begitu, mengutip CSIS, HTS menolak dikaitkan dengan Al Qaeda. “[Kami] entitas independen yang tidak mengikuti organisasi atau partai mana pun, termasuk Al Qaeda.” Kini HTS dipimpin Ahmed Al-Sharaa yang sebelumnya menggunakan nama Abu Mohammed Al-Jolani.

Kestabilan politik ini menjadi tantangan tersendiri meski samar-samar sudah tampak ada visi. Pada 21 Desember lalu, HTS menunjuk orang-orangnya untuk menempati pos-pos menteri strategis guna memulihkan negara ini.

Mengutip Reuters dan Al-Jazeera, kantor berita Suriah, SANA, melaporkan bahwa HTS menunjuk Asaad Hassan al-Shibani menjadi Menteri Luar Negeri dan Murhaf Abu Qasra alias Abu Hasan 600 menjadi Menteri Pertahanan. Abu Hasan adalah tokoh senior di HTS dan orang dekatnya Al-Jolani.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana meleburkan faksi-faksi di Suriah benar-benar di bawah satu payung. Ini tidak gampang. Al-Jazeera melaporkan faksi-faksi di Suriah sudah sepakat bubar dan bersatu di bawah Kementerian Pertahanan, tapi faksi kurdi yang didukung (AS) yakni Syrian Democratic Forces (SDF) tak masuk dalam perjanjian.

Sebab SDF sendiri ditolak oleh masyarakat karena kerap memerangi sesama oposisi ketimbang melawan Bashar. SDF diperkirakan didukung 100.000 pasukan dengan senjata yang sebagiannya dipasok AS.

Faktor kedua pemulihan ekonomi selain kestabilan politik ialah bagaimana agar Suriah bisa terbebas dari banyaknya sanksi internasional, minimal berkurang, meski ini perlu waktu berbulan-bulan.

Per Maret 2022, Suriah merupakan negara ketiga yang paling banyak dikenai sanksi di dunia menurut Statista atau sebanyak 2.608 sanksi, setelah Rusia di posisi pertama (5.581 sanksi) dan Iran (3.616 sanksi).

“Negara ini adalah salah satu negara yang paling banyak dijatuhi sanksi di dunia. Membiarkan sanksi berat tetap berlaku sama saja seperti mencabut karpet dari bawah Suriah saat mereka mencoba berdiri tegak,” kata Delaney Simon, analis senior di International Crisis Group, di akun X.

“Lebih dari satu dekade setelah konflik paling mematikan di abad ini, kapasitas Suriah untuk menyerap guncangan ekonomi eksternal sangat terganggu, terutama dengan penurunan arus bantuan dan sulitnya akses ke bantuan kemanusiaan serta meningkatnya ketegangan geopolitik regional,” kata Jean-Christophe Carret, Direktur Bank Dunia untuk Timur Tengah.

Mengacu dokumen resmi US and European Sanctions on Syria, yang dirilis The Carter Center, September 2020, sanksi utama AS berupa embargo di hampir semua hubungan perdagangan dan keuangan antara AS dan Suriah. 

Deretan Sanksi Primer AS ke Suriah
●      Larangan bantuan luar negeri AS ke Suriah

●      Tidak ada dukungan lembaga keuangan internasional untuk Suriah.

●      Larangan perdagangan senjata AS dengan Suriah.

●      Larangan ekspor/ekspor ulang barang-barang AS ke Suriah (kecuali bantuan kemanusiaan: makanan dan obat-obatan).

●      Larangan ekspor layanan AS ke Suriah.

●      Larangan impor AS atas produk-produk Suriah tertentu, termasuk minyak

●      Pembatasan keuangan dan investasi di Suriah, melarang investasi AS dan transaksi keuangan AS dengan Suriah.

●      Pembekuan aset pemerintah Suriah di AS.

●      Larangan bagi warga dan perusahaan AS bertransaksi atau berbisnis dengan pemerintah Suriah, termasuk BUMN Suriah.

●      Serangkaian sanksi untuk pejabat, bisnis, dan entitas pemerintah Suriah yang membekukan aset di AS dan melarang warga AS berbisnis dengan mereka.

●      Larangan bagi sebagian besar warga Suriah untuk bepergian ke AS.

 

AS juga memberlakukan sanksi sekunder untuk melarang kategori tertentu dari perdagangan negara ketiga dengan Suriah. Sanksi sekunder ini relatif terbatas hingga akhir tahun 2019, ketika Kongres AS meloloskan Undang-Undang Caesar (Caesar Syria Civilian Protection Act).

Deretan Sanksi Sekunder AS ke Suriah
●      Kontraktor militer non-AS dan pasukan paramiliter yang bekerja untuk pemerintah Suriah, Rusia, dan/atau Iran.

●      Perusahaan non-AS yang mendukung/terlibat transaksi signifikan dengan perusahaan, individu, atau entitas Suriah yang dikenai sanksi.

●      Perusahaan non-AS yang mendukung produksi migas Suriah.

●      Perusahaan non-AS yang menyediakan layanan konstruksi/teknik yang signifikan ke pemerintah Suriah.

●      Perusahaan non-AS yang menyediakan pesawat/suku cadang buat militer Suriah.

●      Perusahaan non-AS yang mendukung program senjata pemusnah massal Suriah.

 

Uni Eropa (UE) juga menjatuhkan sanksi ke Suriah sejak tahun 2011 setelah pecahnya perang Suriah. Sanksi ini lebih sempit ketimbang sanksi AS. UE juga tidak mengenakan sanksi sekunder ke perusahaan negara ketiga yang berbisnis dengan Suriah. UE hanya mengenakan sanksi primer.

Deretan Sanksi Primer Uni Eropa ke Suriah
●      Larangan membeli minyak Suriah.

●      Larangan menjual peralatan pengembangan industri minyak Suriah.

●      Pembatasan investasi di Suriah dan pembatasan bank Suriah beroperasi di UE.

●      Pembekuan aset pemerintah Suriah di UE dan larangan warga dan perusahaan UE bertransaksi dengan Suriah, termasuk BUMN Suriah.

●      Serangkaian sanksi buat pejabat, bisnis, dan entitas pemerintah Suriah yang membekukan aset di Eropa dan melarang perusahaan UE berbisnis dengan mereka.

 

Jadi tanpa langkah melonggarkan sanksi-sanksi tersebut, investor akan terus menghindari negara yang dilanda perang itu dan lembaga donor juga mungkin khawatir untuk turun tangan memberikan bantuan kemanusiaan yang penting bagi penduduk Suriah.

AS memahami itu, maka tak heran Presiden AS Joe Biden memberikan sinyal kendati tidak spesifik membuka keran sanksi. Biden hanya memperingatkan bahwa Suriah menghadapi periode risiko dan ketidakpastian, tapi AS akan membantu semampunya.

“Kami akan bekerja sama dengan semua kelompok di Suriah, termasuk dalam proses yang dipimpin oleh PBB, untuk mewujudkan transisi dari rezim Assad menuju Suriah yang merdeka, berdaulat, dan merdeka,” tegasnya dalam pidato 8 Desember lalu, dikutip Kedubes AS.

“Saya ingin mengatakannya lagi. Suriah yang berdaulat dengan konstitusi baru, pemerintahan baru yang melayani semua warga Suriah. Dan proses ini akan ditentukan oleh rakyat Suriah sendiri,” tegas Biden.

Sementara itu, Presiden terpilih AS Donald Trump dalam cuitan di jaringan Truth Social bahwa AS enggan ikut campur. Tapi kabarnya menurut sumber pejabat senior Gedung Putih, dikutip Associated Press, Biden mempertimbangkan menghapus HTS dari label kelompok teroris. HTS bahkan akan menjadi “komponen penting” dalam masa depan Suriah dalam waktu dekat.

Masih Andalkan Minyak?

Dalam upaya pemulihan ekonomi Suriah, salah satu prioritas dalam rekonstruksi Suriah ke depan adalah wilayah timur Deir el-Zour, yang memiliki sekitar 40% cadangan minyak Suriah dan beberapa ladang gas.

Deir el-Zour adalah kota terbesar di Suriah timur, dan terbesar ketujuh di Suriah. Letaknya di tepi Sungai Eufrat, 450 km (280 mil) di timur laut ibu kota Damaskus. Sayangnya, provinsi ini berada di bawah kendali SDF yang didukung AS. Tahun 2019, AS sempat menempatkan 500 serdadu untuk menjaga fasilitas minyak di sana bersama dengan pasukan Kurdi – penerima manfaat utama dari produksi minyak itu.

Minyak dan gas (migas) amat vital karena menjadi kontributor penting pendapatan Suriah, sekalipun kecil dibandingkan dengan negara-negara lain di Timur Tengah. BBC melaporkan, cadangan minyak di Suriah pada 2018 ditaksir sebanyak 2,5 miliar barel. Bandingkan dengan Arab Saudi sebanyak 297 miliar barel, Iran 155 miliar barel dan Irak 147 miliar barel. Ladang minyak terpusat sekitar Deir al-Zor dan Hasakah di timur laut.

Akan tetapi produksi minyak Suriah anjlok sejak konflik tahun 2011. Data British Petroleum (BP) Statistical Review of World Energy 2019 mencatat, tahun 2008, Suriah memproduksi 406.000 barel per hari (bph). Namun pada 2011 produksi jatuh ke 353.000 bph, lalu terjun ke 24.000 bph di 2018 dan ambles menjadi 40.000 bph di 2023, menurut data Energy Institute.

Sumber: Energy Institute

Produksi gas alam juga anjlok dari 8,7 miliar meter kubik (bcm) pada 2011, menjadi 3 bcm pada 2023, menurut perkiraan BP dan Energy Institute.

Pertama kali pemerintah Suriah kehilangan kendali atas migas ketika ladangnya jatuh ke tangan kelompok oposisi dan kemudian ke tangan Daesh (ISIS) seiring meningkatnya perang. Tahun 2014, Daesh berhasil merebut ladang minyak di Suriah timur, termasuk ladang terbesar yaitu al-Omar di Deir al-Zor. Menurut Kementerian Pertahanan AS, dari ladang ini Daesh mendapatkan pemasukan utama US$40 juta atau setara Rp620 miliar per bulan di 2015.

Ketika Daesh kalah tahun 2017, mereka kehilangan kendali ladang minyak yang jatuh ke tangan pasukan Kurdi-Arab SDF yang didukung AS. “SDF dan sekutunya di Suriah timur menguasai sekitar 70% cadangan minyak Suriah dan sejumlah fasilitas pengolahan gas,” kata Charles Lister, peneliti Middle East Institute, dikutip BBC.

Sanksi internasional juga membuat swasta yang mengoperasikan ladang minyak Suriah juga tak berkutik. Dilansir Reuters, ladang minyak Blok 26 di timur laut Suriah, yang dioperasikan perusahaan Inggris, GulfSands Petroleum kini masuk kondisi force majeure karena sanksi Inggris. Manajemen menegaskan aset-asetnya normal, jika sanksi dicabut, perusahaan siap beroperasi lagi.

Begitu juga dengan perusahaan minyak Kanada, Suncor Energy Inc, yang sudah menghentikan operasinya di Suriah sejak 2011. Mereka mengelola ladang Ebla di Cekungan Gas Suriah Tengah yang mencakup lebih dari 300.000 hektare (sekitar 1.251 km2).

Selain migas, sektor unggulan Suriah lainnya yakni pertanian. Sayangnya, selama rezim Assad, terjadi penurunan signifikan di sektor ini. Kantor berita Turki, Anadolu Agency melaporkan lahan pertanian turun 25% dibandingkan dengan periode sebelum perang. Akses benih, pupuk, bahan bakar, dan suku cadang mesin bagi petani makin sulit, membuat produksi pertanian berkurang drastis.

Menariknya, satu sumber pemasukan Suriah yang sudah menjadi ‘ladang emas’ rezim Assad –diduga menjadi salah satu penyebab runtuhnya rezim ini – adalah pendapatan dari penjualan narkoba Captagon yang sangat adiktif. Pil kecil ini adalah obat sintetis dan amfetamin yang sangat populer di Timur Tengah.

Bank Dunia melaporkan, bisnis obat itu diperkirakan menghasilkan pendapatan US$5,6 miliar atau setara Rp87 triliun selama 2020-2023, sementara pihak yang terlibat, diduga PKK/YPG (Yekîneyên Parastina Gel/Kurdistan Workers’ Party), memperoleh keuntungan US$1,8 miliar atau Rp28 triliun per tahun.

Selama ini Suriah sudah berhenti membagi informasi keuangan dengan IMF, Bank Dunia dan organisasi internasional lainnya setelah rezim Assad makin represif sejak 2011. Tapi menurut Bank Sentral Suriah Juni 2011, dikutip Reuters, negara itu masih punya sisa-sisa kekayaan yang bisa jadi bemper ekonomi.

Suriah masih punya 26 ton emas yang setara dengan US$2,2 miliar (Rp34 triliun) harga pasar saat ini. Tapi cadangan devisanya (cadev) hanya US$200 juta (Rp3,1 miliar) berbentuk tunai. Padahal di akhir 2011, IMF mencatat cadev Suriah tembus US$14 miliar (Rp217 triliun) dan 2010 sebesar US$18,5 miliar (Rp287 triliun).

Cadev Suriah dalam dolar AS kini hampir habis karena rezim Assad terus menggunakannya untuk mendanai makanan, bahan bakar, dan perang. Pemerintah baru Suriah di bawah HTS masih menghitung aset setelah Assad melarikan diri ke Rusia.

Tahun ini, Bank Dunia dalam laporan Spring 2024 Syria Economic Monitor, memperkirakan ekonomi Suriah masih akan terkontraksi sebesar 1,5%, melanjutkan koreksi 1,2% di 2023. Konsumsi swasta, mesin utama pertumbuhan, diprediksi tetap melemah karena inflasi mengikis daya beli. Investasi swasta juga tetap lemah di tengah situasi keamanan yang tidak stabil dan ketidakpastian ekonomi.

Tentu prosesnya tak mudah bagi pemerintahan baru Suriah di bawah HTS. Mari kita tunggu apa kebijakan yang nanti akan ditempuh pemerintahan sementara ini.

Penulis adalah alumnus UIN Jakarta, mantan wartawan ekonomi dan pasar modal, kini fokus menulis isu-isu ekonomi negara-negara Timur Tengah

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular