Friday, November 22, 2024
HomeLaporan KhususLAPORAN KHUSUS: Menguak besarnya sokongan duit AS buat Israel dan alasannya

LAPORAN KHUSUS: Menguak besarnya sokongan duit AS buat Israel dan alasannya

Oleh: Saleh Heringguhir*

Hubungan Amerika Serikat (AS) – Israel adalah relasi yang sangat erat karena kesamaan nilai dan kepentingan strategis.

John F. Kennedy, Presiden AS periode 1961-1963, mengatakan bahwa Israel bukan ada lalu menghilang, tapi “Israel akan bertahan dan berkembang,” katanya saat berpidato di Konferensi Zionis Amerika, 26 Agustus 1960, dikutip The American Presidency Project (APP).

“Ketika Konferensi Zionis pertama digelar tahun 1897, Palestina merupakan tanah terlantar yang terabaikan,” katanya.

Menurut Kennedy, pendirian negara Israel pada 14 Mei 1948 adalah kemenangan yang nyata, 64 tahun sejak bapak Zionisme, Theodore Herzl, mencetuskan ide pendirian negara Yahudi lewat bukunya Der Judenstaat tahun 1896. “Palestina masih merupakan tanah yang dijanjikan,” kata Kennedy yang tewas ditembak pada 22 November 1963.

Penerus Kennedy, Lyndon B. Johnson, Presiden AS periode 1963-1969, juga menegaskan kedua negara punya tujuan yang sama, “We share many common objectives,” katanya saat menyambut PM Israel Levi Eshkol (1963-1969) di Gedung Putih, 1 Juni 1964, dikutip APP.

Barack Obama, yang menjadi Presiden AS periode 2009-2017 juga punya komitmen solid ke Israel. Di depan anak-anak muda Israel yang hadir di Jerusalem International Convention Center, 21 Maret 2013, Obama berjanji, “Selama ada AS, kalian tidak akan sendirian,” katanya dikutip situs Gedung Putih. “Saya melihat masa depan Israel yang cerah.”

Penerus Obama, Donald Trump yang menjabat 2017-2021 – dan terpilih lagi menjadi Presiden AS 2024-2028 – lebih berani dengan menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017.

Sesuatu yang tak pernah dilakukan presiden AS sebelumnya. “Meski presiden sebelumnya menjadikan ini sebagai janji kampanye, tapi mereka gagal. Hari ini saya merealisasikannya,” tegas Trump, dikutip Kedubes AS di Israel.

Jadi sudah bukan rahasia umum kalau Israel adalah “anak asuh” Amerika. The Associated Press (AP) bahkan menjuluki Israel sebagai “anak didik” Amerika.

Pasalnya, sejarah mencatat, AS-lah yang pertama kali di tahun 1948 mengakui kedaulatan negara Zionis ini lewat pernyataan Presiden AS Harry Truman.

Sebab itu wajar bila deretan presiden AS lain seperti Dwight Eisenhower, Jimmy Carter, Bill Clinton, Trump hingga Joe Biden punya kebijakan yang sama demi mendukung eksistensi Israel, kendati yang dilakukan Israel adalah menjajah dan genosida Muslim Palestina.

We stand with Israel. Kami mendukung Israel. Dan kami akan memastikan Israel memiliki apa yang dibutuhkan demi menjaga rakyatnya,” begitu pidato Biden, 10 Oktober 2023, atau tiga hari setelah terjadi operasi militer Tufan Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 yang digerakkan oleh mujahidin Hamas terhadap penjajah Israel, dikutip dari keterangan resmi Gedung Putih.

Berapa Dukungan Pendanaan AS?

Salah satu dukungan utama AS bagi Israel yang paling kentara adalah pendanaan. Terbaru, para peneliti Watson Institute for International and Public Affairs Brown University yakni Linda J. Bilmes, William D. Hartung, dan Stephen Semler, merilis riset mendalam soal berapa anggaran yang digelontorkan AS buat Israel selama setahun peristiwa Tufan Al-Aqsa, dari 7 Oktober 2023 hingga 30 September 2024.

Kajian ini dirilis 7 Oktober 2024, tepat setahun serangan Hamas, pejuang Palestina dari Jalur Gaza ke penjajah Israel. Laporan itu bertajuk Costs of War Project dengan judul “United States Spending on Israel’s Military Operations and Related U.S. Operations in the Region.” Fokus proyek ini meneliti pengeluaran militer AS dan kerugian imaterial korban tewas langsung dan tak langsung akibat militerisme AS.

Sumber: Costs of War Project, Brown University

Hasil kajian itu menunjukkan, dalam setahun AS menghabiskan dana ke Israel mencapai US$17,9 miliar atau sekitar Rp277 triliun (kurs US$1=Rp15.500). Dari jumlah itu, terbesar buat pendanaan militer US$6,80 miliar atau Rp105 triliun, misil pertahanan US$4,5 miliar atau Rp70 triliun, dan senjata tambahan ke Israel dari pangkalan AS US$4,40 miliar atau Rp48 triliun.

Total dana US$17,9 miliar itu adalah akumulasi bantuan militer darurat U$14,1 miliar atau Rp219 triliun yang baru disahkan Kongres AS dan diteken Biden pada April 2024, ditambah dengan bujet rutin ke militer Israel tiap tahun yang mencapai U$3,8 miliar atau Rp59 triliun.

Perjanjian kedua ini diteken Pemerintahan Obama sejak September 2016 yang berlaku hingga 2026 atau 10 tahun.

Sebaran anggaran US$14,1 miliar itu dipakai paling banyak untuk perlengkapan pertahanan dan layanan pertahanan Israel  US$4,4 miliar, sistem pertahanan rudal Iron Dome dan David’s Sling US$4 miliar, program pembiayaan militer sistem senjata canggih US$3,5 miliar, sistem pertahanan Iron Beam khusus roket dan mortir jarak pendek US$1,2 miliar, dan produksi artileri dan amunisi penting US$1 miliar.

Secara alutsista, anggaran setahun itu dipakai untuk pengadaan 57.000 peluru artileri, 36.000 butir amunisi meriam, 20.000 senapan karabin M4A1, 13.981 rudal anti-tank, dan 8.700 bom serba guna Mk82-500 pon. Angka ini menjadikan AS menjadi pemasok utama senjata Israel dalam lima dekade terakhir.

Tak hanya dana US$17,9 miliar, ada lagi pengeluaran AS guna meningkatkan operasi defensif dan ofensifnya di wilayah itu, terutama aktivitas Angkatan Laut AS dalam menjaga pengiriman barang-barang komersial dari serangan kelompok Houthi di Yaman.

Besarannya US$4,86 miliar, yang sebetulnya tidak dilaporkan ke publik atau media AS. Jika dihitung dengan dua pengeluaran ini, maka total bujet minimal AS buat Israel dalam setahun terakhir mencapai U$22,76 miliar atau setara Rp353 triliun.

Dari bantuan militer dan pendanaan AS, Israel sudah berbuat keji dengan membunuh lebih dari 42.000 orang di Gaza, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza dikutip AP.

Menurut media Prancis, Le Monde, ada lebih dari 7.600 orang dinyatakan tewas saat tiba di ruang gawat darurat dan kini masih belum teridentifikasi sejak dimulainya serangan 7 Oktober 2023 di Gaza.

Di Lebanon, sekitar 1.400 orang, termasuk pejuang Hizbullah dan warga sipil, tewas sejak Israel memperluas serangan di negara itu di akhir September lalu.

Dari kubu Israel pun tak kalah rugi, serangan Hamas membuat lebih dari 1.200 orang di Israel tewas dalam setahun.

Menurut laporan resmi Euro-Med Human Rights Monitor, Israel telah menjatuhkan lebih dari 25.000 ton bahan peledak di Jalur Gaza sejak dimulainya perang skala besar pada 7 Oktober, setara dengan dua bom nuklir.

Untuk tahun-tahun mendatang, sumbangan dana dari Amerika ini belum akan berhenti, selaras dengan komitmen historis mereka.

Terbaru, pada 13 Agustus 2024, Pemerintahan Biden juga mengumumkan bantuan senjata tambahan ke Israel senilai US$20,3 miliar atau Rp315 triliun.

Dukungan ini bisa dikatakan bujet yang disiapkan Negeri Paman Sam untuk Israel di tahun-tahun mendatang tergantung keputusan Kongres AS – apalagi setelah Trump memenangkan Pilpres di 5 November lalu.

Kajian Costs of War Project dari Brown University itu menunjukkan kalau Israel adalah penerima bantuan AS terbesar sejak Perang Dunia II.

Sejak 1959 atau 65 tahun terakhir, AS menjadi ‘bohir’ Israel dengan menggelontorkan total US$251,2 miliar atau Rp3.894 triliun, disesuaikan dengan inflasi. Angka total ini lebih besar dari APBN Indonesia di tahun 2023 senilai Rp3.061 triliun.

Sumber: Costs of War Project, Brown University

Perhitungan Universitas Brown itu tak jauh beda dari hitungan Council on Foreign Relations (CFR) yang mencatat Israel sebagai negara teratas yang mendapatkan pendanaan AS terbesar sejak 1946-April 2024, total US$310 miliar, terbagi untuk pendanaan ekonomi US$80 miliar dan militer US$230 miliar.

Negara lain yang dibantu AS untuk ekonomi dan militer yang besar yakni Mesir US$168 miliar, Afghanistan US$158 miliar, dan Vietnam Selatan (kini VIetnam) US$144 miliar.

Sumber: Council on Foreign Relations

Selain AS yang menjadi pemasok sekitar 68% senjata Israel, menurut laporan The Guardian, Jerman menyediakan 30% dari senjata Israel.

Negara-negara lain diyakini termasuk Inggris, Italia, dan Australia – meski Menlu Australia Penny Wong menegaskan negaranya belum memasok senjata sejak dimulainya konflik Gaza.

Berapa anggaran internal Israel?

Mari bandingkan dengan seberapa besar Anggaran Negara Israel atau state budget untuk menggerakkan perekonomian mereka. Ketika awal-awal pendirian Israel, mereka belum sekuat hari ini secara ekonomi.

Jurnal internasional Jstor mencatat, pada 1952, Israel mendapatkan duit ‘ganti rugi’ atas pembantaian Holocaust oleh Nazi Jerman yakni sekitar 3 miliar mark (mata uang Jerman saat itu sebelum euro, setara US$714 juta menurut nilai tukar 1953–1955) selama 14 tahun. Jumlah itu signifikan menggerakkan ekonomi Israel karena mencapai 87,5% dari pendapatan Israel tahun 1956.

Terbaru, Juni 2023, Jewish Material Claims Against Germany, menyatakan Jerman juga setuju menambah US$1,4 miliar untuk para penyintas Holocaust di Israel dan dunia, dikutip AP.

Israel juga banyak mendapatkan dukungan finansial dari orang Yahudi Amerika yang memberikan sumbangan perorangan, apalagi banyak diaspora Israel menjadi orang terkaya di dunia. Tahun 1956 sumbangan perorangan diperkirakan mencapai US$100 juta setahun.

Pada 1950, untuk pertama kalinya Israel mencari sumber pendanaan negara lewat penerbitan surat utang negara atau Obligasi Israel (Israel Bond) yang dibeli oleh warga Yahudi Amerika dan Kanada. Obligasi ini diterbitkan lewat penjamin emisi (underwriter) Development Corporation for Israel (DCI), perusahaan sekuritas yang berbasis di New York.

Di tahun-tahun awal, nilai penerbitan sekitar US$52 juta atau Rp806 miliar. Lalu pada 1957, penjualan obligasi sudah mampu mencapai 35% dari anggaran pembangunan khusus Israel.

Awalnya, investor obligasi Israel itu mayoritas anggota komunitas Yahudi Amerika yang ingin mendukung ekonomi Israel, tapi belakangan masuk investor swasta dan institusi termasuk dana pensiun yang ingin mendapatkan imbal hasil (yield) menggiurkan dari obligasi ini.

“Penjualan obligasi ini di seluruh dunia sudah melebihi US$40 miliar [setara Rp620 triliun] sejak obligasi ini pertama kali diterbitkan 1951. Pada 2016, penjualan tahunan di AS mencapai rekor US$1,12 miliar, ini perubahan yang menentukan mengapa investor kami, baik ritel maupun institusi, membeli Obligasi Israel,” kata Israel Maemon, CEO DCI, dalam keterangan resmi di situs DCI.

Pada dasarnya anggaran negara mereka pada tahun 2023 juga tidak kecil tetapi babak belur kena defisit fiskal akibat biaya genosida yang mereka lakukan setahun terakhir.

Menurut Kementerian Keuangan Israel, APBN mereka sebesar NIS 484 miliar atau setara Rp1.984 triliun (1  New Israeli Shekel atau NIS setara Rp4.100) dan state budget tahun 2024 NIS 514 miliar atau Rp2.107 triliun.

Dari jumlah 2024 itu, alokasi dana untuk Kementerian Pendidikan NIS 82 miliar, Kementerian Pertahanan NIS 64 miliar, dan Kementerian Kesehatan NIS 50 miliar.

AS tertutup soal pendanaan

Sebetulnya sulit menentukan angka pasti dalam dolar atas dukungan pendanaan ini. Selain itu, bantuan dana AS ini juga belum mengakumulasi pengeluaran umum lain yang belum termasuk peningkatan bantuan keamanan ke Mesir, Arab Saudi, atau negara lain, dan biaya industri penerbangan komersial dan konsumen AS.

Sulitnya perhitungan riil karena ada dua alasan. Pertama, Pemerintah AS memang menyetujui total bantuan keamanan sejak 7 Oktober 2023 itu, tapi angka yang dipaparkan itu hanya bagian parsial.

Kedua, ada kesepakatan yang tidak dilaporkan ke Kongres karena nilainya di bawah persyaratan wajib lapor. Misalnya, Pemerintah Biden meneken 100 kesepakatan senjata dengan Israel sejak Oktober 2023 yang nilainya di bawah batasan wajib lapor.

Jadi memang sulit bisa mendapatkan rincian lengkap soal bantuan AS ke Israel sejak 7 Oktober 2023. Berbeda dengan  bantuan militer AS ke Ukraina yang didokumentasikan secara publik. Jadi sokongan dana AS ke Israel bisa jadi lebih dari US$17,9 miliar dalam setahun karena angka tersebut masih parsial.

Ketidaktransparanan itu juga tampak dalam RUU Bantuan Luar Negeri (Foreign Aid Bill) yang diusulkan Biden pada 29 Oktober 2023 dan disahkan Kongres pada April 2024. Dalam beleid ini, ada US$2,4 miliar yang dialokasikan untuk operasi AS, perlindungan pasukan, pencegahan, dan penggantian pengeluaran tempur di wilayah Komando Pusat AS.

Tapi pos ini tidak digolongkan sebagai bantuan militer meski duitnya dipakai mendanai Israel menyerang Gaza–dan dikeluarkan atas nama bantuan Israel.

Kesimpulannya, dari pendanaan ini tampak jelas beberapa faktor utama dukungan AS buat Israel selain relasi sejarah, keagamaan, dan ideologis.

Pertama, tujuan pendanaan ini adalah demi aliansi strategis mengingat Israel menjadi sekutu utama AS di Timur Tengah, terutama demi mengimbangi Iran dan oganisasi pejuang Islam lainnya. Biden kerap menekankan bahwa Israel melayani kepentingan AS di kawasan yang sangat geostrategis.

“Saya sudah lama bilang: Jika Israel tidak ada, kita harus menciptakannya,” kata Biden di Tel Aviv, 18 Oktober 2023, dikutip situs Gedung Putih.

Kedua, tujuan pendanaan adalah kerja sama pertahanan dan intelijen – dengan dalih menjaga nilai demokrasi. Israel kini menjadi salah satu pemimpin dalam teknologi militer dan intelijen dan AS mendapat manfaat.

Bahkan menurut Center for Diplomatic Affairs and Political Studies, tahun 2019, AS membeli peralatan militer buatan Israel senilai US$1,5 miliar. Perusahaan-perusahaan Israel juga sudah membuka cabang di AS. Israel sengaja diberikan keunggulan persenjataan permanen atas negara-negara tetangganya.

Ketiga, pendanaan AS ini tidak lepas dari pengaruh kelompok advokasi pro-Israel seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee).

Situs resminya mengungkapkan lebih dari 5 juta warga Amerika pro-Israel yang punya pengaruh signifikan dalam politik dan kebijakan AS.

Keempat, AS dan Israel mendapatkan manfaat ekonomi dan teknologi bersama sehingga ada program pertahanan kooperatif yang sama-sama saling menguntungkan.

Sebut saja hubungan ekonomi antara pabrikan-pabrikan militer AS seperti Boeing, RTX, Lockheed Martin, dan General Dynamics dengan pemerintah Israel.

Secara keseluruhan, dukungan pendanaan AS untuk Israel bersifat multifaset, berakar pada pertimbangan strategis, ideologis, historis, politis, dan semuanya menopang kemitraan yang telah berlangsung lama.

Jadi wajar bila media Israel,  Haaretz, edisi September lalu menyebut bahwa tak mungkin Israel bertahan melawan perlawanan Muslim Gaza setahun terakhir ini jika tidak dibantu AS.  “Ini memperjelas bahwa satu-satunya alasan Israel mampu melanjutkan genosida ini di Gaza adalah karena Washington memfasilitasinya,” tulis ulasan tersebut.

Penulis adalah alumnus UIN Jakarta, mantan wartawan ekonomi dan pasar modal, kini fokus menulis isu-isu ekonomi negara-negara Timur Tengah

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular