Turki dan Qatar kian memainkan peran penting dalam lanskap baru Timur Tengah yang coba dibentuk Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Kedua negara tersebut kini menjadi kunci dalam upaya Washington mengurangi keterlibatannya di kawasan, sembari tetap menjaga pengaruh strategis di wilayah rawan konflik seperti Suriah.
Di Suriah, peran Turki dan Qatar terlihat nyata. Dukungan militer dari Ankara dipadukan dengan bantuan energi dan dana dari Doha, membantu memulihkan sebagian wilayah yang hancur akibat perang berkepanjangan.
Di saat Trump berupaya mewujudkan janjinya untuk mengakhiri era intervensi dan “pembangunan negara” oleh Barat, dua sekutu regional ini justru mengambil alih sebagian tanggung jawab tersebut.
“Trump menghadapi banyak tantangan global—dari China, pembicaraan nuklir dengan Iran, hingga perang di Ukraina. Ia tidak ingin terlibat langsung. Di Suriah, ia punya dua mitra lokal yang bersedia turun tangan dalam detail teknis rekonstruksi. Ia akan mengandalkan mereka,” ungkap seorang pejabat senior Arab kepada Middle East Eye.
Qatar dan Arab Saudi diketahui telah menanggung gaji para pegawai pemerintahan Suriah. Sejak Maret, Qatar mulai menyalurkan gas ke Suriah melalui Yordania.
Di sisi lain, pemerintah Turki tengah menjajaki kerja sama pertahanan dengan Damaskus, menyusul maraknya serangan udara Israel di wilayah Suriah.
Bukan hal mengejutkan jika Turki dan Qatar kini menjadi dua kekuatan regional paling aktif di Suriah.
Turki memiliki perbatasan panjang dengan Suriah dan menjadi negara terakhir yang tetap mendukung kelompok oposisi bersenjata setelah sebagian besar monarki Teluk menghentikan bantuan.
Sementara itu, Qatar merupakan satu-satunya negara Teluk yang mengakui dan menampung oposisi Suriah secara resmi.
Sebaliknya, Uni Emirat Arab memilih strategi berbeda dengan bertaruh pada rehabilitasi Presiden Bashar al-Assad.
Menurut laporan Middle East Eye, UEA sempat terlibat dalam perundingan intensif untuk mencabut sanksi Amerika terhadap Assad dengan imbalan pengurangan pengaruh Iran di Suriah.
Namun upaya tersebut kandas. Assad akhirnya terguling dalam serangan besar yang dipimpin oleh kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS).
Komandannya, Ahmad al-Sharaa, kini menjabat sebagai presiden baru Suriah.
Langkah strategis terbesar yang dilakukan Turki dan Qatar sejauh ini terjadi pada bulan Mei, saat keduanya bersama AS menandatangani kesepakatan energi senilai 7 miliar dolar AS.
Proyek itu mencakup pembangunan empat pembangkit listrik tenaga gas dan satu pembangkit tenaga surya di Suriah.
Perusahaan Qatar, UCC—milik keluarga al-Khayyat yang berpengaruh—akan memimpin pelaksanaannya.
Dalam acara penandatanganan di Damaskus, utusan khusus AS untuk Suriah, Thomas Barrack, memuji sinergi antara ketiga negara.
“Qatar yang muda dan makmur, Suriah dengan peradabannya yang kuno dan luar biasa, serta kekaisaran Ottoman yang pernah menjadi salah satu kekuatan terbesar dalam sejarah—yang kini diteruskan oleh Türkiye,” ujarnya.
Barrack menggambarkan Suriah sebagai cerminan visi baru Trump untuk Timur Tengah.
Kekuatan lokal diberdayakan untuk membenahi warisan kelam perjanjian Sykes-Picot, kesepakatan kolonial Inggris dan Prancis pada era Perang Dunia I yang membagi-bagi wilayah Suriah secara sepihak.
“Kesalahan itu telah merugikan banyak generasi. Kami tidak akan mengulanginya,” tulis Barrack dalam pernyataannya di platform X.
‘Perlu atasi PKK’
Jika masih ada keraguan tentang negara mana yang paling didengar Amerika Serikat dalam kebijakan Suriah, maka jawabannya terletak di Ankara.
Di sana, Thomas Barrack—utusan khusus Presiden Donald Trump untuk Suriah—juga menjabat sebagai duta besar AS untuk Turki.
“Pemerintahan Trump memahami bahwa Turki memiliki kepentingan keamanan nasional yang vital di Suriah. Trump menghormati hal itu, cara yang tidak pernah dilakukan pejabat Washington sebelumnya,” kata Robert Ford, mantan duta besar AS untuk Suriah, kepada Middle East Eye.
Pada masa pemerintahan Presiden Joe Biden, Suriah menjadi titik panas dalam hubungan AS-Turki.
Pasukan AS pertama kali masuk Suriah pada 2014 untuk memerangi kelompok militan Negara Islam (ISIS).
Mereka kemudian menjalin kerja sama militer dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin kelompok Kurdi.
Namun, bagi Ankara, SDF adalah perpanjangan tangan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), kelompok yang telah melancarkan perang gerilya puluhan tahun di wilayah selatan Turki dan telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh AS dan Uni Eropa.
“Tidak mungkin ada Suriah yang stabil tanpa menyelesaikan persoalan PKK. AS harus bekerja sama dengan Turki, kalau tidak, perang lain bisa meletus,” ujar Bassam Barabandi, mantan diplomat Suriah sekaligus aktivis oposisi.
Selama masa jabatan pertamanya, Trump sempat mencoba menarik pasukan AS dari Suriah.
Namun, langkah itu mendapat perlawanan dari pejabat-pejabatnya sendiri, bahkan menyebabkan pengunduran diri Menteri Pertahanan Jim Mattis setelah sebagian pasukan ditarik.
Meski secara resmi dikirim untuk memerangi ISIS, kehadiran militer AS di Suriah kemudian dipersepsikan sebagai penyeimbang pengaruh Iran.
Namun dengan tumbangnya Presiden Bashar al-Assad—sekutu utama Teheran—alasan itu dinilai tak lagi relevan.
Trump sendiri menyatakan bahwa Turki kini telah “mengambil alih Suriah,” merujuk pada kedekatan Ankara dengan presiden baru, Ahmad al-Sharaa.
Ia melihat ini sebagai momen tepat untuk menarik seluruh pasukan AS, meski mendapat tekanan dari Israel dan SDF untuk tetap bertahan.
Dalam wawancara dengan media Turki pada bulan Juni, Barrack menyebut AS akan mengurangi kehadiran militernya dari delapan pangkalan menjadi hanya satu di timur laut Suriah.
Aliansi Turki-Qatar dan dukungan Trump
Turki dan Qatar telah lama menjalin kemitraan erat, dan kini menjadi poros penting dalam kebijakan regional AS.
Keduanya saling melengkapi: Turki memiliki kekuatan militer terbesar kedua di NATO namun terbatas secara ekonomi, sedangkan Qatar adalah eksportir gas alam cair terbesar dunia dengan populasi nasional hanya sekitar 300 ribu orang.
Turki mengoperasikan pangkalan militer di Qatar, sementara Doha telah menanamkan investasi puluhan miliar dolar ke Turki saat negara itu menghadapi krisis inflasi—menjadi penyelamat ekonomi bagi Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Keselarasan antara kedua negara ini dipererat sejak Arab Spring 2011, ketika mereka mendukung gerakan rakyat melawan rezim seperti Assad di Suriah dan Mubarak di Mesir.
Sebaliknya, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menuduh mereka mendukung kelompok Islamis politik yang dianggap dapat mengancam kestabilan monarki Teluk.
Ketegangan memuncak pada 2017 ketika Saudi memimpin blokade terhadap Qatar.
Namun kini, fakta bahwa Trump justru menyambut investasi Qatar dan Turki dalam rekonstruksi Suriah mencerminkan betapa cepatnya peta kekuatan regional berubah.
Pada 2017, Trump pernah menyampaikan pidato di Gedung Putih yang mendukung penuh blokade terhadap Qatar.
Bahkan, hingga baru-baru ini, penasihat kebijakan Timur Tengah Trump di Dewan Keamanan Nasional, Eric Trager, dikenal sebagai pengkritik keras Doha.
“Ada kalangan dalam pemerintahan—bukan Barrack atau Witkoff—yang masih percaya pada narasi ancaman Ikhwanul Muslimin. Pandangan ini sudah mendarah daging. Jadi menarik melihat lingkaran terdekat Trump kini mulai meninggalkannya,” ujar Natasha Hall, analis Suriah dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), menyebut utusan AS Steven Witkoff.
Kedua penasihat Trump tersebut, Barrack dan Witkoff, diketahui menjalin hubungan baik tidak hanya dengan Qatar, tetapi juga dengan Arab Saudi dan UEA.
Masalah hotspot di UEA
Musim Semi Arab telah menyisakan sejumlah konflik berdarah, dan Suriah hanyalah satu dari sekian banyak episentrum gejolak tersebut.
Di Libya, pasca penggulingan Muammar Gaddafi oleh koalisi NATO, Turki mendukung pemerintahan sah di Tripoli.
Sementara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) membela Jenderal Khalifa Haftar—mantan mitra CIA yang memimpin pasukan di timur Libya.
Dukungan UEA terhadap Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi—jenderal yang menggulingkan Presiden terpilih Mohamed Morsi yang kala itu didukung oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan—menjadi simbol lain dari rivalitas poros Ankara-Doha versus Abu Dhabi-Riyadh.
Kini, saat Turki dan Qatar memperkuat pengaruhnya di Suriah, UEA justru menghadapi kemunduran di sejumlah titik konflik strategis.
Beberapa pejabat Arab menyatakan kepada Middle East Eye bahwa hubungan antara Kairo dan Abu Dhabi mengalami ketegangan serius, meski secara resmi kedua belah pihak berusaha meredamnya.
Krisis ekonomi Mesir yang tak kunjung tertangani, disertai kegagalan Sisi menjalankan reformasi sesuai harapan UEA, memicu kekecewaan mendalam.
Bahkan, UEA disebut-sebut mulai melobi melawan Mesir di Washington.
Ketegangan itu kian tajam saat duta besar UEA untuk AS mendukung gagasan kontroversial Trump untuk memindahkan paksa warga Palestina dari Gaza—sebuah rencana yang sangat mengkhawatirkan militer Mesir.
Sementara itu, Libya tetap terpecah. Usaha Haftar untuk merebut Tripoli kandas pada 2020.
Kini, sang putra yang digadang-gadang menjadi penerusnya, Saddam Haftar, justru mulai mendekat ke Ankara dan Doha—dua kekuatan yang sebelumnya menjadi lawan ayahnya.
Saddam telah berkunjung ke Turki dan Qatar tahun ini. Bahkan, parlemen timur Libya yang ia kuasai tengah mempertimbangkan kesepakatan maritim kontroversial yang didukung Turki.
Di sisi lain, UEA tengah terperangkap dalam perang saudara brutal di Sudan. Mereka mendukung pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF), sementara tentara Sudan didukung oleh Turki, Mesir, dan bahkan Iran.
Kondisi ini memperlihatkan semakin terisolasinya posisi UEA di kawasan yang terus berubah.
Suriah sebagai ujian
Suriah kini menjadi batu ujian pertama untuk rekonstruksi negara pasca kesepakatan al-Ula 2021—kesepakatan yang menandai rekonsiliasi negara-negara Teluk.
Meski Qatar dan Arab Saudi telah berdamai, hubungan Doha-Abu Dhabi masih dingin. Begitu pula relasi antara UEA dan Turki.
“Keuntungan terbesar Suriah adalah bahwa Assad tumbang setelah kesepakatan al-Ula,” kata seorang analis di UEA kepada MEE, meminta namanya tidak dipublikasikan.
Trump mengumumkan pencabutan sanksi AS terhadap Suriah saat berada di Arab Saudi, seraya memuji peran Presiden Erdogan dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman dalam membujuknya mengambil keputusan itu.
“Arab Saudi sama berperannya dengan Turki dan Qatar, bahkan mungkin lebih, dalam meyakinkan Trump mencabut sanksi. Mereka ingin Suriah stabil agar bisa fokus membangun ekonomi domestik,” ujar Anna Jacobs dari Arab Gulf States Institute.
Bassam Barabandi menambahkan bahwa Arab Saudi yang baru mengejar kepentingan, bukan emosi atau ideologi.
Mereka sejalan dengan Turki dan Qatar soal Suriah. Tujuan AS hanyalah memfasilitasi aliran dana negara-negara Teluk ke Suriah.
Meski terkepung di banyak titik konflik, UEA tetap mencoba menjaga pijakan di Suriah. Pada Mei lalu, perusahaan pelabuhan milik negara, Dubai Ports World, menandatangani komitmen investasi sebesar 800 juta dolar AS untuk modernisasi Pelabuhan Tartus.
Menurut analis di UEA, pemerintahan Presiden Ahmad al-Sharaa menyambut baik investasi ini karena UEA dianggap sebagai mitra yang diterima oleh Rusia—yang masih memiliki pangkalan militer di Tartus.
Sementara itu, perusahaan pelayaran Prancis, CMA CGM, telah meneken kesepakatan pengelolaan Pelabuhan Latakia selama 30 tahun.
“Sharaa tidak bisa menerima investasi dari Turki atau negara Eropa. Rusia pasti akan keberatan. Tapi UEA adalah sahabat Rusia,” kata sang analis.
Kelompok Al Habtoor dari UEA, konglomerat besar yang bergerak di berbagai sektor mulai dari properti hingga otomotif, juga dijadwalkan mengirim delegasi bisnis ke Suriah pekan ini.
Menurut Robert Ford, mantan duta besar AS untuk Suriah, terdapat kepentingan bersama antara Turki, Qatar, UEA, dan Arab Saudi dalam memastikan transisi Suriah berjalan stabil—dengan satu tujuan utama: menjauhkan Iran, bekas patron Assad.
“Saya tidak bilang Abu Dhabi nyaman dengan pemerintahan Islamis konservatif. Tapi mereka semua ingin melihat Sharaa mengurangi pengaruh Iran,” pungkasnya.
Tidak ada pembangunan negara
Di tengah naiknya pengaruh Turki dan Qatar di Suriah, Uni Emirat Arab (UEA) tetap memainkan kartu strategisnya dengan menjalin kontak diam-diam antara Suriah dan Israel.
Menurut laporan Reuters pada Mei lalu, UEA—yang memiliki hubungan paling erat dengan Israel di antara negara-negara Teluk—memediasi pembicaraan rahasia antara Damaskus dan Tel Aviv.
Setelah tergulingnya Bashar al-Assad, Israel menggempur wilayah Suriah dan bahkan mengerahkan pasukan ke bagian tenggara negara itu, tepat di selatan Damaskus.
Sebelumnya, Middle East Eye mengungkapkan bahwa Amerika Serikat mendorong Turki dan Israel untuk menggelar pembicaraan dekonflik guna mencegah eskalasi di kawasan yang sudah rapuh itu.
Robert Ford, mantan Duta Besar AS untuk Suriah, menjelaskan bahwa kekhawatiran utama negara-negara Teluk, termasuk UEA, adalah mencegah pecahnya konflik terbuka—baik antara Turki dan Israel, maupun antara Iran dan Israel di wilayah Suriah.
Meski Turki dan Qatar kini lebih dominan dalam urusan Suriah, Ford menilai belum tepat jika menyebut AS mengakui kawasan itu sebagai “zona pengaruh” mereka.
“Itu pemikiran abad ke-19. Pemerintahan Trump tidak keberatan Turki dan Qatar terlibat di Suriah. Tapi mereka juga tidak keberatan jika Saudi dan Emirat ikut bermain. Tujuan akhirnya adalah mengalirkan hubungan dagang antara Israel dan Suriah,” ujarnya.
Namun, kenyataannya di lapangan, kenaikan Ahmad al-Sharaa sebagai presiden baru Suriah kian memperkokoh posisi Turki dan Qatar di kawasan Levant.
“Sharaa bersedia menerima dana dari Emirat, tapi dia tidak akan mempercayakan urusan keamanan kepada mereka. UEA sekarang berada di posisi defensive,” ungkap seorang pejabat Arab kepada MEE.
Perubahan besar lainnya adalah absennya wacana pemilu dalam transisi politik Suriah.
Sejak naik ke tampuk kekuasaan, Sharaa tidak menunjukkan ketertarikan pada proyek politik Islam lintas batas, apalagi memperluas pengaruh ideologi tersebut keluar dari Suriah.
“Sharaa berusaha keras menunjukkan bahwa dia tidak akan menjadi bagian dari gerakan Islam politik di luar negeri. Dan dia sama sekali tidak menyebut demokrasi,” kata seorang analis di UEA.
Ini sejalan dengan pendekatan baru pemerintahan Trump yang ogah terlibat dalam proyek “nation building”.
Proyek pembangunan demokrasi dan institusi negara ala Barat yang selama ini terbukti mahal dan kerap gagal.
Sebaliknya, AS kini mendukung pola keterlibatan lokal berbasis kepentingan dagang, keamanan regional, dan stabilitas praktis.
Dengan kata lain, Suriah di bawah Sharaa tidak akan menjadi proyek demokratis, melainkan ajang realisme politik di mana keamanan, bisnis energi, dan perimbangan kekuatan antarkawasan menjadi fokus utama.
Dalam arena ini, Turki dan Qatar sementara unggul, namun UEA, Saudi, dan bahkan Israel masih tetap menjadi pemain penting—meski dengan langkah yang lebih hati-hati.