Monday, August 25, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Salahkan Hamas, bagaimana narasi Israel melegitimasi genosida Gaza

LAPORAN KHUSUS – Salahkan Hamas, bagaimana narasi Israel melegitimasi genosida Gaza

Sejak serangan 7 Oktober 2023 yang dilancarkan Hamas di kawasan sekitar Gaza, para pemimpin Israel—khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—terus berupaya membangun narasi politik yang menempatkan Hamas sebagai musuh eksistensial.

Narasi ini kemudian dijadikan pembenaran atas operasi militer di Gaza dan sekaligus alasan untuk melanjutkan perang tanpa batas waktu yang jelas.

Rangkaian tuduhan terhadap Hamas segera mengemuka. Israel menuding Hamas membunuh warga sipil, memenggal kepala anak-anak, memperkosa perempuan, hingga menjadikan rumah sakit dan sekolah sebagai pusat komando sekaligus tameng manusia.

Bahkan, Hamas dituduh mencuri bantuan kemanusiaan dan menciptakan krisis kelaparan.

Di balik semua tuduhan itu, benang merahnya ialah upaya meneguhkan bahwa serangan “Thaufan Al-Aqsha” bukan sekadar serangan bersenjata, melainkan ancaman langsung terhadap keberlangsungan negara Israel.

Menghadirkan bayang-bayang Holocaust

Dalam penampilan resminya yang pertama usai serangan Hamas, Netanyahu—yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional—menyebut Hamas telah melakukan pembantaian paling berdarah terhadap orang Yahudi sejak Holocaust.

“Kita menyaksikan kekejaman yang tidak pernah terjadi lagi sejak masa Nazi,” katanya.

Netanyahu berulang kali menggunakan ungkapan “pembantaian terburuk sejak Holocaust”, seakan ingin membangkitkan kembali ingatan kolektif masyarakat Yahudi tentang trauma sejarah genosida.

Dengan begitu, serangan Hamas dikonstruksi bukan hanya sebagai tragedi, melainkan juga sebagai “momen eksistensial” yang sebanding dengan upaya pemusnahan bangsa Yahudi di masa lalu.

Narasi serupa disuarakan oleh para pejabat Israel lain. Mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, misalnya, dalam konferensi pers usai pembentukan pemerintahan darurat, menegaskan bahwa serangan Hamas adalah “serangan teror terburuk yang dialami bangsa Yahudi sejak akhir Perang Dunia II.”

Menurut Gallant, tragedi itu harus dijadikan alasan untuk menyatukan bangsa Israel yang tengah dilanda perpecahan internal, dengan menekankan bahwa yang mereka hadapi adalah “ancaman eksistensial”.

Tuduhan kekejaman

Untuk menopang narasi moral yang melegitimasi perang, Israel menekankan tuduhan bahwa Hamas melakukan kekejaman sistematis: pembunuhan brutal, pembakaran jenazah, hingga pemerkosaan.

Meski banyak lembaga internasional menyatakan tidak ada bukti kuat yang mendukung tuduhan-tuduhan itu, para pejabat Israel tetap mengulanginya di setiap kesempatan.

Presiden Israel Isaac Herzog, dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Januari 2024, menyebut warganya mengalami “pembantaian biadab” yang mencakup pemenggalan kepala, pemerkosaan, dan pembakaran keluarga utuh dalam serangan 7 Oktober.

Netanyahu bahkan dalam percakapannya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu Joe Biden beberapa hari setelah serangan.

“Mereka mengikat anak-anak, membakar mereka hidup-hidup, lalu mengeksekusi,” katanya.

Pernyataan itu sempat dikutip dan diulang oleh Biden sendiri. Ia bahkan mengklaim telah melihat gambar anak-anak Israel yang dibantai Hamas.

Namun, belakangan Gedung Putih meralat, menegaskan bahwa Biden tidak pernah melihat gambar tersebut secara langsung dan hanya mendengar dari Netanyahu.

Meski demikian, Netanyahu tetap konsisten membawa tuduhan serupa dalam setiap pidatonya.

Ia menegaskan Hamas telah membantai keluarga-keluarga, mengeksekusi anak-anak di depan orang tua mereka.

Ia juga menyebut bahwa Hamas telah memenggal kepala tentara maupun warga sipil, menodai jenazah korban, dan melakukan pemerkosaan massal, terutama terhadap perempuan yang menghadiri Festival Musik Nova.”

Ancaman eksistensial

Dalam berbagai pernyataan publik, para pejabat Israel terus menegaskan bahwa Hamas bukan sekadar lawan politik atau kelompok perlawanan, melainkan ancaman eksistensial bagi keberlangsungan negara Israel.

Narasi ini tidak berhenti pada level retorika, melainkan sarat dengan tujuan politik.

Yaitu, mengikis pandangan bahwa Hamas adalah gerakan pembebasan, dan menanamkan keyakinan bahwa ia adalah bahaya yang harus dimusnahkan.

Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, misalnya, mengaitkan kelangsungan hidup Israel dengan kemenangan militer total di Gaza.

Sementara Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir mendesak agar perang dituntaskan dengan menguasai seluruh wilayah Gaza dan mendorong migrasi besar-besaran warga Palestina keluar dari wilayah itu.

Beberapa hari kemudian, Netanyahu menegaskan bahwa penghancuran Hamas adalah “ujian eksistensial bagi Israel.”

Senada dengan itu, Ketua Partai Buruh Merav Michaeli menyatakan bahwa Hamas adalah ancaman eksistensial dan harus dimusnahkan.

Pendekatan retorika semacam ini dibangun dengan sengaja: membesar-besarkan ancaman demi membenarkan penggunaan kekuatan militer yang masif sekaligus menggalang simpati internasional.

Hamas dan ISIS

Selain itu, Israel juga mengedepankan tuduhan yang menyamakan Hamas dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Tujuannya jelas: menempatkan Hamas dalam kategori “teroris global” sehingga dunia memberi legitimasi penuh pada perang Israel di Gaza.

Mantan juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, menegaskan bahaw penculikan perempuan adalah praktik yang sama-sama dilakukan Hamas dan ISIS. Dunia Arab harus melihat Hamas sebagai ISIS.

Narasi ini memanfaatkan citra ISIS yang sudah lekat di benak masyarakat internasional sebagai simbol teror brutal. Netanyahu pun berulang kali mengulanginya.

“Hamas adalah ISIS. Kekejaman yang mereka lakukan setara bahkan lebih buruk daripada yang dilakukan ISIS. Hamas adalah wajah Palestina dari ISIS—menganut doktrin yang sama, kebiadaban yang sama, serta kebencian yang sama terhadap peradaban,” katanya.

Juru bicara militer untuk media Arab, Avichay Adraee, juga konsisten menekankan hal ini di akun “X”-nya.

Pada 15 Desember 2023, ia menulis bahaw Hamas melakukan segala bentuk kejahatan, persis seperti ISIS.

Iran dan Hamas

Selain ISIS, Israel juga kerap mengaitkan Hamas dengan Iran. Hubungan ini bukan sekadar detail tambahan, melainkan bagian dari strategi Israel untuk memperluas kerangka ancaman di tingkat regional.

Israel menggambarkan Iran sebagai “poros kejahatan di Timur Tengah”, dan menempatkan Hamas sebagai salah satu bagiannya.

Menteri Urusan Strategis Ron Dermer dalam wawancara dengan Bloomberg TV pada 9 Oktober 2023 menyatakan, Iran berada di balik Hamas.

“Sebanyak 93 persen anggaran militernya berasal dari Iran. Dukungan itu mencakup dana, teknologi, hingga politik,” ungkapnya.

Narasi ini kembali ditegaskan oleh Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz pada 6 April 2025, merujuk pada sebuah dokumen keamanan yang diklaim ditemukan di dalam terowongan Gaza.

Dokumen itu disebut berisi permintaan Hamas kepada Pasukan Quds Iran senilai 500 juta dolar AS untuk mendanai serangan 7 Oktober.

Dalam konferensi pers, Netanyahu pun menambahkan, “Tanpa Iran, tidak ada Hamas. Yang kita hadapi adalah satu sistem kejahatan yang terintegrasi.”

Tameng manusia

Salah satu pilar utama dalam narasi Israel sepanjang perang di Gaza adalah tuduhan bahwa Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.

Narasi ini menguat seiring operasi militer Israel terhadap sejumlah rumah sakit di Gaza.

Sebelum serbuan ke Kompleks Medis Syifa pada 27 Oktober 2023, misalnya, mantan juru bicara militer Daniel Hagari menegaskan dalam pengarahan media.

“Hamas telah mengubah rumah sakit menjadi pusat komando, markas persembunyian, dan tempat berlindung para pemimpin mereka,” ujarnya.

Pernyataan serupa diangkat ke panggung internasional.

“Di setiap rumah sakit di Gaza yang kami periksa, ditemukan bukti penggunaan fasilitas itu secara militer oleh Hamas. Mereka menjadikan rumah sakit dan rumah warga sebagai tameng manusia,” kata Duta Besar Israel untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Merav Elon Shahar pada Desember 2023.

Israel bahkan merilis foto-foto yang disebut sebagai temuan terowongan di bawah Kompleks Syifa.

Namun, berbagai media internasional dan lembaga independen meragukan klaim itu karena Israel tidak mampu menghadirkan bukti memadai.

Tuduhan serupa kembali dilontarkan saat tentara Israel menguasai Rumah Sakit Rantisi—khusus anak-anak—dan Rumah Sakit Eropa di bagian selatan Gaza.

Melalui narasi ini, Israel berupaya membangun pembenaran hukum.

Israel menyatakan bahwa kematian warga sipil bukanlah akibat dari serangan mereka, melainkan “karena Hamas menjadikan rakyat Gaza sebagai tameng manusia.”

Meski Amnesty International dan Human Rights Watch menyebut tuduhan itu dibesar-besarkan serta dipakai untuk melegitimasi serangan, Israel tetap mengulanginya.

Menteri Pertahanan, Israel Katz bahkan menuding bahwa Hamas menjadikan penduduk Gaza sebagai tameng manusia,” dan menyerukan agar warga berbalik melawan Hamas.

Hambatan evakuasi

Narasi lain yang terus digemakan adalah tuduhan bahwa Hamas menghalangi evakuasi warga sipil.

Saat militer Israel mengumumkan operasi besar di Gaza utara pada Oktober 2023, Hagari menuduh Hamas memerintahkan penduduk tetap tinggal di lokasi agar menjadi pelindung infrastruktur militer mereka.

Israel juga merilis rekaman suara berupa percakapan seorang perwira Israel dengan warga Gaza.

Dalam percakapan itu disebutkan Hamas melarang penduduk meninggalkan Gaza utara.

Kantor Perdana Menteri Netanyahu menambahkan bahwa Hamas meminta orang-orang tetap di tempat dan mencegah mereka dievakuasi, meskipun kami sudah berulang kali memperingatkan.

“Ini menunjukkan betapa mereka meremehkan nyawa warga sipil,” katanya.

Krisis pangan dan bantuan

Tudingan lain yang berulang ialah bahwa Hamas mencuri bantuan kemanusiaan. Israel melontarkannya lewat berbagai kanal resmi maupun media.

Namun, sejauh ini, investigasi lembaga internasional menilai klaim tersebut tidak terbukti atau minim bukti.

Netanyahu bahkan menyebut, pemerintahannya memilih menjatuhkan bantuan pangan melalui udara ke Gaza karena “Hamas mencuri bantuan yang masuk lewat jalur darat.”

Menteri Pertahanan Israel menambahkan bahwa Hamas juga mengambil alih pasokan bahan bakar dan obat-obatan milik Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).

Melalui tuduhan ini, Israel berusaha meruntuhkan legitimasi kerja-kerja kemanusiaan di Gaza. Sebab, setiap masuknya bantuan dipandang sebagai tekanan politik terhadap Israel.

Netanyahu bahkan menegaskan, “Tidak ada kelaparan di Gaza,” dalam konferensi pers 8 Agustus lalu.

Ia menuding Hamas sengaja menyebarkan “kebohongan” untuk menggambarkan adanya bencana kelaparan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular