Setelah berbulan-bulan spekulasi dan tarik-ulur, akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama sejumlah lembaga internasional resmi menyatakan terjadinya kelaparan (famine) di Gaza.
Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, kebijakan blokade dan pembatasan bantuan telah menyebabkan 281 orang meninggal, termasuk 114 anak-anak.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UNICEF, Program Pangan Dunia (WFP), serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dalam pernyataan bersama di Jenewa menegaskan bahwa lebih dari setengah juta orang di Gaza kini terjebak dalam kelaparan.
Sementara itu, Israel diminta membuka akses pangan serta obat-obatan tanpa hambatan.
Laporan Integrated Food Security Phase Classification (IPC)—sebuah mekanisme global pemantau keamanan pangan—bahkan menyatakan kelaparan sudah menyebar di Kota Gaza sejak pertengahan Agustus, dan diperkirakan akan merambah ke Deir al-Balah dan Khan Younis pada September.
Israel segera membantah, menyebut laporan itu “berdasarkan kesaksian telepon” dan “disusun sesuai propaganda Hamas”.
Lantas, apa arti pengumuman resmi ini? Mengapa penting? Dan apa yang mungkin terjadi setelahnya?
Apa arti pengumuman “kelaparan” di Gaza, dan mengapa penting?
Sekjen PBB António Guterres menegaskan, “Kelaparan di Gaza adalah bencana buatan manusia. Israel memikul tanggung jawab langsung.”
Ia menyebut dunia tidak boleh membiarkan situasi ini berlangsung tanpa hukuman.
Philip Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA, menyatakan bahwa kelaparan ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
Ia lahir dari larangan sistematis Israel atas masuknya bahan pangan dan kebutuhan dasar.”
Dengan kata lain, pengumuman resmi kelaparan bukan sekadar istilah teknis, melainkan peringatan keras kepada dunia internasional tentang situasi kemanusiaan di Gaza.
Faktor apa yang menyebabkan kelaparan di Gaza?
Sejak runtuhnya gencatan senjata pada Maret lalu, Israel memberlakukan blokade ketat. Bantuan mulai Mei dipusatkan hanya melalui satu lembaga yang dikendalikan Amerika Serikat (AS), Gaza Humanitarian Foundation.
Namun, proses distribusi berulang kali berubah jadi tragedi. Penembakan terhadap warga yang mengantre bantuan menewaskan lebih dari 2.000 orang dan melukai 15.000 lainnya.
“Ini bukan sekadar kegagalan distribusi, melainkan bentuk penyiksaan kolektif,” ujar Lazzarini.
Mengapa PBB baru mengumumkannya sekarang?
Martin Griffiths, mantan pejabat kemanusiaan PBB, mengakui pengumuman itu terlambat.
“Semua orang di Gaza sudah tahu mereka menghadapi kelaparan berbulan-bulan. Dunia menunggu pernyataan resmi,” katanya.
Jean-Martin Bauer dari WFP menambahkan bahwa sejak IPC dibentuk 20 tahun lalu, baru lima kali kelaparan dikonfirmasi. Gaza adalah kasus pertama di Timur Tengah.
“Ini momen historis,” ujarnya.
Menurut Bauer, kelaparan berarti tiga hal sekaligus: kekurangan pangan ekstrem, malnutrisi meluas, dan kematian akibat lapar.
Lembaga seperti Save the Children menegaskan, keputusan ini hampir selalu politis.
“Karena itu, pengumuman sering tertunda meski data lapangan sudah jelas,” tulis mereka.
Bagaimana sikap Israel terhadap keputusan PBB?
Segera setelah laporan resmi diumumkan, Israel langsung menolak mentah-mentah.
Kementerian Luar Negeri Israel menyebut temuan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) “berdasarkan kebohongan Hamas”.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mereka sebut “rekayasa” yang dibuat untuk “menyesuaikan diri dengan propaganda Hamas”.
Militer Israel menambahkan, warga Gaza “mendapat cukup makanan setiap hari” dan laporan PBB “menyajikan gambaran keliru”.
Namun, Hamas menilai bantahan itu justru memperlihatkan pola pikir kriminal.
“Penolakan Israel adalah kebohongan sistematis. Kelaparan adalah senjata yang digunakan untuk genosida,” kata Hamas dalam pernyataannya.
Hamas menyebut laporan PBB sebagai bukti internasional atas kejahatan yang dilakukan Israel terhadap lebih dari dua juta warga Gaza yang terkepung.
Apa dampak pengumuman PBB ini bagi Israel?
Sejumlah pejabat internasional langsung mengarahkan tudingan keras pada Israel.
Volker Türk, Komisaris HAM PBB, menyatakan bahwa kelaparan di Gaza adalah konsekuensi langsung kebijakan Israel.
Kematian akibat kelaparan dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang berupa pembunuhan sengaja.
Tom Fletcher, Wakil Sekjen PBB untuk Urusan Kemanusiaan, menambahkan bahwa mencegah kelaparan sebetulnya mungkin, namun upaya PBB dihalangi.
“Sistem distribusi bantuan di Gaza dihancurkan,” katanya.
Lembaga kemanusiaan International Rescue Committee menegaskan, pengumuman ini harus dibaca sebagai alarm terakhir bagi dunia untuk bertindak.
Bahkan, Jerman—salah satu sekutu utama Israel—mengeluarkan pernyataan resmi yang mendesak Israel membuka akses bantuan secara penuh.
Apa konsekuensi jangka panjang bagi Israel, dan bagaimana menyelamatkan Gaza?
Menurut akademisi politik Muhammad Ghazi al-Jammal, isolasi Israel di kancah internasional akan semakin besar.
“Namun dalam jangka pendek, pengumuman ini tidak cukup memaksa Israel mengubah kebijakan blokade,” ujarnya.
Israel, lanjutnya, kemungkinan hanya akan melakukan manuver kecil—membuka jalur terbatas—yang kemudian digambarkan sekutu Barat sebagai “kemajuan”.
“Padahal, esensinya adalah kelaparan tetap berlanjut,” katanya.
Al-Jammal menilai, tekanan nyata justru mungkin datang dari negara-negara tetangga yang memiliki keterkaitan ekonomi, seperti Mesir dan Yordania.
“Selama proyek ekonomi bersama berjalan, Israel masih merasa aman. Jika negara-negara ini mengubah sikap, dampaknya akan sangat signifikan,” katanya.
Adapun dari Amerika Serikat dan negara Barat, ia pesimistis.
“Mereka tetap menjadi penopang utama Israel. Perbedaan sikap yang terlihat hanya bersifat teknis, bukan substansial. Intinya, proyek kolonialisme dan dominasi tetap berlanjut,” ungkapnya.