Tuesday, May 6, 2025
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS - Tekanan militer Israel dan ujian pemerintah baru Suriah

LAPORAN KHUSUS – Tekanan militer Israel dan ujian pemerintah baru Suriah

Serangan dan agresi militer Israel terhadap wilayah Suriah tak juga mereda sejak tumbangnya rezim Presiden Bashar al-Assad pada Desember 2024.

Wilayah selatan Suriah dan sekitar ibu kota Damaskus menjadi sasaran utama. Puluhan instalasi militer dihantam, pesawat-pesawat tempur dihancurkan, dan peralatan militer bernilai besar dilumpuhkan dengan dalih mencegah jatuhnya aset-aset tersebut ke tangan “kelompok bermusuhan”.

Militer Israel juga melakukan sejumlah infiltrasi darat ke wilayah zona penyangga, Quneitra, dan pegunungan Jabal al-Sheikh.

Aksi-aksi ini dilakukan dengan alasan membentuk “zona aman” antara Suriah dan dataran tinggi Golan, yang secara de facto membatalkan perjanjian pemisahan pasukan yang ditandatangani kedua belah pihak pada 1974.

Baru-baru ini, Israel kembali melancarkan serangan udara yang menargetkan berbagai titik di pinggiran Damaskus, Daraa, dan Hama.

Dalam pernyataannya, militer Israel mengklaim telah menggempur lokasi militer Suriah, sistem pertahanan udara, dan infrastruktur rudal darat-ke-udara.

Israel menegaskan bahwa pihaknya akan terus bertindak bila diperlukan demi melindungi warga negara Israel.

Meski Israel berdalih bahwa langkah-langkah ini merupakan tindakan pencegahan atas potensi ancaman keamanan, sejumlah pengamat menilai bahwa eskalasi ini merupakan bagian dari strategi yang lebih luas.

Tujuannya diyakini adalah untuk memaksa pemerintahan baru Suriah memasuki jalur normalisasi hubungan dengan Israel—sebuah normalisasi yang dipaksakan dengan kekuatan militer, bukan diplomasi.

Strategi multi-lapis untuk memaksakan normalisasi

Israel memanfaatkan situasi transisi politik di Suriah sebagai peluang untuk mengatur ulang dinamika kawasan sesuai dengan kepentingan strategis dan keamanannya.

Dalam konteks ini, Israel menggabungkan tekanan militer, tekanan politik, serta manuver diplomatik cepat untuk melemahkan posisi tawar Damaskus pasca-Assad, dan memaksanya menerima jalur normalisasi secara sepihak.

Situasi ini terjadi di tengah gejolak politik dan keterpurukan ekonomi yang melanda Suriah setelah kejatuhan rezim sebelumnya.

Ketergantungan Suriah pada bantuan asing menciptakan celah yang coba dimanfaatkan Israel untuk menekan Damaskus.

Israel ingin Damaskus agar bergeser dari posisi tradisionalnya yang menolak normalisasi tanpa penyelesaian isu-isu mendasar, seperti pendudukan Golan.

Dalam lanskap regional yang juga terus berubah, Israel terlihat berupaya memperluas lingkaran negara-negara Arab yang menjalin hubungan dengannya.

Kebutuhan Suriah akan pengakuan internasional dan bantuan rekonstruksi menjadikannya target baru dalam kampanye ini.

Pertanyaannya kini: Mampukah Damaskus bertahan menghadapi tekanan yang kian intensif, ataukah akan tergoda untuk mengorbankan prinsip-prinsip lama demi stabilitas dan dukungan internasional?

Eksploitasi masa transisi

Menurut Samer Bakour, peneliti ilmu politik di University of Exeter, Inggris, Israel tengah membentuk relasi baru dengan Suriah secara agresif.

Langkah-langkah yang diambil, katanya kepada Al Jazeera tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga mencerminkan strategi yang memaksakan normalisasi dari posisi kekuasaan.

Selain target militer, serangan Israel kini juga mulai menyasar infrastruktur sipil dan kawasan permukiman.

Hal ini dinilai sebagai upaya untuk menekan Suriah secara menyeluruh, dan memaksanya memberikan konsesi yang belum pernah dipertimbangkan sebelumnya.

Pernyataan-pernyataan politis dari para pemimpin Israel juga sejalan dengan pendekatan militer ini.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa Timur Tengah sedang berubah.

“Semua negara harus meninjau kembali hubungan mereka dengan Israel, termasuk Suriah pasca-Assad,” katanya.

Sementara itu, pemerintah baru Suriah mencoba meredam eskalasi dengan pendekatan tenang.

Pernyataan resmi menyebut bahwa Suriah ingin menjalin hubungan normal dengan semua pihak dan tidak berniat menjadi sumber ketidakstabilan di kawasan, termasuk bagi Israel.

Minoritas sebagai alat tekanan

Salah satu taktik tekanan yang digunakan Israel pasca-Assad adalah memainkan isu minoritas.

Dalih melindungi kelompok minoritas dijadikan alasan untuk campur tangan militer, sekaligus alat untuk menekan dan memeras Damaskus secara politik.

Eskalasi ini terlihat nyata dalam serangan ke kawasan Jaramanah dan Sahnaya di pinggiran Damaskus—2 wilayah dengan populasi Druze yang signifikan.

Serangan udara pada 2 Mei yang menyasar kawasan sekitar Istana Rakyat dinyatakan dalam siaran bersama Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Israel Katz sebagai pesan tegas kepada pemerintah Suriah.

Mereka juga menambahkan bahwa Israel tidak akan membiarkan adanya ancaman terhadap kaum Druze.

Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Suriah pada 30 April mengonfirmasi bahwa satu anggota aparat keamanan tewas dalam serangan Israel di wilayah Ashrafiyat Sahnaya.

Peneliti urusan Israel, Mohammad Halsa, menilai bahwa klaim perlindungan terhadap komunitas Druze hanyalah kedok.

“Tujuan sesungguhnya adalah memecah belah struktur sosial Suriah dan melemahkan pusat kekuasaan Damaskus,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Menurut Halsa, Israel ingin menciptakan semacam “otonomi lokal” di wilayah-wilayah Druze seperti Suwayda, yang bisa dijadikan pijakan untuk masuk ke wilayah Suriah lainnya.

Selain itu, Israel juga disebut aktif menjajaki kontak dengan komunitas Kurdi di timur laut Suriah, dengan dukungan terhadap pembentukan entitas otonom mereka.

Sementara informasi terkait komunitas Alawi masih terbatas, media Israel menyebut adanya komunikasi rahasia dengan individu atau kelompok Alawi yang meminta dukungan Israel dalam menghadapi kelompok lawan.

Israel lebih memilih kekacauan daripada normalisasi

Meski tekanan Israel terhadap Damaskus semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir guna mendorong jalur normalisasi.

Para pakar isu Israel menilai bahwa Tel Aviv tampaknya lebih memilih untuk berinvestasi dalam kekacauan internal Suriah.

Ketidakstabilan itu memberi Israel keleluasaan manuver serta “legitimasi de facto” di mata sekutu-sekutu Baratnya—yang justru melebihi manfaat dari normalisasi yang belum tentu menjamin hasil.

Bahkan bisa membatasi ruang geraknya karena ikatan politik dan keamanan dengan rezim baru.

Peneliti di Carnegie Middle East Center, Muhannad al-Haj Ali, menjelaskan bahwa bertentangan dengan narasi populer tentang upaya memperluas “Perjanjian Abraham” di kawasan, Israel sejatinya tidak menempatkan normalisasi dengan Suriah sebagai tujuan utama.

“Pendekatan Israel terhadap Suriah lebih bersifat keamanan murni,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Ali menambahkan bahwa Israel lebih memilih memanfaatkan ketegangan domestik Suriah dengan mendukung kelompok tertentu seperti komunitas Druze atau Pasukan Demokratik Suriah (SDF).

“Berurusan dengan negara yang lemah dan terpecah, sambil memiliki sekutu di lapangan, dianggap lebih menguntungkan ketimbang menjalin normalisasi dengan rezim yang berpotensi menjadi musuh di masa depan,” ujarnya.

Isu yang paling sensitif dalam pandangan Israel, menurutnya, adalah identitas pemerintahan baru di Damaskus.

Ia menggambarkannya sebagai “kelompok Islamis-jihadis” yang dianggap mustahil diajak bicara lewat jalur politik dan diplomasi, sehingga hanya bisa dihadapi lewat pendekatan militer dan keamanan.

Pernyataan-pernyataan keras dari para pejabat Israel turut memperkuat kesan tersebut.

Pada Maret lalu, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz menyebut Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa sebagai “teroris jihad dari sekolah Al-Qaeda” dan menuduhnya melakukan kekejaman terhadap warga sipil dari komunitas Alawi.

“Dia menanggalkan jubah jihad dan mengenakan jas untuk tampil moderat, tapi wajah aslinya kini terbuka,” kata Katz.

Normalisasi dan ruang gerak terbatas bagi Suriah

Sejumlah sinyal muncul dalam beberapa bulan terakhir yang menunjukkan kemungkinan terbukanya pemerintah baru Suriah terhadap ide normalisasi dengan Israel.

Utusan khusus Presiden AS untuk Timur Tengah, Steven Witkoff, menyatakan pada 22 Maret lalu bahwa prospek normalisasi Israel dengan Suriah dan Lebanon menjadi lebih nyata setelah Suriah “keluar dari lingkaran pengaruh Iran”.

Sementara itu, anggota Kongres AS dari Partai Republik, Marlin Stutzman, menyebut bahwa Presiden al-Sharaa menunjukkan keterbukaan terhadap bergabung dengan Abraham Accords, dengan syarat utama: menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan Suriah.

Hal itu disampaikannya dalam wawancaranya dengan Jerusalem Post usai kunjungannya ke Damaskus.

Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai arah kebijakan luar negeri Suriah baru dan sejauh mana ia bersedia melangkah dalam membuka lembaran baru hubungan dengan Israel.

Namun, merespons spekulasi tersebut, Menteri Luar Negeri Suriah Assad al-Shibani menegaskan bahwa tidak ada permintaan dari AS kepada Damaskus untuk bergabung dalam Abraham Accords atau membuka jalur normalisasi dengan Israel.

Dalam pernyataan pada sidang Dewan Keamanan PBB pada 25 April lalu, al-Shibani menegaskan bahwa Suriah tidak akan menjadi ancaman bagi negara mana pun di Kawasan. Termasuk Israel, sembari meminta DK PBB menekan Israel untuk menarik pasukannya dari wilayah Suriah.

Di sisi lain, para analis menilai bahwa meskipun ada tekanan internasional dan regional yang mendorong keterbukaan terhadap Israel.

Kondisi internal Suriah menciptakan tantangan besar bagi pemerintah baru untuk mengambil langkah kontroversial semacam itu.

Mohammad Halsa menekankan bahwa persoalan ini bukan tentang kemewahan dalam memilih, melainkan sempitnya opsi yang tersedia bagi Damaskus.

Ia menilai bahwa normalisasi dengan Israel bisa menjadi pintu bagi hubungan baru dengan Eropa dan Amerika Serikat.

Namun, langkah ini bisa merusak legitimasi politik kepemimpinan Suriah di mata rakyatnya, terutama mengingat latar belakang ideologis yang mengakar kuat dalam wacana perlawanan.

Langkah tersebut, tambah Halsa, mungkin bisa membuka jalan menuju pembangunan negara yang lebih stabil dan ekonomi yang tangguh.

Namun, biayanya akan besar secara citra politik dan bisa menggoyahkan posisi Suriah di antara negara-negara Arab dan Islam.

Sementara itu, peneliti Samer Bakour mengingatkan bahwa meskipun Suriah sangat membutuhkan stabilitas dan dukungan rekonstruksi, tidak berarti hal itu otomatis diterjemahkan sebagai kesiapan untuk normalisasi dengan Israel.

Ia meragukan bahwa pemerintah baru Suriah akan menyerah pada tekanan, apalagi jika itu menyangkut tuntutan utama seperti pengembalian Dataran Tinggi Golan dan penghentian agresi Israel.

Menurut Muhannad al-Haj Ali, normalisasi dalam konteks saat ini berarti menerima status quo, termasuk kehilangannya atas Golan dan mungkin wilayah lainnya.

Bagi pemerintahan transisi di Damaskus, skenario ini tak bisa diterima. Namun, ia membuka kemungkinan adanya negosiasi kesepakatan keamanan baru, semacam revisi atas perjanjian pemisahan pasukan tahun 1974, yang bisa menguntungkan Israel namun sekaligus memberi Damaskus ruang bernapas untuk melanjutkan masa transisinya.

Carnegie Middle East Center menegaskan bahwa setiap bentuk normalisasi antara Suriah dan Israel di masa depan akan sangat bergantung pada posisi Suriah terhadap isu Palestina dan adanya jaminan internasional serta regional yang hingga kini belum tersedia.

Pada akhirnya, dilema Suriah pasca-Assad terkait isu normalisasi dengan Israel menjadi ujian politik yang rumit.

Di satu sisi, janji stabilitas, pengakuan internasional, dan bantuan ekonomi menggoda. Di sisi lain, tuntutan atas kedaulatan dan prinsip-prinsip nasional tetap menjadi batu uji utama.

Pemerintah baru di Damaskus kini dihadapkan pada pilihan sulit: mengikuti arus normalisasi yang berisiko memicu penolakan luas, atau merintis jalan lain yang mampu melindungi kepentingan negara tanpa mengorbankan prinsip dan warisan perjuangan nasionalnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular