Monday, June 9, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Konflik Trump versus Musk: Siapa paling kuat?

LAPORAN KHUSUS – Konflik Trump versus Musk: Siapa paling kuat?

 

Sulit menemukan preseden, baik dalam sejarah maupun masa kini, yang setara dengan konflik sengit yang tengah berlangsung antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Elon Musk, orang terkaya di dunia, lansir Middle East Eye.

Memang, ada beberapa contoh yang mendekati. Misalnya, pada tahun 2017, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menahan sepupu-sepupu dan pebisnis elite di Hotel Ritz-Carlton Riyadh dalam sebuah operasi penertiban kekuasaan kerajaan. Mereka pun cepat tunduk.

Dua dekade sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin berhasil menundukkan para oligarki yang menjadi kaya setelah keruntuhan Uni Soviet.

Namun, pertikaian antara Trump dan Musk memiliki dimensi yang berbeda. Sekilas, konflik ini tampak terkait kebijakan.

Musk, pendiri Tesla dan mantan kepala DOGE, menyerang rancangan undang-undang pajak yang didorong Trump dengan menyebutnya sebagai “penghinaan yang menjijikkan”.

Kritik Musk sejalan dengan kekhawatiran kelompok konservatif fiskal di AS yang cemas RUU tersebut akan menambah triliunan dolar pada utang negara, saat permintaan atas surat utang AS mulai melemah.

Trump, yang memosisikan RUU ini sebagai kebijakan hidup-mati pemerintahannya, merespons pada Kamis lalu saat bertemu Kanselir Jerman Friedrich Merz di Gedung Oval. “Saya lebih memilih Elon mengkritik saya ketimbang RUU-nya,” kata Trump.

“Dulu saya dan Elon punya hubungan baik. Saya tidak tahu apakah itu masih berlaku sekarang.”

Pertikaian makin memanas

Tak lama berselang, Musk menulis di platform X, menyerukan pemakzulan terhadap Trump dan mendukung agar Wakil Presiden JD Vance menggantikannya. Vance sendiri merupakan sosok yang karier politiknya dibesarkan oleh Peter Thiel, miliarder teknologi dan mentor politik Vance.

Musk bahkan mengancam akan membentuk partai politik baru dan menghentikan pengiriman astronot NASA ke luar angkasa lewat perusahaannya. Ia juga menyatakan bahwa dukungan Musk yang membuat Trump memenangkan pemilu presiden.

Untuk menambah panas suasana, Musk juga menyiratkan bahwa Trump memiliki kaitan dengan Jeffrey Epstein, terpidana kasus perdagangan seks.

Trump tidak tinggal diam. Ia menyebut bahwa serangan Musk terhadap RUU bukanlah karena idealisme, melainkan karena undang-undang tersebut menghapus sejumlah insentif kendaraan listrik yang dinikmati Tesla.

“Elon sudah mulai menyebalkan,” kata Trump.

“Salah satu cara termudah menghemat anggaran negara, miliaran dolar jumlahnya, adalah dengan menghentikan subsidi dan kontrak pemerintah untuk Elon,” tambah Trump dalam unggahan lain pada Kamis malam, menyiratkan bahwa ia siap menggunakan kekuasaan negara untuk menekan bisnis Musk, termasuk Tesla dan SpaceX.

Akibat pertikaian ini, saham Tesla turun 14 persen pada hari Kamis. Menurut indeks Bloomberg Billionaires, kekayaan Musk merosot sekitar 34 miliar dolar AS dalam sehari. Namun, pada Jumat, saham Tesla kembali naik sekitar 5 persen.

Silicon Valley versus ‘America First’

Konflik antara Trump dan Musk ini sangat khas Amerika—berbau performatif, populis, dan sangat cocok untuk konsumsi media sosial. Trump menggunakan Truth Social, platform miliknya, sementara Musk menggunakan X, media sosial yang ia akuisisi sebelum pemilu AS.

AS memang memiliki sejarah panjang konflik kekuasaan antar elite yang menjadi tontonan publik, mulai dari era awal republik. Misalnya, Wakil Presiden Aaron Burr yang terkenal membunuh Alexander Hamilton, Menteri Keuangan pertama AS, dalam duel tahun 1804. Atau ketika Presiden Theodore Roosevelt memerangi para taipan pada era industrialisasi.

Namun, konflik Trump-Musk memiliki nuansa berbeda.

Keduanya pernah menjalin aliansi yang tidak lazim, mewakili persilangan antara pengusaha teknologi dan investor kripto dengan kaum nasionalis “America First” dari kalangan kelas pekerja.

Meski beberapa pihak mencoba mendamaikan keduanya, para pendukung garis keras Trump justru mendorong presiden melanjutkan pertarungan ini dan menikmati jatuhnya Musk dari panggung politik.

Steve Bannon, mantan penasihat Trump yang kini mengelola podcast WarRoom, bahkan menyerukan pemerintah AS untuk menyita SpaceX dan memeriksa status imigrasi Musk, yang lahir di Afrika Selatan.

Bannon juga pernah mengkritik RUU pajak Trump, dan merupakan sedikit dari sekutu Trump yang mendukung pajak lebih tinggi bagi orang kaya.

“Sebagian kecil orang teknologi dan kripto masih akan mendukung Elon karena ada kultus pengikut Elon. Tapi basis MAGA akan sepenuhnya mendukung Trump. Tidak ada pengikut MAGA yang mau beli Tesla,” kata Bannon.

Meski begitu, Musk sebelumnya telah menyumbang lebih dari 250 juta dolar AS untuk kampanye Trump pada pemilu 2024. Ia pun menyatakan tak segan menggunakan kekayaannya untuk menjatuhkan politisi Partai Republik yang berbalik arah.

Pada Kamis malam, Musk menulis: “Pikirkan ini baik-baik: Trump hanya punya sisa 3,5 tahun sebagai Presiden, tapi saya akan tetap ada untuk 40 tahun ke depan…”

Masih ada jalan damai?

Trump dikenal suka bertengkar di depan publik, tapi sering kali berdamai di belakang layar. Marco Rubio dan JD Vance pernah mengkritiknya keras pada kampanye 2016, namun kini masuk dalam lingkaran kekuasaan Trump.

Namun, berbeda dengan Rubio atau Vance, Musk memiliki kekayaan luar biasa untuk bertahan dalam konflik panjang melawan Presiden AS.

Dalam banyak hal, Musk laksana sebuah negara. Teknologi satelit Starlink miliknya digunakan di medan perang Ukraina.

Perusahaannya mengangkut astronot NASA. Ia juga memiliki pengetahuan yang luas tentang keluarga Trump dan dinamika internal Gedung Putih—aset penting bagi negara manapun, termasuk sekutu AS.

Lebih jauh, konflik ini memperkuat pandangan bahwa sistem politik AS sedang menghadapi ketegangan internal yang serius.

Dalam waktu kurang dari 24 jam, Presiden AS mengancam secara terbuka menggunakan kekuasaannya untuk menekan mantan sekutu, sementara orang terkaya di dunia menyerukan pemakzulan sang presiden.

Hubungan akrab antara Trump dan “sahabat pertama”-nya ini mungkin memang ditakdirkan untuk pecah, mengingat ego dan ambisi kekuasaan yang dimiliki keduanya.

Musk juga mulai merasa investasinya dalam kampanye Trump tidak memberi hasil yang sesuai.

Pada Mei, The Wall Street Journal melaporkan bahwa Musk berupaya menggagalkan pembangunan pusat data AI oleh OpenAI di Abu Dhabi. Namun, Trump menolak permintaan Musk, demi menjaga hubungan dagang dengan negara tersebut.

Seorang kolega Musk, Jared Isaacman, bahkan menyebut Trump membatalkan pencalonannya untuk memimpin NASA karena kedekatannya dengan Musk.

Konflik ini bisa menjadi jauh lebih buruk jika terus berlanjut. Trump memiliki akses ke institusi negara yang dapat digunakan untuk menekan bisnis Musk.

Namun, Musk pun memiliki kekuatan finansial yang cukup untuk mengguncang pemilu sela dan menghancurkan perhitungan politik Trump.

Jika pertarungan ini terus berlanjut, dunia akan menyaksikan langsung duel kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya—antara orang paling berkuasa secara politik dan orang paling kaya secara ekonomi—di panggung media sosial global.

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular